Martin mengakui secara jujur, apa yang di katakan marjo memang ada benarnya.
Martin pulang kerumah belum terlalu larut malam, di temuinya nana belum tidur. mereka bicara di atas ranjang, sesuatu yang di jauhi martin akhir-akhir ini. Dia ingin pas pulang kerumah nana sudah tidur, sehingga tidak terlibat pembicaraan yang itu itu aja, seperti yang terjadi malam ini.
"Aku kasian melihat kamu, mas. Gara-gara aku kamu jadi menderita." Itu kata-kata pembuka yang di ucapkan nana. Hampir setiap malam kalau mereka mau tidur.
Dan seperti biasa pula, martin menatap nana, sambil tersenyum lebar.
"Kamu ini ada-ada saja, sayang. Aku tidak apa-apa, aku biasa-biasa aja, yang aku pikirkan, bagaimana caranya agar kamu cepat sembuh." Martin tetap membesarkan hati istrinya
"Kamu jangan pura-pura, mas. Kamu kan laki-laki normal, sejak aku sakit aku tidak bisa melayani kamu sebagaimana mestinya." Nana mengeluh lagi.
Dan masih tetap seperti malam sebelumnya kalau sedang berdua bicara dari hati ke hati di atas ranjang, martin berusaha menampilkan kesan yang paling baik untuk membahagiakan istrinya. Diciuminya istrinya di belainya perempuan malang itu semesra- mesranya. Tapi nana tetap beranggapan apa yang di lakukan martin kepadanya sekedar sandiwara saja, sekedar menyenagkan hatinya saja, dan dia mengatakan terus terang kepada martin.
"Mas, hentikan sandiwara mu, aku memgerti bagaimana perasaan mu, aku memahami kegelisahan mu." Nana berhenti sejenak berusaha mengontrol emosinya. Kemudian
" Aku tidak keberatan kalau mas mau kawin lagi."
Martin tersentak kaget, ditatapnya wajah istrinya yang kuyu.
"Apa? Tadi kamu barusan bicara apa, yang ?" Martin tertawa. " Mengapa kamu berpikir sejauh itu?"
Dilihatnya istrinya mulai menagis. Air mata keluar di pelupuk matanya dan mengalir pelan kepipinya. Akhirnya nana tidak kuasa mengendalikan emosinya, apa yang selama ini dipendam dalam-dalam di relung hatinya akhirnya terkuak juga.
"Aku takut, mas. Takut meninggalkan kamu!
Takut kehilngan kamu..." Nana menangis
Dan martin kembali mengumbar senyum seakan apa yang di katakan istrinya terlalu mengada - ada, di peluknya perempuan malang itu erat-erat.
Mungkin yang dikatakan istrinya benar. Dia tidak perlu terus-terusan bersandiwara, dia sudah bosan, dia sudah jenuh, dia ingin lari dari kenyataan pahit itu, tapi tidak bisa. Nana adalah perempuan yang baik, sangat lembut hati. Martin berusaha untuk tidak meghiati kebaikan dan kelembutan itu.
***
Hari itu hari minggu, martin membawa nana dan nadia melihat rumah kpr-btn yang akan segera mereka tempati, rumah itu berjarak kurang lebih 15 kilometer dari rumah yang mereka tempati sekarang. Sejak lama martin ingin memiliki rumah sendiri, rumah yang mereka tempati sekarang adalah rumah milik johan bos martin bekerja, dan martin boleh menampati rumah itu tanpa bayar sewa.
"Asalkan rumah itu kamu rawat baik-baik. Kata pak johan ketika martin mengutarakan niatnya akan menikah dengan gadis pilihannya.
Tapi sebagai orang yang sudah berumah tangga, dan sebagai kepala rumah tangga martin menginginkan memiliki rumah sendiri, dia tidak ingin membawa nana terus menumpang di rumah orang lain.
Martin ingin membangun sebuah"istana kecil" untuk mereka berdua. Tempat berlindung dari panas dan hujan, siang dan malam, tempat martin mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Dengan hasil uang yang sudah berhasil dikumpulkan selama ini, martin merasa mampu membayar uang muka sebuah rumah ukuran sedang. Dengan penghasilan yang di perolehnya setiap bulan dari jabatannya sebagai mandor di galangan perahu, martin merasa mampu membayar cicilan rumah itu.
Ketika martin menyampaikan keinginannya kepada nana, iatrinya menyambut dengan baik.
" Setiap jengkal tanah dan halaman rumah kita akan aku tanami bunga-bunga. Biar nanti rumah kita jadi sebuah istana di tengah taman bunga." Kata nana
Setiap hari libur mereka menghabiskan waktu di rumah mungil itu.
Dan hari minggu ini, mereka mebawa nadia adik nana yang menghabiskan masa liburannya.
Sepanjang pagi hingga tengah hari nana dan nadia sibuk menanam bunga yag mereka peroleh dari sana-sini, ada yang di diperoleh dari tetangga, apa juga yang di pindah dari rumah mereka yang selama ini di tempati. Sedangkan martin sibuk mencat pagar dengan warna hijau sesuai permintaan istrinya.
"Rumah masa depan!" Kata martin ketika melihat rumahnya yang semakin rapi.
"Ya, sebuah rumah buat hari tua kita!" Sambut nana.
Nadia juga merasa betah berada di rumah itu. Malah bilang minta dibikinkan kamar khusus untuknya. Nanti kalau musin libur sekolah dia ingin menghabiskan waktu di situ biar bisa tidur bersama rio.
"Minggu depan kalau kita kemari lagi, aku ingin menanam baberapa cangkokan pohon buah-buahan di halaman belakang". Kata nana
"Ya,, kita akan menanam pohon mangga, rambutan atau jeruk. Kita akan menjadikan rumah kita sebuah rumah yang asri. Home sweet". Tukas martin sambil memandang kesekeliling rumahnya.
Menjelang sore hari mereka meninggalkan rumah barunya, kembali kerumah milik johan.
Dalam perjalanan pulang mereka sempat singgah membeli beberapa makanan untuk di bawa pulang.
"Sekali- sekali teraktir nadia yang sedang libur sekolah kan tidak ada salahnya, aku kuwatir kalau nanti nadia pulang akan mengatakan sama bapak dan ibu selama libur di rumah kita dia tidak pernah di teraktir..." Kata martin bercanda.
Nadia cuma nyengir di candai begitu.
Dia memang akrab dengan martin, sejak dia masih duduk di kelas satu smp, karena martin sering datang kerumah mereka untuk mengapel kakaknya. Tidak jarang pula kakaknya mengajak kerumah martin dengan alasan macam-macam. Padahal dia tahu persis kakaknya kangen sma martin.
"Padahal sebenarnya mas martin sendiri yang kepengen beli makanan." Sindir nadia.
Martin tertawa, nadia ikut tertawa, tapi nana tidak. Dia malah diam saja sambil memegang keningnya, kemudian meringis kesakitan. "Lhoo, kamu kenpa?". Tanya martin melihat istrinya begitu.
Nana tidak menjawab kecuali terus memegang keningnya. Tia juga terkejut melihat sikap kakaknya yang berubah.
Martin mempercepat laju mobilnya bututnya, kendaraan tua itu menggeram-geram kepayahan. Tapi martin ingin agar segera tiba di rumah.
Sepanjang perjalanan pulang nana tidak bicara, dia hanya bisa mengeluh dan mengeluh, antara sadar dan tidak dia merasa kepalanya pusing sekali sekujur tubuhnya lemah tak berdaya.
Sebebarnya sejak sebulan yang lalu nana sering merasakan kepalanya pusing sekali. Dia merasa juga kondisi tubuhnya semakin lemah. Tapi dia tidak mau mengungkapkan hal itu pada martin, dia mencoba mengatasi sakit kepala degan obat sakit kepala yang di jual di warung. Rasa pusing di keplanya itu memang kadang hilang, tapi besok-besok muncul lagi. Begitu terus.