Ch. 1 - The First Impression

Apa yang bisa dilakukan oleh seorang yang buta seperti Thea untuk kabur di hari pernikahannya sendiri?

"Tidak ada," gumam Thea, menjawab pertanyaannya barusan.

Tidak seperti perempuan yang lain, Thea tidak pernah merencanakan pernikahan impiannya.

Itu semua karena dia yakin kalau tidak akan ada laki-laki yang mau dengannya yang tidak bisa melihat, membuatnya tidak mungkin merasakan seperti apa itu pernikahan.

Ternyata Thea salah.

Faktanya, hari ini adalah hari pernikahannya yang tidak pernah Thea sangka akan datang padanya.

Lebih-lebih lagi, ini bukan pernikahan biasa.

Dia akan menikah dengan seorang pangeran.

Pangeran vampir.

Hati Thea berdesir ketika mengingat kalau sebentar lagi dia akan menikah dan mengubah statusnya.

Desiran itu berubah menjadi sesuatu yang menakutkan dan membuat hatinya seperti berlubang di sana-sini.

Thea pikir itu semua akan berhenti jika dia bisa keluar dari masalah ini.

Melarikan diri jelas adalah hal yang pernah dia pikirkan sebelumnya.

Namun, dia tahu kalau dia tidak bisa dan tidak boleh melakukannya.

"Demi dunia manusia," katanya lagi. Thea berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa ini semua benar. Pernikahannya memang harus terjadi dan tidak ada yang bisa atau boleh menghentikannya meski itu Thea sendiri.

Hanya saja, bagian di mana dia akan menjadi istri seorang vampir yang ingin membuatnya tertawa. Maka itu yang dia lakukan.

Sejak kecil, dia sudah sering mendengar bagaimana manusia yang hidup berdampingan dengan vampir, werewolf, dan makhluk supernatural lainnya.

Thea tidak bisa bilang dia percaya akan keberadaan makhluk semacam itu karena dia bahkan tidak bisa melihatnya sendiri, tetapi dia juga bukannya tidak percaya untuk alasan yang sama.

Dia menghentikan tawanya ketika merasa angin malam yang menyapa wajahnya menjadi sedikit lebih kencang.

Dia tengah berada di taman belakang istana, hanya duduk diam dan memikirkan apa yang akan terjadi padanya.

Thea tidak seharusnya berada di sini sekarang.

Dia harusnya berada di kamarnya, menunggu hingga dia dipanggil untuk segera menjalankan prosesi pernikahannya.

Namun, dia tidak tahan jika harus terus berada di dalam ruangan yang sama sejak pagi tadi dan pikirnya bahwa udara luar adalah apa yang paling dia butuhkan. Mungkin hal itu bisa mengusir rasa gugup dan gelisahnya.

Thea ingin berkata bahwa dia hanya tengah menikmati saat-saat tenang terakhirnya sebelum dia resmi menjadi seorang istri dan dia rasa dia sudah merasa puas melakukannya.

Merasa bahwa tidak seharusnya dia berada di sini lebih lama lagi, dia bangkit dari kursi tempatnya duduk dengan pelan. Thea tidak ingin menunggu pelayannya yang tidak juga kunjung menemukannya.

"Untunglah karena aku sudah menghafal jalan di sini." Thea berkata. Dia merasa sedikit bangga karena itu adalah satu dari sedikit banyak hal yang bisa dia lakukan dengan benar.

Tangannya terangkat dan meraba udara kosong di sekitarnya, berusaha mencari sesuatu yang bisa saja menghalangi jalannya. Setelah yakin tidak ada apa-apa di depannya, Thea mulai melangkah.

Dia berjalan dengan begitu pelan dan hati-hati, berusaha agar jangan sampai menginjak gaun pengantinnya sendiri. Hal terakhir yang ingin Thea lakukan adalah membuat dirinya sendiri terjatuh dan mengotori penampilannya.

Bukan hanya dia akan merasa kecewa pada dirinya sendiri, tetapi mereka semua pasti akan menceramahinya habis-habisan.

Sambil dia berjalan, sambil dia memikirkan seperti apa sosok yang akan menjadi suaminya nanti.

Taring panjang, kulit sedingin es, mata merah, adalah sebagian kecil hal tentang vampir yang Thea dengar dari orang-orang.

Yang paling menakutinya adalah kenyataan bahwa mereka meminum darah dan Thea jadi bertanya-tanya apakah darah miliknya akan dihisap oleh calon suaminya nanti?

Dia bergidik membayangkan itu dan berusaha mencari sisi positif lain yang mungkin bisa sedikit memberikan kecerahan pada hal negatif yang dia sebut barusan.

Calon suaminya adalah seorang pangeran dan seharusnya dia tampan seperti cerita dongeng yang sering Thea dengar kala masih bocah dulu. Meski penampilan bukanlah segalanya, Thea rasa tidak salah jika dia ingin tahu rupa calon suaminya itu.

Dia tersenyum sambil memikirkannya, tetapi senyum itu dengan cepat menghilang kala tangannya tidak lagi bisa merasakan udara kosong di depannya.

Tangannya menyentuh sesuatu.

Sesuatu yang terasa agak keras dan sepertinya terbalut oleh kain. Namun, beberapa saat kemudian terasa begitu lembut dan empuk.

Dia terus menyentuhnya, merabanya, ke atas dan ke bawah, sambil menebak-nebak di dalam hati. Namun, dia tidak tahu apa itu meski sudah ada gambaran kabur dalam pikirannya.

"Apa yang kau lakukan?"

Thea tersentak mendengar suara berat itu dan segera saja menjauhkan tangannya.

Ada seseorang di depannya dan dia bahkan tidak menyadarinya karena terlalu sibuk mencari tahu apa yang baru saja dia sentuh tadi.

Thea terdiam dan mulai menghubungkan semuanya dalam otaknya. Mulutnya terbuka begitu saja kemudian ketika menyadari bahwa dia baru saja menyentuh tubuh seorang laki-laki.

"Apakah aku baru saja…? Oh, astaga!" Thea memundurkan sedikit tubuhnya kemudian menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuh. Sungguh lucu karena dia berpikir dengan melakukan itu maka kejadian tadi bisa terlupakan begitu saja dengan mudahnya.

"Ini bahkan baru pertemuan pertama kita, tetapi kau sudah berani menyentuhku di sana-sini." Laki-laki itu berucap santai dan Thea agak tersinggung mendengarnya sekaligus heran karena dia tampak tidak marah meski Thea sudah dengan kurang ajarnya melecehkannya seperti itu.

Thea tidak sengaja dan harusnya Thea tidak perlu menjelaskannya lebih jauh lagi kenapa insiden ini bisa sampai terjadi.

"Aku tidak sengaja!" Thea berkata dengan nada sedikit tinggi. Thea ingin membela dirinya sendiri dan tidak ingin dicap sebagai perempuan yang tidak tahu adab.

"Maaf, aku sungguh minta maaf," katanya lagi dan kini sambil menundukkan kepala. Thea ingin menunjukkan betapa menyesalnya dia.

"Thea!"

Panggilan yang ditujukan padanya itu membuatnya segera mengangkat kepalanya. Dia tahu kalau itu adalah suara orang lain, bukan laki-laki di depannya ini.

"Thea, kami mencarimu ke mana-mana!" Itu Clea, kakaknya, yang sudah pasti merasa kesal karena sudah berhasil membuat semua orang panik mencarinya ke mana-mana. Pinggangnya dicubit kecil dan dia menahan dirinya untuk tidak menjerit.

Thea baru saja akan meminta maaf, tetapi Clea kembali berbicara, "Apa yang kau lakukan di sini bersama-"

Thea mengerutkan kening bingung karena Clea tidak melanjutkan ucapannya dan diam. Thea mengguncang tangan Clea pelan dan pada saat itulah kakaknya menjerit kecil. "-Yang Mulia?!"

"Tolong, bawa calon istriku ke dalam dan jangan biarkan dia berkeliaran sendirian seperti ini lagi."

"Baik, Yang Mulia." Clea menjawab cepat.

Thea masih berusaha memproses semuanya ketika sebuah bisikan dan hembusan nafas hangat mampir menggelitik telinganya.

"Kerja bagus karena sudah membuatku bergairah di saat yang tidak tepat."

Laki-laki yang Clea sebut dengan sebutan Yang Mulia itu pergi dan ketika Thea yakin bahwa kini hanya ada dia dan kakaknya, dia menarik tangan Clea dengan keras, berusaha menarik perhatiannya.

"Ap- apa itu Pangeran Javon?!" Thea bertanya dengan nada panik.

"Benar, Thea. Yang barusan itu calon suamimu. Aku baru saja bertemu dengannya di dalam dan ingin memberithaumu."

Dia panik karena dia sudah memberikan kesan pertama yang tidak terlalu bagus, tetapi di satu sisi dia juga merasa lega karena dia tidak baru saja menyentuh sembarang laki-laki karena dia bisa terkena masalah jika ada orang lain yang mengetahuinya.

Pangeran Javon akan segera menjadi suaminya dan sentuhan tadi harusnya tidak menjadi masalah untuknya.

"Kuberi tahu sesuatu," ujar Clea yang melingkarkan tangannya di bahunya kemudian menepuk-nepuknya pelan. "Calon suamimu itu terlihat sangat indah dan lezat di saat yang bersamaan. Dia itu seperti hidangan utama yang tidak boleh dilewatkan sama sekali."

Suara Clea begitu bersemangat ketika mengatakan itu semua. Mungkin dia senang akan fakta bahwa adiknya akan menikah dengan laki-laki tampan.

Thea tidak tahu harus bereaksi seperti apa mendengar ucapan Clea itu, tetapi dia sepertinya setuju ketika dia mengepalkan kedua tangannya yang sudah berkeringat dengan erat.

"Ayo! Hidangan utama itu akan menjadi milikmu sepenuhnya, tetapi kau harus menjalani prosesi lebih dulu untuk mendapatkannya."

Tangan Thea ditarik dengan pelan mengikuti Clea dan pada saat inilah Thea sadar kalau dia tidak akan bisa lari lagi dan harus menjalani takdir hidupnya.

Dia akan segera menikah dengan Pangeran Javon.