Enam tahun kemudian.
“Pak Wardi? Mobilnya sudah siap?” ujar Ratih yang sedikit berteriak dari arah dapur.
“Sudah bu. Ini tinggal di lap kering saja mobilnya.” jawab Pak Wardi sambil membawa lap di tangannya.
Setelah mendapat jawaban dari Pak Wardi, Ratih segera berjalan kembali ke kamar dan kembali bersiap untuk pergi bertemu dengan sahabat semasa sekolahnya.
Setelah Odelia lulus kuliah dan ia langsung mendapatkan pekerjaan, rumah itu terasa sepi. Kakak-kakak Odelia juga memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri-sendiri.
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Tak terasa juga kini Ratih telah memiliki seorang cucu dari anak pertamanya dan akan menantikan kelahiran cucu keduanya dari anak kedua. Dan kini ia hanya tinggal menunggu Odelia untuk siap menikah.
Masalah itu sering Ratih bahas ketika sedang berdua dengan Odelia. Mengingat usia Odelia yang sudah cukup matang untuk menikah, Ratih sedikit takut jika anak bungsunya tidak mendapatkan jodoh. Pasalnya. Ratih juga tidak pernah melihat Odelia berkencan atau membawa teman laki-lakinya ke rumah.
Tapi, hal itu selalu dibantah oleh Odelia yang kini ia masih ingin fokus dengan karirnya yang sedang melejit. Odelia sekarang bekerja di perusahan besar di kotanya dan ia sedang menjabat sebagai kepala manajer pemasaran, dimana itu adalah sebuah jabatan besar dan mempunyai tanggung jawab yang tinggi bagi Odelia.
Meskipun begitu, Ratih tetap membicarakannya kepada Odelia bukan hanya semata untuk mengingatkan, tapi Ratih sudah benar-benar ingin anak terakhirnya segera punya teman hidup. Ratih juga sedang berusaha mencarikan seorang laki-laki untuk Odelia.
Seperti sekarang ini, Ratih sedang menuju sebuah restoran untuk bertemu dengan sahabat lamanya. Pertemuan itu bukan semata pertemuan antara teman lama, tapi akan ada sesuatu yang terjadi.
“Pak Wardi, setelah antar saya ini nanti langsung jemput bapak saja, ya. Ini bapak tadi bilang ke saya kalau bapak mau ada acara sama teman-teman golfnya.” ujar Ratih ketika sudah duduk manis di dalam mobil.
“Baik, bu.” jawab Pak Wardi.
“Kalau misalnya nanti waktunya mepet sama bapak biar saya di jemput sama adek aja katanya nanti dia bakal pulang lebih awal.”
“Tumben adek pulang lebih awal?”
“Katanya mau lanjut kerja dirumah nyicil laporan akhir bulan”
“Kayaknya cuma adek aja ya bu yang giat bekerja”
“Anak itu dari dulu selalu begitu hanya saja ia kenal dengan musuhnya itu jadi agak bermasalah di akhir masa SMAnya.”
“Ibu jangan terlalu keras sama adek saya kadang kasihan ngeliatnya”
“Itu juga buat kebaikannya, pak.”
Pak Wardi hanya terdiam dan tak berani menjawab juragannya lagi. Ia tetap fokus menyetir hingga tiba di tujuan.
Ratih tiba di sebuah tempat makan yang cukup mewah, ia diturunkan oleh supirnya di depan pintu masuk yang sudah disambut oleh pramusaji yang siap membukakan pintu.
Ratih tidak berkata apa-apa lagi karena tadi ia sudah mengingatkan supirnya untuk menjemput suaminya dulu.
“Selamat sore, sudah pesan tempat sebelumnya?” ujar pramusaji itu ketika Ratih sudah berada di dalam restoran.
“Saya sudah ada janji dengan Ibu Vivi Aryani.”
“Oh baik kalau begitu mari ikut dengan saya” pramusaji itu mengantarkan Ratih ke sebuah ruangan privasi yang di akan di pesan oleh orang-orang yang punya banyak uang. Bisa dilihat juga kalau restorannya begitu mewah.
Ratih berjalan dengan perasaan yang tak sabar, pasalnya ia sudah merencanakan pertemuan ini begitu lama dan karena Vivi juga baru saja pulang dari Eropa.
“Silahkan masuk, bu” ucap pramusaji yang mempersilahkan Ratih masuk ke ruangan yang bernama ‘cakrawala’
“Terima kasih, mbak” Ratih mengangguk pelan dan langsung mendorong pintu yang terbuat dari kayu jati, sedikit berat dan akhirnya Ratih dibantu pramusaji untuk mendorong pintu itu.
Suasana di dalam ruangan itu begitu sunyi dan sepi, Ratih melihat ke sudut ruangan itu dan langsung menemukan Vivi yang berdiri sambil sibuk dengan ponselnya.
"Permisi, Ibu Vivi?" Ratih sedikit menggoda Vivi dengan berbicara ala pramusaji.
Sontak Vivi menoleh ke suara itu berasal dan langsung berteriak karena terkejut melihat sahabatnya itu datang. "Ratih…. Astaga aku kangen banget sama kamu" Vivi sedikit berlari ke arah Ratih dan langsung memeluk Ratih dengan erat.
Mereka melepas rindunya dengan pelukan yang sangat erat sampai mengayunkan-ayunkan tubuh mereka. "Pertemuan ini tidak menjadi sebuah wacana saja" ujar Vivi yang masih kegirangan ketemu sahabatnya itu.
"Kalau kamu di Indonesia pertemuan ini tidak akan menjadi wacana saja, Vi." Ratih juga begitu senang bertemu sahabatnya itu.
Vivi melepaskan pelukan itu, ia memegangi kedua pundak Ratih sambil melihat wajah Ratih lebih dekat. Vivi tak percaya jika akhirnya ia bertemu lagi dengan sahabatnya ini setelah beberapa tahun mereka dipisahkan oleh benua.
“Duduk yuk..” ajak Vivi yang mempersilahkan Ratih duduk. Terlihat juga di meja makan itu sudah ada beberapa jenis makanan yang sudah disajikan.
Mereka menarik kursi dengan bersamaan lalu duduk dengan sikap yang manis. "Kamu tampak lebih muda, apa resepnya?" Ratih memulai obrolan basa-basinya.
"Nggak ada resep khusus buat jadi lebih muda. Cukup bahagia saja itu sudah menjadi obat yang paling manjur" jawab Vivi yang kini duduknya sedikit menghadap Ratih.
"Keluargamu sudah tidak seperti dulu?"
"Syukurnya aku dan suami sudah melewati masa-masa pertengkaran itu dan membuat aku sadar untuk lebih tidak mementingkan ego"
"Syukur, senang sekali aku mendengarnya. Selama di Eropa kamu tidak pernah menceritakan soal itu"
"Karena aku ingin bercerita langsung dengan mu, biar sekalian mengingat masa sekolah yang tiada hari tanpa bergosip, haha" Vivi sedikit mengenang semasa sekolah dulu dan itu membuat Ratih sedikit terbuka memori saat itu.
"Ahh, ngomong-ngomong bagaimana sekarang anakmu? Sudah menikah belum?"
"Kita bahasnya sambil makan saja,ya?" Vivi membuka piring kosong yang ada di hadapannya dan disusul Ratih yang melakukannya juga tanpa berkata apapun.
"Anak ku yang paling besar itu belum menikah dia selalu sibuk di kantor sama papanya" Vivi mulai melanjutkan obrolan itu
"Anak kamu dua kan?" Ratih memastikan hal itu
"Iya, yang pertama laki-laki terus yang kedua perempuan"
Ratih mulai menyendok makanan yang terlihat begitu menggoda baginya dan tak ketinggalan ia mengambil udang saus mentega kesukaannya. "Yang laki-laki sudah punya pacar belum?"
Vivi melirik ke arah Ratih yang mungkin pikiran Vivi sama dengan sahabatnya itu. Mereka langsung tertawa saat sudah saling pandang, ternyata Vivi belum berubah ia adalah perempuan yang mudah menangkap maksud atau bisa dibilang peka dengan keadaan.
Mereka melanjutkan makan dengan obrolan yang sedikit serius dan rencana Ratih yang ingin menjodohkan Odelia dengan anak laki-lakinya Vivi ini diterima baik oleh sahabatnya.
Vivi mulai termakan omongan dari Ratih yang seusia mereka ini sudah waktunya untuk menimang cucu apalagi Vivi belum sama sekali memiliki cucu.
“Kalau begitu bisa di atur, kan kapan pertemuan itu bisa dilangsungkan?” ujar Ratih setelah menghabiskan makanannya.
“Bisa banget, nanti aku kabarin lagi kalau dia punya waktu luang.”
***
Vivi sudah pulang terlebih dahulu bersama suaminya. Kini tinggal Ratih yang sedang berdiri di depan pintu masuk restoran, tepat ia diturunkan Pak Wardi tadi.
Ratih sudah menghubungi Odelia dan minta untuk di jemput di tempat itu. Sembari menunggu, Ratih sedikit melamun dan membayangkan kejadian indah yang ada di depannya. Anak terakhirnya di pinang oleh lelaki yang bertanggung jawab dan begitu sayang dengan Odelia. Dilihat dari latar belakang keluarga Vivi anak sulung Vivi pasti lelaki yang sempurna untuk Odelia.
Bunyi klakson mobil mengejutkan Ratih dan membubarkan lamunannya itu. Ia akhirnya sadar jika Odelia sudah tiba. Dengan segera, Ratih berjalan menuruni anak tangga dan masuk ke dalam mobil Odelia.
Ratih sungguh menggantungkan harapan itu agar segera terjadi.