Hanya Tiga Hari

Masih ditelan isakan, Vivi belum juga mau keluar dari dalam selimut. Tubuhnya ikut gemetar ketika isakan disertai cegukan keluar lewat tenggorokan.

Aku diam sejenak. Memerhatikan Vivi dengan perasaan kusut. Rasa khawatir serta bersalah bercampur dalam benak. Bukan karena khawatir akan demamnya yang baru turun sedikit, tapi karena dia tak kunjung berhenti menangis.

“Vi, maafin Abang, ya. Udah jangan begini terus. Nanti malah tambah sakit,” kataku berusaha menenangkan. Meski sejatinya kata-kata itu sama sekali tak membantu. Setidaknya aku berusaha untuk mencoba.

Dia malah semakin terisak. Ya Allah, sesakit itukah dia oleh perlakuanku? Bahkan, di saat demam begini, yang membuat dia menangis bukan sakitnya, tapi karena aku?

Ah, anak ini benar-benar membuatku sedih. Semua gara-gara aku. Dia sampai ada di rumah sakit juga karenaku. Beberapa jam lalu dia menungguku di depan pagar, tak peduli hujan sudah turun deras. Vivi mempercayaiku yang akan datang menjemputnya. Dasar bodoh.