6. Sadar diri

Agatha menyelimuti Andre dan kemudian perlahan menutup pintu. Saat di depan pintu dia melihat Teja dan terkejut sendiri menyandung kakinya dan Agatha terjatuh, untunglah dengan cepat Teja menahan pinggang Agatha.

Agatha langsung menginjak kaki Teja setelah beberapa detik berlalu "Jangan modus, loe!" teriaknya tertahan karena masih berada di depan kamar Andre. Agatha segera menjewer Teja dan menyeretnya, tanpa protes dan ringisan yang dia tahan Teja mengikuti.

"Mau apa loe, hah!?" tanya Agatha dengan wajah tidak suka seperti biasa.

"Saya cuma mau balikin ini, Non," jawab Teja sambil memperlihatkan album foto yang tadi dia lihat bersama Andre.

"Biar gue aja yang simpen!" Agatha langsung merebut album itu. "Jadi, sejak kapan loe berdiri di sana?"

"Lumayan sih, Non," jawabnya jujur membuat Agatha melotot tidak percaya.

"Loe nguping!"

Teja menggeleng "Saya berdiri di depan pintu kamar, Non. Terus karena nunggu kelamaan yaudah saya mau masuk tapi ternyata Non ke luar juga," jelas Teja.

Agatha hanya diam saja dan kemudian berjalan menuju ke kamar dengan Teja yang mengikuti seperti ekor. "Loe ngapain ngikutin, gue!?" tanya Agatha emosi saat sudah sampai di depan pintu.

"Saya mau ... tidur juga _atuh_, Non," jawab Teja ragu karena takut Agatha tambah marah.

"Tidur di kamar tamu aja, atau mau di balkon lagi?!" Agatha menatap tajam Teja.

"Kamar tamu aja, Non." Langsung saja Teja berbalik haluan dan menuju ke kamar tamu. Dia tidak bisa lagi tidur di balkon atau akan sakit, walaupun berbadan kekar dan imun tubuh Teja cukup kuat dia juga manusia. Jika dia sakit, dia tidak bisa bekerja dan hanya akan menyusahkan saja itulah kenapa dia memilih yang lebih aman saja. Walaupun dalam hati Teja sangat ingin melihat wajah tidur istrinya itu.

Setelah melihat Teja masuk ke kamar tamu, Agatha juga langsung masuk ke dalam kamarnya. "Ah, buat gue jadi bingung dan plin-plan gini sih!" serunya kesal pada diri sendiri sambil menghentak-hentakkan kaki di lantai.

***

"Pagi, Non. Ayo bangun Non mau ke kantor 'kan?" Suara lembut BiMin menyambut pagi Agatha. Sudah menjadi kebiasaan untuk wanita paruh baya itu membangunkan Agatha karena Agatha paling malas bangub pagi. Dipasangkan jam beker juga percuma saja, ujung-ujungnya dimatikan dan tidur kembali.

Sinar matahari yang masuk melalui balkon dan jendela membuat mata Agatha terasa silau, perlahan dia membuka matanya. "Pagi, BiMin," sapanya sambil menguap. Agatha segera bersiap ditemani BiMin untuk pergi ke kantor.

Sesampainya di bawah Agatha berkerut dahi karena Teja bukan berada di kebun depan seperti semalam namun sudah ada di meja makan bersama ayahnya. Agatha berusaha tidak acuh dengan hal itu. Dia sepertinya sudah lupa akan permintaan tolong Andre untuk memasukkan Teja bekerja di perusahaannya.

"Pagi, Ayah. Gimana tidurnya nyenak?" tanya Agatha sambil duduk di sebelah Andre.

"Nyenyak. Oh, iya kamu gak lupa 'kan kalau Teja akan kerja dj tempat kamu? Dan mulai hari ini di sudah bisa mulai 'kan?" Pertanyaan itu langsung membuka ingatan Agatha.

"O ... oh, tentu yah," jawabnya terbata. Tidak lama sarapan pagi terhidang di meja dikeluarkan satu per satu.

"Teja satu mobil sama kamu, ya." Pinta Andre. Agatha hanya mengangguk, dia tersenyum miring saat ke luar rumah menuju mobil karena sudah mempunyai rencana untuk mengerjai Teja pagi ini.

"Mau ngapain loe? Duduk di depan!" seru Agatha saat Teja sudah akan membuka pintu belakang mobil. Karena seruan itu membuat Teja menutup pintu mobil kembali dan duduk di depan bersama pak supir.

Mobil mulai dijalankan. "Pak, nanti kalau udah lewat lima atau sepuluh rumah berenti, ya," pinta Agatha.

"Mau ngapain, Non?" tanya Pak supir heran.

"Gak usah banyak tanya, turuti aja!" ketus Agatha dengan wajah kesal karena ada Teja yang semobil dengannya.

Sesuai dengan permintaan anak majikannya itu, pak supir memberhentikan mobilnya. "Non, sudah saya berhentikan," ujar pak supir menghentikan gerakan Agatha di layar ponselnya dan kemudian menyimpan benda pipih itu.

"Teja, turun," pinta sambil melihat punggung tegap lelaki itu. Teja berbalik badan, mengangguk kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Dari sini lari aja ke kantor. Ini hukuman buat loe, biar loe sadar diri dan sadar posisi. Jangan mentang-mentang ayah baik sama loe, jadi ngelunjak loe. Gak sudi gue sati mobil sama loe!" Agatha menatap Teja tajam.

"Ayo, Pak jalan." Agatha menepuk kursi bagian belakang pak supir. Wajahnya masih saja memberengut.

"Ta ... tapi, Non," jawab pak supir ragu.

"Yaudah kalau gitu gue yang turun," ancam Agatha bersiap membuka pintu.

"Eh, iya. Jangan, Non. Baik Non saya jalan." Pak supir langsung menjalankan mobilnya, sedangkan Agatha melihat Teja yang masih berdiri di sana, dia melambaikan tangan sambil mengjek, dia kemudian menutup pintu kaca mobil sebelah kiri. Senyuman puas terukir jelas di wajah Agatha, "Semoga aja loe nyasar gak sampai ke kantor," katanya dalam hati dengan senang.

Teja menandangi mobil putih itu sampai tidak terlihat di tikungan, dia kemudian mengeluarkan kartu yang diberikan Andre. Kartu nama Agatha berisi nama Agatha nomor kantornya, dan tentu saja alamat kantor tempat Teja akan bekerja. Untunglah Andre sudah mengantisipasi hal ini.

Teja segera berlari menuju gang sempit yang merupakan jalan pintas tempat itu menuju jalan raya. Teja mengingat semua yang dikatakan Andre sampai menbuatkannya peta, jadi segera saja dia mencari pangkalan ojek dan langsung menuju ke kantor. Untuk ongkos tidak masalah karena uang dari kampung tidak terpakai sama sekali karena makan, tidur, sampai baju dibelikan oleh mertuanya itu.

Saat mobil Agatha terjrbak macet, ojek yang dinaiki Teja lebih leluasa walau akhirnya ikut terjebak macet juga. "Pak, saya turun di sini aja." Teja memutuskan untuk berlari saja dari tempatnya sekarang ini, "tapi sebelum itu, Pak. Bisa kasih tau arahan ke alamat yang saya kasih tau tadi?" tanyanya, pak ojek pun memberitahukan rute menuju ke kantor Agatha. Setelahnya Teja berterimakasih, melepaskan helm dari kepalanya dan segera berlari ke kantor itu.

Sesampainya di sana semua bajunya basah, untunglah di tas kecil yang dia bawa ada baju ganti. Ini juga salah satu antisipasi Andre untuk Teja. Selesai Teja menyeka keringat dengan kemeja panjang biru miliknya mobil Agatha juga tiba.

Dengan heran Agatha melihat Teja yang berisikan keringat, bagaimana mungkin manusia bisa berlari secepat itu dan Teja sama sekali tidak terlihat kelelahan.

Melihat istrinya itu turun dari mobil Teja mendekat. "Eh, mau ngarain loe!? Jangan deket-deket bau keringet!" Agar-agar menjepit hidungnya dengan jari jempol dan jari telunjuk.

Teja menghentikan langkahnya dan tidak jadi mendekat "Saya mau tanya kamar mandi, Non. Mau ganti baju," jawabnya.

"Eh, eh. Aquila, sini dulu. Kasih tau ini orang di mana toilet, ceper sana bau keringat, ih!" serunya kepada Aqilla yang baru datang.

"Baik, Bu," jawab Aqilla, "silakan ikuti saya, Mas." Aqilla tersenyum manis kepada Teja dan berjalan lebih dahulu.