"Apa salah satu dari mereka ada yang memperkenalkan namanya?"
"Tidak ada sama sekali Bu. Mereka berbicara dengan sopan, lugas, namun tetap terdengar wajar meski tanpa memperkenalkan nama. Mereka orang profesional terlatih tampaknya. Saya dan karyawan lain bahkan baru menyadari bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang memperkenalkan namanya, saat mereka sudah pergi satu jam kemudian. Kami terkecoh dan menjadi tidak teliti. Hebat sekali mereka, atau mungkin memang saya juga yang bodoh."
Emili tertawa di ujung kalimatnya. Seraya santai menghabiskan udang saus pedas miliknya. Karena dia tidak ingin suasana pembicaraan yang tegang, seperti biasanya. Sementara Luna menggeleng.
"Tidak. Kau dan yang lain memang perlu mewaspadai orang-orang seperti mereka, Bu. Banyak orang-orang licik yang memiliki kemampuan komunikasi sangat bagus. Misalnya saja orang yang telah ahli menipu pengusaha besar atau orang besar." Jelasnya.
"Ya. Dan sepertinya aku harus belajar lagi menangani orang-orang seperti itu."
Mereka lantas terdiam selama beberapa menit karena sibuk dengan menu makanan masing-masing. Namun sesaat kemudian, tetiba Luna menyadari sesuatu.
"Tadi kau bilang Santoso Furniture?" Tanyanya, seraya menghentikan gerakan tangan yang memegang garpu dan pisau di atas piring berisi hidangan yang tinggal sesuap.
Wanita paruh baya di depannya mengangguk dengan tenang. "Benar. Perusahaan yang dipimpin oleh orang bernama Aria Pamungkas, kalau tidak salah."
Tanpa dia tahu Luna justru hampir tersedak udara saat mendengar nama itu disebut olehnya.
"Ya ampun! Hati-hati Bu. Ayo minum pelan-pelan." Dengan perlahan Emili menyodorkan gelas minuman milik atasannya.
"Terima kasih." Luna segera menerima gelas tersebut meneguk isinya perlahan. Dia mengutuk dalam hati, jengkel mengapa harus tersedak secara mendadak. Macam di cerita fiksi saja.
"Ada apa sebenarnya Bu?"
Tentu saja Emili peka dengan reaksi Luna barusan. Tersedak tiba-tiba adalah bukan hal yang terlalu normal. Pasti ada sesuatu. Namun sebelum Luna menjawab pertanyaannya, Emili sudah mengatakan hal yang dia telah duga sedari tadi.
"Apakah orang yang mengirim email itu adalah Aria Pamungkas?"
Gadis di hadapannya mengangguk sambil meletakan gelas yang isinya sudah habis. "Tepat sekali. Aku pun menduga demikian. Beberapa waktu lalu aku terlibat pertengkaran kecil dengan lelaki angkuh itu saat mendatangi acara peresmian sebuah hotel. Dia orang yang angkuh, ternyata bukan hanya gosip."
"Lalu?"
"Untung saja kami tidak jadi ribut karena Fero memaksaku segera pulang. Tapi aku tidak tahu apa maksudnya pria itu menawarkan bantuan."
Emili menatap dengan raut ngeri. "Kau harus berhati-hati, Bu. Orang seperti itu, tidak mungkin tidak punya maksud apa-apa. Sebaiknya, jika memang terpaksa ingin menerima tawarannya, bawa pengawal saja. Tapi sebaiknya kita tidak usah berurusan dengannya sih."
"Kalau soal menerima atau tidak, itu urusanku Bu. Kau harus mengerti, posisiku sulit."
"Iya juga sih. Saya hanya khawatir dengan keselamatanmu. Jadi tolong jangan abaikan itu. Saya berjanji akan mencarikan orang terbaik untuk mengawalmu kalau-"
"Tidak perlu. Sungguh terima kasih banyak, Bu. Kau lupa ya, aku sudah memiliki beberapa orang yang cukup bagus untuk peran itu?" Luna menatap pekerjanya itu dengan senyuman penuh penghargaan.
Dia kagum pada semangat kerja wanita itu sedari masa awal bergabung dengannya. Selalu penuh dengan totalitas, kepedulian dan loyalitas. Selalu dengan sepenuh hati, hingga mampu memproduksi hasil terbaik pada setiap tugas yang dilakukan. Maka tak heran jika atasan manapun akan sangat senang memiliki pekerja seperti Emili. Meski begitu, Emili bukan tipe orang yang suka diistimewakan. Dia lebih ingin diperlakukan sama seperti karyawan lainnya dan menolak perlakuan sedikit berlebih sebagai karyawan senior terbaik. Dan Luna pun tidak bisa memaksa. Dia mengerti bahwa Emili adalah tipe wanita yang dewasa dan cerdas.
Setelah urusannya selesai di tempat itu, Luna segera keluar menuju area parkir. Dia harus kembali untuk memikirkan hal lain dan berbagai rencana. Memang seperti itulah hidupnya sedari dulu, selalu menyusun atau mencari rencana. Baik dalam keadaan suka maupun duka, karena dia sadar dia harus terus memutar otak selama tubuhnya masih bernyawa. Bukan diam berpangku tangan dalam waktu lama.
Saat hendak membuka pintu mobilnya, tetiba perhatian gadis itu teralihkan pada sebuah mobil sport putih yang melintas cepat di jalanan sana. Dia merasa pernah melihat mobil tersebut namun entah di mana. Dia tidak bisa mengingatnya saat ini. Namun dia segera masuk ke dalam mobil untuk segera pergi dari tempat itu. Sekarang bukan saat yang tepat bagi dia untuk memikirkan hal yang tidak terlalu penting.
Sepanjang perjalanan Luna justru berpikir keras tentang email yang dia terima, yang kemungkinan besar memang dikirim oleh pihak perusahaan furnitur yang disebut oleh Emili sewaktu di restoran tadi. Aria Pamungkas. Benar. Pria angkuh itu kemungkinan besar adalah orang yang mengirim email. Namun di sisi lain, separuh hati Luna meragukan. Orang sesombong itu, mana mungkin tetiba menawarkan bantuan bahkan dalam jumlah yang besar?
Eh, tapi, orang itu pun mengatakan ada syaratnya dalam email tersebut. Jadi bukan tawaran bantuan gratis begitu saja kan?
Akh!
Luna memukul dashboard sekilas, karena rasa jengkel akan pikirannya yang terbagi menjadi dua kubu, yaitu menolak dan menerima. Tapi ada satu hal lain yang dia duga terhadap pria bernama Aria Pamungkas tersebut. Yaitu bahwa mungkin saja pria itu ingin membalas dendam atas insiden pertengkaran mereka di malam acara peresmian sebuah hotel. Jika memang benar, apa yang harus ditakutkan? Lagipula pria itu tidak akan mencelakainya hanya karena masalah kecil tersebut. Kecuali jika Luna mencuri hartanya atau merusak mobil mewahnya, mungkin itu akan menjadi perkara yang berbeda.
Sekali lagi Luna hampir memukul sesuatu di depannya. Dia bingung, butuh seseorang untuk diajak berdiskusi soal ini. Untuk memilih apakah dia harus memutuskan menolak atau menerima. Tapi siapa?
Emili tidak bisa. Wanita itu cenderung mengatakan terserah pada Luna. Lagi pula mereka sudah berbicara tadi dan itu terbukti. Tetiba Luna menarik napas pelan karena teringat seseorang.
Ibunya. Ya, andai saja ibunya masih ada, mungkin dia bisa berdiskusi dan meminta sedikit pendapat. Karena biasanya Luna akan mendapat sedikit petunjuk seusai berbicara dengan sang ibu. Namun sayang sekali, sosok itu telah meninggalkannya sekarang. Ah, mengingat hal seperti itu membuat Luna hampir menitikan air mata kembali. Dia lantas segera menyeka setitik bulir dingin yang pecah dan memanjang di satu pipi tersebut.
Lantas dia terpikir untuk mendatangi seorang kawan yang cukup akrab. Yaitu wanita bernama Amanda yang merupakan owner dari sebuah toko busana yang juga berada di daerah Jakarta Selatan. Namun sebelum datang ke tempat yang dituju, Luna memberi kabar lebih dulu dan izin untuk datang. Karena itu adalah salah satu etika ketika akan mendatangi seseorang atau datang ke tempatnya.
.
"Dari Aria Pamungkas? Kau yakin orang sombong itu mau membantu?"
Luna sudah bercerita secara singkat tentang maksud dan tujuannya datang ke tempat itu secara mendadak. Namun temannya yang bernama Amanda itu cukup terkejut dan tidak yakin juga. Karena sama seperti banyak para pelaku bisnis lainnya, dia juga sering mendengar kabar tentang pimpinan perusahaan Santoso Furniture.
"Tentu saja. Karena dia menawarkan pun pasti ada syaratnya. Bukan secara cuma-cuma."
"Apa? Akusisi terhadap restoranmu?"
Luna menggeleng. "Kalau memang itu, jelas aku akan menolaknya. Aku tidak akan mau menyerahkan sebelum usahaku berakhir. Usaha mempertahakannya."
"Sudah kuduga. Kau memang orang yang gigih."
"Bukan. Karena itu bisnisku satu-satunya. Jadi, bagaimana menurutmu?"
"Karena kau sedang dalam kondisi sulit, saranku adalah coba saja namun dengan hati-hati. Pikirkan juga keselamatanmu."
.