Keringat dingin mulai berjatuhan. Mendengar Nyak Marni menelfon membuat jantungku terpacu cepat. Kira-kira kenapa, ya? Jangan-jangan Bang Arif ngomong macem-macem lagi sampai Enyak nelfon nyuruh pulang.
Oh, ya ampun. Pikiran macam apa ini? Sungguh bodoh. Bang Arif sudah bilang jika dia hanya bercanda, tetapi aku merasa takut luar biasa. Bagaimana andai dia tahu yang sebenarnya?
“Ck.”
“Iya, Nyak. Iya, iya.”
Vivi mematikan panggilan ketika aku belum sempat nguping. Dari tadi habiskan waktu untuk melamunkan hal-hal konyol.
“Bang,” panggil Vivi menatapku lekat.
Deg-degan. Itu yang kurasa sekarang menanti apa yang hendak dia sampaikan.
“Ya, kenapa, Vi? Enyak bilang apa?” Demi apa pun, perasaan ingin tahu ini sudah menggunung bertingkat-tingkat.
“Abang kenapa, sih? Orang Enyak suruh bawain nasi bungkus kalau pulang,” jawabnya diiringi senyum.