006-Pedro (R) Killer

Pedro Rodrigues Filho. Publik Brasil tentu tidak asing dengan nama lelaki yang satu ini. Pedro sangat disegani lantaran kasus pembunuhan berantai yang ia lakukan. Bahkan, media manca negera sempat ramai memberitakan kasus tersebut karena lelaki penuh dengan tato itu disebut menghabisi nyawa lebih dari 100 orang.

Mengutip Daily Star, Pedro dijuluki sebagai Pedrinho Matador karena kegilaanya membunuh 47 orang narapidana saat dipenjara pada 1973. Ia menghabisi sesama narapidana yang dianggap terjerat kasus berat namun dihukum sangat ringan.

Akan tetapi, kasus tersebut ternyata bukanlah yang menjadi sorotan utama di media Brasil. Pedro juga menghabisi nyawa ayah kandungnya sendiri saat mereka sama-sama berada di penjara. Ia dikabarkan menghabisi tubuh sang ayah dengan sangat keji.

Sejak saat itu, nama Pedrinho Matador disematkan pada lelaki bertato tersebut. Pasalnya, aksinya itu dianggap sangat tidak manusiawi lantaran sangat menyukai membunuh orang dengan keji. Tidak hanya itu saja, 47 narapidana yang ia bunuh juga bernasib sama dengan tubuh yang sangat hancur.

Tak ayal, akibat perbuatannya tersebut, hukuman Pedro yang awalnya 126 tahun penjara dinaikkan menjadi 400 tahun. Keganasan lelaki yang kini jadi YouTuber tersebut sangatlah ditakuti oleh sesama narapidana kala itu.

Selain itu, Pedro juga dikabarkan menghabisi nyawa narapidana berkasus pemerkosa dan teman satu selnya. Dua orang tersebut dihabisinya lantaran dianggap memata-matai dirinya selama sang istri menjenguknya di penjara.

Disebutkan juga, dari hasil pemeriksaan psikologi, Pedro termasuk merupakan seorang psikopat. Uniknya, kebiasaan membunuh tersebut sama sekali tidak ia sembunyikan dengan membuat tato di lengannya bertuliskan 'saya suka membunuh'.

Dengan hal itulah, akibat keganasannya, pengadilan tinggai Brasil kemudian merevisi hukuman Pedro. Terlebih, meski divonis 400 tahun penjara, sang Pedrinho Matador tersebut ternyata tidak kunjung membaik dan malah makin menyukai membunuh manusia.

Pengadilan memutuskan untuk merehabilitasi Pedro ketimbang membiarkannya di penjara. Hingga kemudian, ia pun bebas pada 2007 lalu. Akan tetapi, sifat buruknya tersebut ternyata tak kunjung sembuh dan kembali ditangkap pada 2011 dengan kasus kekerasan.

Pada 2018 lalu, ia kemudian dibebaskan kembali dan menjadi tahanan rumah. Sejak saat itu, Pedro tidak lagi berulah dan kini menjadi seorang YouTuber. Kanal YouTube-nya saat ini telah mencapai 252 ribu subscriber.

Di kanal YouTube-nya tersebut, Pedro pun membeberkan alasannya mengapa dirinya membunuh sang ayah dengan cukup keji. Ia mengaku bahwa sang ibu tercinta dibunuh oleh ayahnya tersebut hingga berjanji akan membalasnya.

"Saya membunuh ayah saya di penjara. Saya sudah berada di penjara saat itu, saya telah menghabiskan 42 tahun di penjara. Ayah saya di penjara juga. Saya mengatur rencana dengan matang dan saya muncul di sel ayah saya dan membunuhnya. Aku telah berjanji untuk membalas dendam di depan peti mati ibuku," ucapnya seperti dikutip dari Daily Star.

Selain itu, ia juga membeberkan bahwa dirinya menikam sang ayah sebanyak 22 kali dengan benda tajam. Lebih parahnya lagi, Pedro menyebut merobek hingga memakan jantung ayahnya. Setelah itu, sebagian jatungnya yang tersisa kemudian dilempar ke tubuh sang ayah yang telah meninggal.

Terlepas dari itu, kini lelaki berusia 66 tahun itu dikabarkan tidak pernah lagi melakukan tindakan kriminal atau pembunuhan. Saat ini, ia rutin mengunggah video di kanal YouTube-nya bernama Pedrinho EX Matador e Pablo Silva.

Sementara itu, Pedro Rodrigues Filho alias Pedrinho Matador itu dilaporkan telah membunuh lebih dari 100 orang. Mulai dari narapidana, teman, hingga ayah kandungnya sendiri.

"Jack the Ripper"

"Jack the Ripper" (bahasa Indonesia: "Jack sang Pencabik") adalah julukan paling terkenal yang diberikan kepada pembunuh berantai tak dikenal yang beraksi di kawasan miskin di sekitar distrik Whitechapel, London, pada tahun 1888.

Julukan ini berasal dari sebuah surat yang ditulis oleh seseorang yang mengaku sebagai pembunuh, yang kemudian disebarkan di media. Surat tersebut secara luas diyakini adalah tipuan, dan kemungkinan ditulis oleh seorang jurnalis yang berupaya untuk meningkatkan minat publik terhadap misteri tersebut.

Julukan lainnya yang digunakan untuk sang pembunuh pada saat itu adalah "Pembunuh Whitechapel" dan si "Kulit Apron".

Pembunuhan yang dilakukan Ripper umumnya melibatkan wanita tunasusila yang berasal dari daerah kumuh dengan cara memotong tenggorokan kemudian memutilasi perut mereka. Hilangnya organ-organ dalam dari tiga korban Ripper memunculkan dugaan bahwa pelaku memiliki pengetahuan anatomi atau bedah.

Desas-desus yang menyatakan bahwa pembunuhan ini saling berhubungan merebak pada bulan September dan Oktober 1888, dan beberapa surat yang dikirimkan oleh seseorang yang mengaku sebagai pembunuh diterima oleh media dan Scotland Yard. Surat "From Hell", yang diterima oleh George Lusk dari Whitechapel Vigilance Committee (Komite Kewaspadaan Whitechapel), juga berisikan separo ginjal manusia yang diawetkan, diduga ginjal tersebut merupakan milik salah seorang korban. Karena teknik pembunuhan yang luar biasa brutal, dan karena tingginya penafsiran media terhadap misteri ini,

masyarakat semakin percaya bahwa pembunuhan ini merupakan pembunuhan berantai tunggal yang dilakukan oleh "Jack the Ripper".

Luasnya liputan surat kabar terhadap misteri ini menyebabkan Ripper meraih ketenaran internasional. Serangkaian penyelidikan mengenai pembunuhan lainnya yang dikenal sebagai Pembunuhan Whitechapel hingga tahun 1891.

tidak mampu menghubungkan peristiwa pembunuhan ini dengan pembunuhan pada tahun 1888, tetapi legenda Jack the Ripper tetap dipercayai. Karena misteri pembunuhan ini tidak pernah terungkap, legenda tersebut semakin kuat, yang turut diiringi dengan penelitian sejarah asli, desas-desus, cerita rakyat, dan sejarah semu. Istilah "ripperologi" diciptakan untuk menggambarkan kajian dan analisis mengenai kasus Ripper. Hingga saat ini,

terdapat lebih dari seratus teori mengenai identitas Ripper, dan misteri pembunuhan ini juga telah mengilhami lahirnya berbagai karya fiksi.

Pada pertengahan abad ke-19, Inggris menerima gelombang imigran Irlandia yang memengaruhi jumlah populasi di kota-kota besar di Inggris, termasuk East End, London. Sejak 1882, pengungsi Yahudi dari Eropa Timur dan Ketsaran Rusia juga berdatangan ke kawasan yang sama.

Hal ini menyebabkan paroki sipil Whitechapel di East End, London, menjadi semakin penuh sesak. Kondisi pekerjaan dan perumahan memburuk, dan perekonomian kelas bawah mulai berkembang di kawasan ini. Perampokan, kekerasan, dan ketergantungan alkohol sudah menjadi hal yang lumrah di Whitechapel, dan kemiskinan memicu banyak perempuan untuk bekerja di bidang prostitusi. Pada bulan Oktober 1888, Metropolitan Police Service (Layanan Kepolisian Metropolitan) London memperkirakan bahwa terdapat sekitar 1.200 wanita tunasusila dan 62 rumah bordil di Whitechapel. Permasalahan ekonomi ini juga disertai dengan peningkatan ketegangan sosial.

Antara tahun 1886 dan 1889, berbagai aksi demonstrasi terjadi, seperti pada tanggal 13 November 1887, yang menyebabkan semakin meluasnya campur tangan polisi dan kerusuhan massa. Rasisme, kriminalitas, kerusuhan sosial, dan kemiskinan memunculkan persepsi publik bahwa Whitechapel merupakan sarang imoralitas utama di London.

Pada tahun 1888, persepsi ini semakin diperkuat dengan terjadinya serangkaian pembunuhan keji dan mengerikan yang dikaitkan dengan "Jack the Ripper", mendapat liputan luas dari media yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Banyaknya serangan terhadap perempuan di East End yang terjadi selama era tersebut menambah ketidakpastian terhadap berapa banyak korban yang dibunuh oleh pelaku yang sama. Sebelas pembunuhan terpisah, yang dimulai pada tanggal 3 April 1888 hingga 13 Februari 1891, disertakan dalam investigasi Metropolitan Police Service London, dan dikenal secara kolektif sebagai "Pembunuhan Whitechapel".

Terdapat berbagai opini mengenai pembunuhan ini; apakah saling berkaitan satu sama lainnya, tetapi lima dari sebelas korban pembunuhan Whitechapel, yang dikenal dengan "lima kanonis", diyakini merupakan hasil karya Ripper.Sebagian besar korban memiliki garis luka miring di tenggorokan, dimutilasi di perut dan daerah kelamin, pengambilan organ dalam, dan mutilasi wajah, kesemuanya ini dipercaya sebagai modus operandi khas Jack the Ripper. Dua kasus pertama dalam pembunuhan Whitechapel, dengan korban Emma Elizabeth Smith dan Martha Tabram, tidak termasuk dalam lima kanonis.

Smith dirampok dan dianiaya secara seksual di Osborn Street, Whitechapel, pada tanggal 3 April 1888. Sebuah benda tumpul dimasukkan ke dalam vaginanya, memecahkan peritoneumnya. Ia menderita peritonitis, dan meninggal dunia pada hari berikutnya di London Hospital. Sebelum meninggal, Smith bersaksi bahwa ia diserang oleh dua atau tiga pria, salah satunya adalah remaja. Pembunuhan ini lalu dikaitkan dengan pembunuhan setelahnya oleh media, namun sebagian besar penulis berpendapat bahwa peristiwa ini merupakan kekerasan geng dan tidak berhubungan dengan kasus Ripper.

Lima korban kanonis (korban "resmi") Ripper adalah Mary Ann Nichols, Annie Chapman, Elizabeth Stride, Catherine Eddowes dan Mary Jane Kelly. Mayat Nichols ditemukan sekitar pukul 3:40 pagi pada hari Jumat, 31 Agustus 1888 di Buck's Row (sekarang Durward Street), Whitechapel. Tenggorokannya disembelih dengan dua sayatan, dan bagian bawah perutnya robek dengan luka yang dalam bergerigi. Sayatan lainnya di bagian perut diduga disebabkan oleh pisau yang sama.

Mayat Chapman ditemukan sekitar pukul 6 pagi pada hari Sabtu, 8 September 1888 di dekat sebuah gerbang di halaman belakang sebuah rumah di Hanbury Street 29, Spitalfields. Sama seperti kasus Mary Ann Nichols, tenggorokannya juga digorok dengan dua sayatan. Perutnya robek terbuka, dan kemudian diketahui bahwa rahimnya telah diambil. Dalam pemeriksaan polisi, salah seorang saksi menyatakan bahwa ia melihat Chapman sekitar pukul 5:30 pagi bersama seorang pria berambut gelap yang berpenampilan "lusuh dan beradab".

Stride dan Eddowes terbunuh pada Minggu dinihari 30 September 1888. Mayat Stride ditemukan sekitar pukul 1 pagi di Dutfield's Yard, Berner Street (sekarang Henriques Street), Whitechapel. Penyebab kematiannya adalah luka gorokan yang memutus arteri utama di sisi kiri lehernya. Muncul ketidakpastian mengenai apakah pembunuhan Stride ini terkait dengan Ripper, atau apakah ia melawan selama pembunuhan.

Anggapan ini muncul karena tidak adanya mutilasi yang dilakukan di perut Stride. Para saksi yang berkata bahwa sebelumnya mereka melihat Stride bersama seorang pria pada malam itu saling memberikan keterangan yang berbeda: beberapa teman Stride bersaksi bahwa pria itu berpenampilan rapi dan wajar, sedangkan yang lainnya mengatakan ia berpenampilan lusuh.

Mayat Eddowes ditemukan di Mitre Square, City of London, tiga perempat jam setelah penemuan mayat Stride. Tenggorokannya digorok, dan perutnya dirobek terbuka dengan luka yang dalam dan panjang bergerigi. Ginjal bagian kiri dan rahimnya juga diambil.

Seorang warga setempat bernama Joseph Lawende melewati alun-alun bersama dengan dua orang temannya sebelum pembunuhan. Ia menyatakan bahwa ia melihat seorang pria berambut pirang dan berpenampilan lusuh bersama seorang wanita yang diduga adalah Eddowes.

Namun, teman-teman Lawende tidak bisa mengonfirmasi kesaksiannya ini. Pembunuhan Eddowes dan pembunuhan Stride kemudian dijuluki dengan "pembunuhan ganda".

Celemek Eddowes yang berlumuran darah ditemukan di pintu masuk sebuah rumah petak di Goulston Street, Whitechapel. Terdapat tulisan di tembok tempat celemek ditemukan, yang kemudian dikenal dengan grafiti Goulston Street.

Grafiti itu tampaknya ditulis oleh satu orang atau lebih Yahudi, tetapi tidak jelas apakah grafiti itu ditulis oleh si pembunuh sebelum ia menjatuhkan celemek, atau hanya kebetulan saja celemek itu jatuh di sana.

Komisaris Polisi Charles Warren takut bahwa grafiti tersebut akan memicu kerusuhan antisemit, dan memerintahkan untuk menghapusnya sebelum fajar.

Bersambung ~~