Bagian 8

Selang beberapa minggu Ardino memulai bekerja di kantornya, hari ini Papa Ardino ingin datang ke kantor karena ingin memeriksa perkembangan di kantor dan nanti akan berkunjung ke bengkel bersama paman Ardino dan tentunya dengan Ardino juga.

Kesibukan Ardino membuatnya jarang berkumpul dengan anak-anak freedom. Semenjak kedatangannya di Indonesia, Ardino hanya sekali bertemu dengan anggota klub motornya itu yaitu saat Ardino tiba di bandara lalu mengantarkan Ardino sampai dirumah. Akhir minggu ini ia ingin berencana bertemu dengan klub motornya yang ia dirikan sejak lama itu. Ngomong-ngomong soal klub motor, Ardino ingin memberi usulan kepada Papanya jika ia ingin memberi fasilitas service motor gratis di bengkelnya itu kepada klub motornya. Itu masih angan-angan Ardino karena ia masih merasa tidak enak kepada Papanya dan lagipula bisnis mereka juga belum lama berdiri.

“Hari ini kamu ikut ke bengkel,ya” ucap Erwin, Papa tiri Ardino.

“Iya, Pa. Tapi, aku harus ke kantor dulu kemarin Tasya bilang ada beberapa dokumen yang harus aku tanda tangani.”

“Kayaknya Tasya harus bikin stempel tanda tangan kamu biar kamu nggak kesusahan.” jawab Erwin yang sibuk mengoles selai di atas rotinya.

“Nanti aku bilang sama Tasya.”

“Kayaknya hari ini kalian sibuk banget, ya” Mama Ardino muncul dari arah belakang suaminya sambil membawa tab yang berukuran 10 inci.

“Kenapa, Ma?” tanya Ardino.

“Mama mau makan malam sama teman sekolah Mama dan rencananya Mama pengen kenalin kamu ke teman Mama.” jawab Vivi dengan wajah yang begitu ceria.

“Aku?” Ardino menunjuk dirinya sendiri menggunakan jari telunjuknya untuk memastikan yang dimaksud oleh Vivi.

“Iya, kamu.. anak Mama yang paling ganteng”

“Iya paling ganteng soalnya nggak ada lagi yang ganteng selain kamu” Erwin ikutan nimbrung setelah berhasil mengunyah roti selainya dari suapan pertama.

“Oh.. makasih kalau ketampanannya Papa diserahkan semuanya ke aku” Ardino terkekeh menjawabnya.

“Papa memang harus mengalah demi keluarga.” jawab Erwin itu membuat Ardino menatap Ayah tirinya dengan tatapan nanar. Ia tak menyangka jika Erwin bisa berubah dan bertanggung jawab penuh atas keluarga barunya. Jika dibandingkan dengan Erwin yang dulu itu sungguh jauh berbeda.

“Terus.. maksudnya Mama tadi gimana?” Ardino langsung membalikan topik pembicaraan.

“Ya, kamu ikut makan malam dengan Mama.”

“Cuma aku aja yang di ajak? Dea nggak di ajak juga?”

“Mama lagi pengen ngajak kamu.” Vivi mulai mengambil roti yang ada di hadapannya.

“Mama nggak lagi pengen pamerin aku, kan?” Ardino menaikan satu alisnya.

Sejenak Vivi saling bertatapan dengan suaminya seperti sedang memberi kode, “Nggak lah.. memangnya salah kalau Mama mau ngajak kamu?”

“Nggak ada yang salah, sih.. cuma aku takutnya Mama star syndrom gitu..”

“Bahasa apaan sih itu Mama nggak ngerti pokoknya Mama pengen kamu temenin Mama makan malam, titik."

"Baiklah.." Ardino akhirnya mengiyakan perintah dari Mamanya dengan pasrah.

"Kabar club motor kamu gimana, No?" Erwin nyeletuk begitu saja.

"Kabarnya baik sih, Pa. Cuma aku kan belum ketemu lagi sama mereka."

"Ajak main lah mereka ke bengkel"

Ardino tersenyum lebar saat mendengar Erwin mengatakan hal itu, “Iya, Pa. Nanti aku akan atur jadwalnya biar mereka bisa datang ramai-ramai kesana. Buat mereka gratis, ya, Pa?”

“Buat mereka dan buat teman-temannya Dea gratis”

Senyum Ardino semakin mengembang lebar. Ia harus begitu bersyukur dan akan segera merencanakan pertemuan untuk anak-anak freedom.

Mereka bertiga segera menyelesaikan sarapannya tanpa kehadiran Dea. Perempuan itu sudah berangkat lebih pagi karena ada banyak kegiatan di kampusnya. Keluarga itu gagal menjadi keluarga cemara di pagi hari.

Ardino dan Erwin segera berangkat menggunakan mobil Erwin. Ardino tidak diperbolehkan naik motor yang berisik itu karena hari ini ia punya banyak acara. Dan mobil itu melesat begitu cepat meninggalkan rumah.

Di perjalanan menuju kantor, Ardino menyambi untuk membuka beberapa email yang masuk dari Tasya. Itu adalah dokumen barang pesanan yang harus segera dikirimkan ke distributor untuk memenuhi kelengkapan keperluan bengkel. Ardino tampak seperti orang yang benar-benar sibuk ditambah lagi dengan pakaiannya yang formal banget. Kalau digambarkan, Ardino ini seperti CEO muda yang sibuk dengan pekerjaannya dan lupa dengan urusan percintaannya.

Tapi, tunggu sebentar.

Ardino memang tidak punya riwayat percintaan yang gimana-gimana. Semasa ia kuliah pun bukan percintaan yang ia pikirkan, melainkan kegiatan kuliahnya dan klub motornya, freedom. Dari dulu Ardino memang ingin mendedikasikan hidupnya untuk freedom. Namun, setelah pulang dari Eropa beberapa waktu yang lalu, Vivi sempat menanyakan soal asmara anak bujangnya itu dan Ardino menjawab ia ingin memantaskan diri dulu sebelum mendekatkan dirinya kepada beberapa perempuan yang akan ia temui nanti. Ardino ingin memenuhi amanah dari almarhum ayahnya yang ingin menjadi lelaki yang bertanggung jawab.

Ia juga melihat betapa berjuangnya Erwin untuk keluarganya dan Ardino tidak mau membiarkan Erwin berjuang sendirian, setidaknya memang Ardino bisa disebut dengan lelaki yang penuh tanggung jawab.

Seperti biasanya, jalanan pagi itu begitu ramai dan macet. Sesekali Ardino melihat ke arah jalanan dan menikmati jalanan yang padat dan ramai itu. Ia sedang membayangkan betapa dengan mudahnya ia sampai di kantor jika ia menggunakan motor karena Ardino bisa memotong jalan dan nyelip di tengah-tengah mobil atau kendaraan lainnya. Tak apa lah jika ini hanya dilakukannya sesekali saja ia juga akan banyak urusan untuk hari ini.

Setibanya dia di kantor, mobil Erwin langsung terparkir dengan rapi di halaman kantor yang sudah tersedia. Satpam kantor pun juga sudah bersiap untuk memberi salam dan ucapan selamat pagi kepada dua bosnya itu. "Selamat pagi, bapak dan mas bos" ucap satpam itu dengan ramah dan senyum yang mengembang lebar.

"Pagi, Pak Joko" jawab Ardio dengan senyum yang ikutan senyum lebar. "Tasya sudah datang?" Ardino melayangkan pertanyaan sembari menunggu Erwin yang masih sibuk dengan dasinya.

"Mbak Tasya belum datang mungkin sebentar lagi. Apa ada yang perlu disampaikan ke Mbak Tasya?"

"Oh tidak perlu, Pak, saya hanya bertanya saja."

"Pagi Pak Joko" ucap Erwin setelah ia merasa dirinya sudah rapi dan siap

"Pagi Pak Erwin. Ada keperluan mendesak banget, ya, kok sampai ikutan datang ke kantor juga?"

"Iya sudah waktunya saya ingin evaluasi dan hari ini saya juga mau ke bengkel untuk kunjungan saja." Erwin menjawab dengan nada yang begitu tegas

"Oh.. Begitu." Pak Joko mengangguk paham.

Erwin hanya tersenyum dan melanjutkan langkah kakinya masuk ke dalam kantor, Ardino yang ada di sampingnya pun jadi ikutan mengekor di belakang Erwin. Saat mereka berada di bagian lobby kantor, karyawan yang baru saja datang langsung memberi salam serta sapaan yang sama hangatnya seperti Pak Joko tadi. "Selamat pagi, Pak Erwin. Selamat pagi, Pak Ardino"

Mereka pun menjawab dengan kompaknya, tapi di bagian akhir itu Ardino mengedipkan mata sebelahnya kepada karyawan itu dan membuat perempuan yang belum full Make up itu sedikit tersipu. Ardino memang selalu ada aja dengan ulahnya.

Ruangan yang sudah dibersihkan oleh office boy kocak, Dadang, membuat Erwin langsung disambut dengan pengharum ruangan yang begitu wangi dan semerbak juga keadaan ruangan yang begitu bersih dan rapi. Hari ini Ardino sudah siap dengan segala drama yang akan terjadi. Walaupun ia tak yakin jika Erwin akan menciptakan drama, tetapi ia harus sudah siap dengan yang terjadi hari ini.

Tak lama kemudian Tasya datang dan langsung masuk ke ruangan Ardino untuk berbicara dan meminta dokumen yang harus ia tandangani. Tak hanya itu, Erwin juga meminta untuk ia ikut ke bengkel nanti agar ia bisa mengerti dan paham dengan keadaan yang ada di bengkel.

***

Bengkel mobil yang sedang ramai-ramainya. Banyak beberapa orang yang datang kesana karena lakosinya memang nyaman untuk menunggu dan harga yang cukup terjangkau. Tak jauh dari bengkel itu ada tanah kosong yang akan di bangun oleh Erwin untuk dibuka cuci mobil dan bengkel yang sudah berdiri sekarang akan di tambah ruangnya untuk menambah barang variari yang bisa di jual di bengkel itu.

"Rame banget hari ini?"

"Lumayanlah om, ini masih ada tiga mobil yang belum datang lagi."

"Oke, lanjutkan." Lelaki yang bertubuh tinggi dan cukup gagah itu berjalan menuju kantor kecil untuk memeriksa komputer yang dari tadi menyala sambil menunggu kedatangan seseorang. Lelaki itu cukup mahir dalam mengoperasikan komputer sepertinya ia memang biasa berada di ruang kantor kecil disana. Montir-montir yang ada disana pun juga biasa memanggil dengan sebutan 'om'

"Om, Pak bos beneran mau datang?" ucap salah satu karyawan administrasi yang baru saja masuk ke ruangan kecil itu.

"Bos beneran.. Emang kamu kira aku bukan bos beneran?"

"Om ini cuma tangan kanan aja, kan, yang beneran itu aku belum pernah ketemu."

"Ih.. Sembarangan aja kalau ngomong. Walaupun aku hanya tangan kanan, tapi kalau bukan berkat aku kamu nggak bisa kerja disini. Nggak tahu tuh hutang Ibu kamu gimana"

"Ye.. Gitu aja sudah ngambek. Iya.. Maaf." karyawan perempuan itu duduk di sebelah lelaki yang katanya tangan kanan bos benerannya. Ia duduk lalu membuka tas kecil yang berisikan beberapa Make up miliknya.

"Genit banget.. Ngapain pakai dandan segala?"

"Kenapa sih, Om, heboh banget. Kita ini mau kedatangan bos masa ya muka kucel kayak gini."

"Nggak usah genit-genit dandanan sewajarnya aja"

"Iya..iya.. Takut kalo bos beneran ngelirik aku dan akhirnya aku di jadikan Ibu bos?"

"Gila emang, ya.."

"Hahaha. Serba salah emang jadi aku"

Lelaki itu keluar ruangan tanpa berkata apapun dan membiarkan karyawan administrasi itu berdandan semaunya. Ia juga heran kenapa kalau ada cowok datang selalu bersikap seperti itu, padahal setiap harinya ia bertemu dengan banyak lelaki di bengkel, tapi ia tidak berdandan dengan begitunya.

Klakson yang mengejutkan dirinya membuat ia tersadar dari lamunannya. Klakson mobil yang ia kira milik salah satu pelanggan bengkel itu sempat ingin ia maki, tapi ternyata klakson mobil itu milik Erwin. Lelaki yang dari tadi di panggil 'om' itu adalah paman Ardino yang bukan lain adalah adik Erwin. Ia memang datang lebih dulu karena ia memang sedang tidak ada urusan lain.

"Ngelamun aja.. Mikirin apaan, sih?" ucap Erwin sesaat setelah ia turun dari mobil.

"Nggak mikirin apa-apa juga, ya.. Tiba-tiba aja pandangan aku kosong" jawab lelaki itu yang bernama Erfan. "Eh.. Ardino baru pertama kali datang kesini,ya?" imbuh Erfan saat matanya salah fokus dengan dandanan Ardino.

"Iya, Om. Sekalian Papa juga mau periksa bengkel, jadi aku ikutan hehehe"

Tanpa berlama lagi mereka semua langsung masuk ke dalam bengkel dan melihat montir-montir yang ada disana sedang fokus dalam pengerjaan. Erwin dan Tasya berjalan ke ruangan kecil tadi sedangkan Ardino salah fokus dengan memperhatikan montir yang sedang bekerja. Buat Ardino sendiri cukup lama ia tak terjun langsung ke mobil atau ke motornya dan memodifikasi bersama teman-temannya. Jiwa otomotif nya begitu meronta dan ingin ikutan memperbaiki mobil tersebut.

"Ardino! Ngapain kamu disana?" Erwin sedikit membentak Ardino dan membuat orang yang ada di bengkel memperhatikan Erwin

"Ini.. aku jadi inginingin terjun langsung untuk menggarap beberapa mobil yang ada disini." Ardino berjalan menghampiri Erwin.

"Kita datang kesini bukan cuma liatin montir itu aja, ini banyak yang harus kamu tahu dan pahami di bagian administrasinya."

"Kan ada Tasya, Pa."

"Tasya itu hanya membantu kamu dan yang seharusnya lebih aktif itu kamu."

"Tapi, aku pingin sesekali ikutan terjun ke situ, Pa."

"Ini kan lagi kerja, Ardino.. Ayo lah nanti pasti akan ada saatnya kamu buat begituan."

Dengan kepada yang menunduk Ardino meninggalkan Erwin dan menghampiri

Tasya yang sedari tadi melihatnya dari ruangan kecil itu. Ardino hanya ingin melakukan itu sekali saja dan menurutnya jika ia membantu montir disana ia bisa di anggap sebagai bos yang suka membantu dan nggak hanya membedakan antara bos dan karyawan. Namun, sikap Erwin yang begitu tegas dan displin membuatnya jadi merasa dirinya perlakukan jahat serta tak diizinkan untuk melakukan apa yang ia mau.

Ardino masih belum begitu paham bagaimana mengurus sebuah perusahaan kecil yang bukan hanya sekedar ikutan bantu montir, tapi harus mengurus semua keperluan dan beberapa persetujuan yang harus ia lakukan.

Mulut Ardino sedikit manyun yang membuatnya jadi nggak ada mood untuk melanjutkan pekerjaannya hari itu. Melihat hal itu, Tasya yang tak hanya menjadi asistennya pun kini menjadi seseorang yang bisa sedikit membuat mood nya kembali. Di sela pembicaraan Erwin dan Erfan, Tasya menarik Ardino sedikit menjauh dari Erwin dan langsung memberikan minuman cokelat yang ia keluarkan dari dalam tasnya.

"Ini hanya kebetulan saya membawa minuman ini. Bapak minum saja siapa tahu bikin bapak lupa sama omongannya pak Erwin." Ardino hanya melihat tangan Tasya yang menjulur ke arahnya dan menatap beberapa saat minuman cokelat yang berbentuk persegi panjang itu. "Saya sudah menemui banyak orang yang punya sikap tegas dan disiplin seperti Pak Erwin itu, jadi saya paham bagaimana perasaan Bapak sekarang."

Ardino menerima minuman itu, "Terima kasih. Saya juga seharusnya terbiasa dengan sikap beliau, tetapi saya malah kebawa perasaan"

"Wajar kok, Pak." Tasya tersenyum kepada Ardino yang kini telah meminum minuman cokelat itu.

Mereka semua segera menyelesaikan yang harus merek selesaikan disana lalu berjalan ke arah halaman kosong sebelah bengkel untuk pemeriksaan lokasi. Ini di luar jadwal sebenarnya, tetapi tak apa sekalian saja kata Ardino dan sekalian di bahas juga untuk rapat minggu depan. Dengan cekatannya Tasya menulis inti pembicaraan bosnya di ponsel yang ia bawa dan memeriksa agenda bosnya di tab yang ia bawa.

Hari itu memang melelahkan bagi Ardino ia juga kebanyakan diam saat kembali ke kantor. Ia mengatakan kepada Erwin jika ia ingin pergi ke tempat anak-anak freedom, jadi Erwin lebih baik pulang dulu ke rumah.