Calon Mama Baru

Bel tanda pelajaran berakhir telah berbunyi. Anak-anak sudah merapikan semua alat tulis dan memasukkan ke dalam tas mereka masing-masing. Satu persatu, Maria menunjuk deretan bangku yang boleh pulang terlebih dulu.

Setelah semua anak didiknya keluar dari kelas, Maria pun berjalan paling akhir keluar dari ruangan itu. Sesosok lelaki tinggi tegap tiba-tiba berdiri di ambang pintu dan menghentikan langkahnya.

"Mas Raffa???" Maria nyaris berteriak karena kaget. Laki-laki itu berdiri begitu saja secara tiba-tiba tepat di depannya.

Raffa tersenyum melihat reaksi Mari. "Kok kamu kaget seperti itu? Lagi melamun ya? Makanya tak memperhatikan aku yang sedari tadi berdiri di sini."

"Ah ... Enggak juga." Maria berusaha menutupi keterkejutannya. "Cuma sedikit kaget saja."

Tidak bisa dipungkiri. Sejak semalam pikiran Maria selalu tertuju pada Raffa. Bahkan saat dia terbangun hingga mengajar murid-muridnya, mata Maria selalu mencuri pandang pada sosok Neza yang mewakili wajah ayahnya. Raffa.

"Ada apa, Mas? Eh ... Pak!" Maria kembali memperbaiki panggilannya. "Bukannya Neza tadi sudah keluar kelas? Apa belum ketemu sama Neza?"

Raffa kembali tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah kantong plastik yang ia sembunyikan dari balik badannya.

"Neza sudah ada di mobil. Cuma aku ingin mengembalikan sweter ini kepada pemiliknya." Raffa menyodorkan kantong plastik yang berisi sweter milik Maria yang tak sengaja terbawa oleh Neza kemarin.

Maria menerima bungkusan itu dengan ragu. Ingatannya seolah berbalik saat Raffa dulu memberikan sweter itu, sebagai kado ulang tahunnya. Hampir sama. Saat itu Maria baru keluar dari dalam kelas karena dia masih kelas 3 SMA, sementara Raffa yang sedang menyusun skripsi, baru pulang dari tempatnya menjalankan KKN dan langsung menemuinya di sekolah dan memberikan kado itu.

"Ini sudah dicuci, kok. Tadi pagi aku langsung minta penatu untuk mengerjakannya, agar siang ini bisa aku kembalikan lagi padamu."

Maria akhirnya mengambil juga bungkusan itu. "Kenapa harus terburu-terburu. Kalau Neza masih mau memakainya, tidak apa-apa kok, Mas! Eh ... Pak! "

'Duh kenapa aku jadi latah kayak gini?' rutuk Maria. Ia tidak bisa menyembunyikan kegugupannya menghadapi lelaki yang ada di depannya.

"Kenapa kamu jadi canggung kayak gitu, Maria. Ayolah ... Kau panggil aku seperti biasa saja."

Maria tersenyum hambar. "Tidak bisa seperti itu juga, Pak! Ini area sekolah. Dan Bapak adalah ayah dari anak didik saya, jadi .... "

"Jadi kalau di luar sekolah boleh?"

"Ya enggak juga."

Raffa tertawa meledek. "Bagaimana sih ibu guru ini. Tidak konsisten." Raffa melihat jam tangan di pergelangan tangan kanannya. Lalu kembali menatap ke arah Maria.

"Sekarang sudah jam makan siang, bagaimana kalau aku mentraktirmu makan?"

Deg!

Dada Maria kembali terasa seperti dihantam. Terasa berat dan menyesakkan. Entah dia harus bilang apa untuk menolak ajakan Raffa. Yang jelas ia tak ingin hatinya semakin berat melupakan lelaki itu.

"Maaf, aku masih ada pekerjaan, Pak! Jadi tidak bisa ikut makan siang dengan Bapak. Lagi pula enggak enak juga kalau anak-anak lain tahu aku pergi bersama salah satu orang tua anak didiknya."

Raffa mengernyitkan keningnya. "Lho ... Ini permintaan Neza lho. Ini juga sebagai tanda ucapan terima kasihku."

"Ya ... Tapi tidak usah seperti ini juga, yang saya lakukan kan sudah menjadi kewajiban saya sebagai guru kelas Neza dan tenaga pendidik di sekolah ini. Kalau pun itu bukan Neza, aku tetap melakukan hal yang sama kok."

"Kalau pun yang melakukan bukan kamu, aku juga tetap memintanya untuk makan siang bersama kami." Raffa masih tak mau menyerah, ia membalikkan semua kata-kata Maria.

"Dan ... Tidak ada salahnya, kan! kalau orang tua dekat dengan guru kelas anaknya. Anggap saja aku sedang konsultasi perkembangan Neza selama di sekolah."

Entah alasan apa lagi yang bisa Maria katakan. Yang jelas saat ini dia benar-benar terpojok.

"Ayolah Maria! Hanya kali ini saja. Atau ... Kalau saat ini kau belum bisa. Kau tinggal bilang saja, kapan kau punya waktu dan aku pasti akan menunggunya."

'Hhhh ... Percuma saja sekarang menolak ajakan Mas Raffa. Aku tahu benar siapa dia. Mas Raffa tak akan pernah berhenti jika keinginannya tak dituruti. Apalagi jika untuk membalas kebaikan orang. Dia orangnya anti berhutang budi. Jadi ... Sepandai apa pun aku menghindarinya. Dia tak akan pernah berhenti hingga aku menuruti kemauannya.'

Maria menghela napas. "Baiklah ... Tapi aku kembali ke mejaku dulu sekalian pamitan pada yang lain. Aku tak mau mereka mengira aku diculik karena tak kembali setelah selesai mengajar."

Raffa tak bisa menyembunyikan kemenangannya. Bibirnya tersenyum lebar.

"Kalau begitu aku tunggu di mobil ya?"

Maria hanya mengangguk. Keduanya lalu berjalan berlawanan arah. Maria menuju ke ruang guru. Sementara Raffa kembali ke mobil di mana Neza telah menunggunya.

Selang tak berapa lama, Maria terlihat keluar dari ruang guru dan menghampiri mobil mereka.

"Itu Bu Maria sudah keluar, Pa!" ucap Neza dengan girang. Sementara Raffa yang sedang membuka gawainya, langsung menoleh ke arah Maria.

"Oh iya." Raffa kembali turun dari mobilnya dan membukakan pintu samping depan untuk Maria.

"Aku di belakang aja, Mas! Kan ada Neza di bangku depan.

"Enggak apa-apa, Neza bisa di belakang kok. Atau kau bisa memangkunya. Betul begitu kan Neza?"

Raffa menoleh ke arah Neza yang memperhatikan mereka.

"Iya, Bu. Duduk sama Neza aja."

Maria akhirnya duduk di kursi depan bersebelahan dengan tubuh kecil Neza yang sudah sedari tadi menunggunya.

"Neza mau Ibu pangku?" tanya Maria setelah Raffa menutup pintu dan berjalan mengitari mobil menuju kursi kemudi.

Neza tersenyum sambil mengangguk. Ia lalu berdiri dan bergeser dengan bantuan Maria yang mengangkat tubuh kecil itu.

"Oke semua sudah siap?" tanya Raffa yang sudah masuk dan duduk di kursinya. Sesaat ia mengatur semua kaca spion agar mudah memperhatikan jalan.

"Siap! Kita berangkaaaaat!" ucap Neza dengan wajah yang terlihat bahagia.

Maria melingkarkan kedua tangannya di tubuh Neza dan memeluk erat-erat anak didiknya itu. Sebuah kecupan berulang mendarat di kepala Neza.

"Bagaimana perkembangan belajar Neza, Maria? Apakah dia ada kesulitan dalam menerima pelajaran?" tanya Raffa yang sudah menjalankan mobilnya. Matanya menatap lurus ke jalanan, memperhatikan lalu-lintas di depannya.

"Neza anak yang cerdas, Mas. Setiap pelajaran bisa dengan mudah diterimanya. Begitu kan, Sayang?"

Neza tersenyum, namun dia sedikit heran. "Kok papa panggil ibu guru hanya Maria saja? Dan Bu Guru Maria panggil Papa, Mas?"

Maria terkejut dengan pertanyaan Neza. Ia telah kelepasan memanggil Raffa dengan sebutan Mas di depan Neza. Namun lain halnya dengan Raffa. Dia hanya menanggapi dengan senyuman pertanyaan Neza.

"Kan Papa lebih tua dari Ibu Maria, jadi boleh panggil Ibu Maria hanya dengan menyebut namanya saja," terang Raffa dengan senyum masih mengembang di bibirnya.

"Kalau Bu Maria? Kenapa panggil Papa, Mas? Sama kayak Mama dulu manggil papa." Neza masih belum puas dengan jawaban papanya. Ia menatap Raffa dengan pandangan penuh keingintahuan.

"Ya kamu tanya saja sama Bu Maria? Bisa juga kan kalau Bu Maria jadi Mama Neza?" jawab Raffa enteng.