Tepat pukul sepuluh malam, Fadlan pergi tanpa pamit pada Nyak Marni atau Vivi. Aku tak mengantarnya ke bandara sebab dia melarang keras. Dia hanya terus memintaku untuk terus menjaga Vivi selama dia tak ada.
Pagi ini, aku sudah bersiap serapih mungkin. Memakai celana hitam dan kemeja panjang merah maroon yang lengannya kulipat seperempat. Dirasa cukup, kuraih kunci mobil Fadlan yang tergeletak di atas nakas.
“Bang Fadlaaan!” Teriakan Vivi terdengar nyaring seperti biasa, “Ayo buruan, katanya mau nganteriin!” sambungnya. Dia kini telah berada di ambang pintu.
“Fadlan nggak ada. Abang aja yang nganterin kamu sama Enyak,” sahutku seraya mendorong tubuh dengan tinggi 165 cm itu. Lalu, lekas mengunci pintu kosan.
“Loh, kemana?” tanyanya di balik punggungku.
“Ke China. Mamanya meninggal di sana. Semalem perginya mendadak, jadi nggak sempet pamitan dulu sama kamu dan Enyak.” Aku menjawab tanpa melihat wajahnya. Vivi tak menyahuti beberapa detik.
“Inalillahi wainailaihi rojiun. Ksian Bang Fadlan.”
Aku menoleh. Raut mukanya meredup. Antara sedih dan juga kasihan, mungkin.
“Doain aja, semoga Fadlan selamat sampai tujuan,” saranku dan dibalas anggukan.
“Jadi, Abang yang mau anterin Vivi?” tanyanya kemudian. Mungkin memastikan apa aku bohong atau tidak.
“Ya iyalah. Ayo buruan. Udah jam berapa ini? Belom dandan pun,” kataku seraya melenggangkan kaki duluan.
“Iya,” balas Vivi, “Ke salon dulu, ya, Bang.” Vivi bicara sambil menggelayut di lengan kananku, kami jadi berjalan bersamaan.
“Jangan pegang-pegang. Bukan muhrim!” tegurku sambil melepas pelukan tangannya di lengan.
“Ish, dari dulu juga boleh. Kenapa sekarang nggak boleh?”
“Dulu sama sekarang beda. Kamu udah gede, malu dong. Nanti ada yang liat malah salah paham!”
“Biarin. Aku suka kok ada yang salah paham sama kita,” sahutnya sambil nyengir.
“Nggak lucu!” Kutoyor keningnya hingga dia terdorong ke belakang, lalu melenggang pergi.
Nyak Marni ternyata sudah menunggu di teras. Dia bingung ketika mengetahui aku yang menggantikan Fadlan mengantar mereka. Namun, secepatnya Vivi menjawab kalau Fadlan pergi ke luar negeri karena ibunya meninggal dunia. Nyak Marni yang mendengarnya mengelus dada sambil mengucap bela sungkawa serta doa.
“Nyak, itu bawa apaan?” tanya Vivi heran saat melihat ibunya membawa goodie bag besar.
“Baju buat ganti, Vi. Emangnya kamu mau Enyak menghadiri perayaan kelulusan kamu pake daster?” Nyak Marni malah sewot. Dia memberikan goodie bag tersebut ke tangan Vivi dan langsung naik mobil.
“Ish! Nyebelin. Pagi-pagi udah ngomel!” Vivi bergumam.
“Udah, ayo. Nanti kesiangan!” ajakku yang sedari tadi sudah ada di dalam mobil.
Vivi pun ikut masuk. Dia duduk di depan bersebelahan denganku. Enyak dan Vivi sudah serentak mengucap basmalah, dan akhirnya kami pun berangkat. Awalnya semua berjalan lancar, tetapi saat sudah hampir sampai ke salon tujuan Vivi, mobil tiba-tiba berhenti di tengah jalan.
“Duh, Gam! Kenapa berhenti di tengah jalan?” tanya Nyak Marni setengah khawatir, pun dengan Vivi.
“Bentar, Nyak. Agam coba nyalain lagi. Enggak tau kenapa nih,” jawabku seraya mencoba menyalakan mesin kembali. Namun, tak berhasil.
“Nyak, kayaknya mogok, deh,” kataku. Aku pun akhirnya keluar dan memeriksa.
“Hah?!” Vivi panik dan langsung ikut turun dari mobil.
“Vi, elu mau ke mana?” teriak Nyak Marni. Vivi tak menjawab.
“Vi, kamu sama Enyak naik taksi aja, ya. Soalnya Abang nggak tau ini mobil bakal nyala kapan. Ini, pake kartu ini buat ongkos,” saranku pada Vivi seraya memberikan kartu kredit milik Fadlan yang sebelumnya dititipkan padaku untuk kebutuhan Vivi.
“Eh, nggak usah, Bang. Vivi bisa bayar sendiri, jangan. Simpen aja,” tolaknya secara halus dan memasukan kembali kartu tersebut ke saku kemejaku.
“Ini punya ....”
“Dah, aku pergi duluan, ya, Bang. Nyak, ayo!” Vivi memangkas ucapanku. Dia pun cepat-cepat mencegat taksi, lalu pergi dengan Nyak Marni.
“Padahal mau bilang kalau kartu ini milik Vivi yang diberikan sama Fadlan,” gumamku sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal.
***
Setelah mobil Fadlan diangkut ke bengkel terdekat sana, aku memutuskan kembali ke kosan untuk mengambil motor dan pergi ke sekolah Vivi. Bukan tanpa alasan, sebelumnya Fadlan sudah berpesan padaku untuk menghadiri acara kulusannya. Meminta aku memotret Vivi dan mengirimnya pada Fadlan.
“Waktu masih menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh. Masih keburu lihat Vivi naik ke atas panggung.”
Baru saja motor kunyalakan, telepon masuk ke ponselku. Saat kulihat layar ponsel, ternyata Vivi yang menelepon.
“Iya, Vi? Ada apa?”
“Gam! Ini Enyak. Enyak enggak bisa nemenin Vivi ke sekolah. Tolong gantiin Enyak buat nemenin itu bocah, ya.” Di seberang telepon, Nyak Marni berpesan.
Otakku diserang panik, “Enyak kenapa?”
“Biasa, asam lambung naik. Ini Vivi masih di rumah sakit, tolong jemput dia dan temenin sampe selesai, ya. Enyak minta tolong.” Begitulah kiranya Nyak Marni berkata.
“Agam ke sana sekarang. Tolong sebutin di rumah sakit mana Enyak dirawat,” pintaku lagi. Mendengarnya sedang ada di rumah sakit, aku dilanda khawatir.
Setelah Nyak Marni memberitahu keberadaannya dan Vivi, aku langsung tancap gas kencang. Kurang dari lima belas menit aku sampai ke rumah sakit. Aku tak sempat bicara atau sekadar bertanya keadaan Nyak Marni, sebab dia langsung menyuruhku membawa anak gadisnya agar tak kesiangan datang ke acara paling pentingnya. Vivi pamit dengan sopan dan berjanji akan langsung kembali ke sana setelah acaranya selesai.
“Bismillah. Berangkat, Bang.” Tumben pakai ngucap bismillah. Biasanya teriak ala-ala jargonnya film yang terkenal itu.
“Pegangan, Vi.” Aku menyuruh Vivi untuk berpegangan erat sebab kali ini akan kubawa ngebut.
Tak seperti biasanya yang suka memeluk, Vivi malah menaruh kedua tangannya di sisi pinggang.
“Gini,” ucapku seraya menarik tangan Vivi untuk memeluk pinggangku dengan erat.
“Bu-bukannya Abang nggak suka?” tanyanya gelagapan. Aneh.
“Sekarang situasinya beda. Abang mau bawa kamu ngebut. Pegangan yang kuat.” Aku menyuruhnya sekarang. Refleks ini hanya karena aku takut dia jatuh. Bukan tak ingat dengan malu dan juga dosa.
Dia menurut dan menyandarkan kepalanya. Motor pun segera kulajukan dengan kencang menuju sekolah Vivi. Karena tahu akan naik motor, Vivi mengganti terlebih dahulu rok batik bawahan kebayanya dengan celana training.
“Vi, masuk gih duluan. Nanti Abang nyusul,” kataku menyuruh Vivi masuk terlebih dahulu saat baru saja sampai ke parkiran sekolahnya.
Vivi buru-buru turun dan membuka helm. Dia bercermin sebentar sambil membetulkan rambutnya yang dibiarkan tergerai dengan gelombang-gelombang kecil ditiap ujung rambutnya. Vivi juga mewarnai ujung rambutnya jadi kepirang-pirangan. Ya, aku sebelumnya tak memperhatikan penampilan Vivi karena buru-buru.
“Udah cakep. Sono pergi.” Aku mendorong Vivi agar segera masuk.
Dia tersenyum dan mendekat. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, tetapi aku melihat sepasang matanya sedikit berkaca.
“Makasih, Bang,” ucapnya seraya mencium pipi kananku, lalu pergi sambil berlari kecil.
Tunggu! Apa?! Mencium ... ya ampun, Vivi!
Saat punggungnya semakin jauh dari pandangan, aku menyentuh pipi, masih merasakan sentuhan bibir gadis yang kuanggap adik sendiri itu tak percaya.