Awal perkawinan meraka adalah kebahagian. Martin di kenalnya sejak mereka masih sama-sama duduk di kota yang sama. ketika itu martin sudah duduk di kelas tiga, nana sendiri duduk di kelas satu.
Diam-diam dia menyengi martin, karena pemuda itu sangat pendiam, tidak punya teman perempuan yang istimewa di sekolah mereka, tidak seperti pemuda lain di sekolah itu yang rata-rata sudah punya pacar.
Ada yang pacaran sama teman sekolah, ada juga yang pacaran dengan cewek di luar lingkungan sekolah, sepertinya mereka bangga kalau sudah punya pacar. Apalagi bisa gonta ganti pacar.
Martin memang tidak punya pacar pemuda yang menjadi ketua osis itu lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada pelajaran, atau membantu ibunya yang sudah menjanda, ayah martin meninggal ketika dia baru masuk smp, ibu martin menyambung hidup mereka dengan mebuka warung di rumahnya, hampir setiap hari setelah pulang sekolah martin naik sepeda kepasar untuk berbelanja berbagai barang yang di jual di warung ibunya. Tanpa mengenal rasa capek atau rasa malu.
Itulah kenapa martin tidak pernah pacaran
" Aku hanya anak biasa gak punya apa-apa, apalagi pacaran harus pakai modal." Jawab martin saat di candai oleh nana kenapa dia tidak pacaran seperti teman-temannya.
" Kalau begitu pacaran sama aku aja, gak pakai modal." Nana melanjutkan candaannya.
" Kamu sungguh-sungguh?" Tanya martin.
Bergetar jantung nana mendengar pertanyaan itu. " Kalau aku sungguh-sungguh bagai mana?" Nana berpura-pura tetap bercanda, padahal dia memang sungguh-sungguh bertanya.
" Wahh tentu aku akan menerimanya sebagai suatu anugrah yang luar biasa!".
Sejak itu mereka sunggung-sungguh pacaran, sesuai dengan janji nana mereka paraktis pacaran tidak pakai modal, martin terus sibuk membantu ibunya sehingga waktu untuk bermesra-mesraan tidak ada.
Untung tidak dapat di raih malang tidak dapat di tolak, ketika martin lulus sma dia melanjutkan kuliah di banjarmasin, tapi baru memasuki semester tiga martin harus drop-out karena ibunya meninggal dunia. Marin yang yatim piatu kemudian menghilang entah kemana nana pun tidak tahu kabar beritanya.
Sampai beberapa tahun kemudian martin datang lagi. Dia bilang sama nana bahwa dia sudah bekerja di galangan perahu di pelaihari dan dia memberanikan diri melamar nana, prang tua nana yang sudah kenal baik dengan martin sejak mereka di sma dulu dan tidak menolak lamaran itu.
Setelah menikah nana resmi diboyong martin ketempat di mana dia bekerja. Nana mau-mau saja, karena yang di ikutinya adalah tambatan hatinya sejak masih sma. Dan sejak itu pula martin telah membuktikan bahwa dia pemuda yang bisa dipercaya lahir dan batin. Sampai kemudian rio putra mereka lahir.
Nana merasa sangat bahagia.
Nana yang sedang bersedu sedan menagisi nasibnya tiba-tiba di ganggu oleh teguran nadia.
"Kak mau mandi dengan air panas?"
"Nanti saja, sebaiknya kamu pergi lepasar dulu, kalau kesiangan nanti tidak dapat apa-apa."
"Oke kak."
"Ambil uangnya di lemari pakaian."
"Sisa uang belanja kemaren masih ada, kalau kurang nanti pakai uang aku aja dlu." Kata nana sambil mengambil kernjang belanjaan.
"Kamu mesti sarapan dulu, nanti masuk amgin" kata nana mengingatkan."
"Biar nanti setelah pulang dari pasar aja kak, tanggung!" Jawab nadia, dia pun segera menghilang dengan keranjang belanjaannya.
Nadia tentu sangat lelah, sejak subuh sudah repot dengan pekerjaannya keluh nana memikirkan nasib adinya itu.
Nadia bekunjung kerumah mereka ketika liburan sekolah, katanya ingin memandang pemandangan laut, mandi air laut dan bermain dengan ombak. Tapi sejak itu nadia tidak pernah kembali lagi kerumag orang tua mereka.
Nadia ingin meringankan beban kakaknya begitu alasannya, ketika nadia mengetahui kakaknya mengidap penyakit yang begitu menakutkan.
Keadaan nana semakin hari semakin parah menurut dokter nana harus di operasi di rumah sakit besar di jakarta atau bandung.
Di tempat kerja martin melamun, marjo datang menemuinya, dia datang dengan membawa map berisi pesanan beberapa perahu. Marjo melihat martin sedang melmun.
" Melamun terus siang malam, gairah hidup kami semakin hari semakin suram, kaya lamou lehabisan minyak". Kata marto sambil meletakkan map di atas meja martin.
"Ooo ya, kemarwn sore aki dengar kamu bikin keributan di bar ya?"
Martin diam saja seperi sudah bosan untuk bicara.
" Sekarang beginilah jadinya, kamu jadi pemarah, mudah tesinggung. Cepat naik darah, kalau begini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, kamu harus segera mencari jalan keluar." Kata marjo
Martin yang tadi bosan bicara akhirnya buka mulut juga.
" Paling- paling kamu menyarankan seperti kemaren juga, meyarankan supaya saya lawin lagi, iyakan?" Jawan martin
" Itu salah satu pilahan, tapi aku pikir saran aku tidak terlalu buruk untuk di pertimbangkan, istri mu pasti merelakan karena dia sendiri menyadari keadaan dirinya, dan kebutuhan biologis mu sebagi laki-laki muda ." Marjo seperti kemaren tetap berusaha meyakinkan martin, marjo sendiri punya istri dua.
Martin malah menaggapinya dengan nada sinis.
" Gila! Aku belum mampu menyambuhka penyakitnya, malah akan aku racuni dia dengan penyakit baru, sakit hati!, Aku tidak bisa membayangkan betapa semakin menderitanya dia nanti."
Marjo cuma bisa mengankat bahu.
"Aku hanya sekedar menyarankan saja, karena kita teman, toh keputisan ada ditangan mu sendiri."
Martin kembali termenung, dia ingat istrinya. Perempuan yang sangat di cintainya itu pasti sedang duduk di kursi roda, atau sedang terbaring di tempat tidur atai sedng di banti nadia kekamar mandi.
Sudah berbulan bulan lamanya martin tidak menggauli istrinya. Terus terang sebagai seorang laki-laki normal dia smgat menderita. Sudah nerulang kali dia ingin melakukan pelarian, melampiaskan hasrat birahinya kepada perempuan lain. Tapi keinginan itu padam dengan sendirinya ketia dia teringat tatapan mata nana yang sendu , senyum nana memberrikan perasaan damai. Di sing itu perempuan yang dikasihinya sedang berjuang menunda datangnya maut.
" Kalau pun dia mati kelak, aku ingin dia menutup mata dengan senyum. Karena dia meninggalkan suami yang setia, seorang suami yang tidak seklipun pernah menghianatinya." Martin menarik napas dalam-dalam. " Aku bangga bisa melakukan hal itu. Aku bahagia bisa memberikan kemgan yang baik dalam hidupnya."...
Melihat martin tetap dengan perinsipnya , marjo tak bisa bilang apa-apa lagi.