Bab 3 - Musibah

Sudah pukul sebelas malam dan keberadaan sang ayah belum ditemukan. Dinginnya malam mulai menusuk kulit. Widya sudah sangat lelah dan mengantuk. Namun apakah dia harus pulang sekarang? Bagaimana bila ibu malah marah karena tak dapat menemukan sang ayah? Di setiap langkah Widya terus berpikir dan saat keputusan dia ambil bulat akhirnya bertekad untuk pulang. Ada hari esok, mungkin saja dengan bantuan cahaya matahari dapat menemukan ayahnya dengan mudah.

Berjalan tertatih-tatih sebab luka kakinya yang masih basah dan belum dibersihkan. Melangkah hati-hati sambil mempercepat langkah sebab takut ada bahaya seperti geng motor yang berkeliaran. Dia tak takut makhluk gaib muncul, malah lebih seram manusia. Sebab bila hantu tak akan mungkin membacoknya hingga mati, beda hal dengan manusia. Demi harta serta hawa nafsu bisa saja jadi gelap mata dan menghalalkan segala cara.

Sekitar sepuluh menit berjalan, akhirnya dia sampai juga. Rumah kecil nan tua dengan penerangan yang sangat minim. Mengetuk pintu rumah yang telah terkunci dari dalam. Tak ada respon membuat Widya lagi-lagi mengetuk dengan lebih kencang. Berkali-kali dia lakukan hingga suara teriakan dari dalam terdengar.

"Lho mana ayah?" Pertanyaan pertama yang ibunya keluarkan membuat Widya menunduk.

"Maaf, Bu. Ayah belum ketemu. Tempat tongkrongannya juga gak ada," ujar Widya dengan nada sendu.

Ucapannya barusan menimbulkan suasana horor. Bagaimana tidak? Lihatlah sekarang! Raut marah dari ibunya terlihat begitu jelas. Belum lagi saat bantingan pintu terdengar nyaring.

"Kamu ini bagaimana sih? Disuruh cari kok malah gak ada hasil? Lalu kaki kamu itu luka kenapa? Apa yang kamu lakukan, Widya?!" Teriakan begitu keras tepat di wajahnya.

Widya menangis tanpa suara. Menutup wajahnya menggunakan telapak tangan. Semakin deras saat mendengar bantingan alat makan. Dia memutuskan untuk berlari ke dalam kamar, meninggalkan ibunya seorang diri dengan emosi yang meluap-luap. Dalam kamar, Widya menangis histeris, bahkan sampai memukul-mukul kepala. Merasa semua yang terjadi adalah kesalahannya. Gara-gara dia, ibunya menangis. Gara-gara kehadirannya, ayah dan ibu terpaksa menikah walau tanpa cinta. Di saat seperti ini, Widya bangkit mendekati lemari kayu tua yang ada di pojok kamar. Merogoh laci, mencari sebuah bungkusan obat.

Mengambil tiga butir lalu memakannya. Tak ada rasa pahit, dia mengunyah layaknya permen. Rasa pahit dari obat tersebut tak sebanding dengan kesedihannya. Kepala mulai terasa berat, pandangan pun mengabur. Berjalan gontai ke tempat tidur dan merebahkan tubuh. Kini, Widya telah terlelap dengan mata yang sembab serta penampilan begitu acak-acakan. Pengaruh obat yang begitu kuat membuatnya bisa melupakan masalah sejenak. Cara ini sudah sering dia lakukan bila tingkat frustasi di pikirannya timbul.

Tak terasa hari sudah pagi. Silau matahari memasuki ruangan begitu minim lubang ventilasi. Silau matahari tak membuat gadis yang sedang tertidur untuk bangun. Malah gadis itu tetap berada pada posisi awal tidur. Terlalu lelap akibat obat yang dia konsumsi. Gedoran dari arah luar juga tak mengganggunya. Asik dalam dunia mimpinya yang indah maupun suram. Waktu terus berputar hingga sosok gadis tadi terbangun. Dia mengucek mata serta menguap. Sebentar menatap sekeliling sebelum matanya terbelak.

Baru ingat akan waktu yang telah memasuki siang hari. Segera berlari keluar dan dapat disaksikan ayahnya berada di sebuah karpet usang sedang berbaring. Ada juga ibunya yang sedang memijit punggung sang ayah. Dia melangkah pelan-pelan ke arah dapur, agar tak terdengar oleh siapa pun. Sebab posisi membelakangi dirinya membuat Widya berani melakukan hal tersebut. Sesampainya di dapur, Widya bernapas lega namun semua harus berakhir dengan badannya yang terlonjak kaget.

"Hebat kamu, ya! Anak gadis bangunnya jam satu siang? Terus kamu gak jualan hari ini?!"

Badan bergetar saat melihat ayahnya berdiri tepat di belakang. Raut wajah amarah yang terlihat sangar membuat Widya mengeratkan pegangan antar jari satu sama lain. Dengan mencoba mengontrol rasa takut, perlahan dia menaikkan kepala ke atas.

"A-ayah... m-maaf." Takut-takut berucap dengan tubuh gemetar hebat.

Tangannya ditarik menuju ruang tengah. Ada Cahaya, ibunya yang terlihat sama ketakutan. Dilempar tubuh kecil itu ke lantai dingin. Karena mendadak, tangan yang berusaha menahan tubuh secara tiba-tiba harus tertekan membuat cedera terkilir. Meringis kesakitan namun seakan tak peduli, ayahnya malah berjalan ke arah kamar. Perlahan mengangkat tangan, namun rasa nyeri lagi-lagi terasa dua kali lipat. Matanya membulat saat dari jauh, sang ayah keluar dengan membawa tali pinggang kepala besi. Dia sudah tahu, hal apa yang akan segera terjadi.

"A-ayahhh...." Suara parau serta air mata yang kembali turun dan membanjiri wajah.

Namun bukan respon baik yang dia terima, malahan layangan tali pinggang mengenai tubuhnya. Sekali layang sudah membuat rasa sakit mendalam, bahkan sudah berbekas merah. Widya berteriak kencang akan tetapi pukulan dilayangkan kembali. Membabi buta seperti sudah mati rasa, Widya tergeletak tak berdaya di lantai. Ibunya tadi sudah mencoba menghentikan, namun berakhir ikut dicambuk.

Menghabiskan waktu beberapa menit untuk melakukannya. Hingga sang ayah masuk ke dalam kamar membawa tali pinggang yang digunakan untuk mencambuk. Tangisan tak henti-hentinya keluar. Tanpa suara, karena telah habis dia keluarkan saat berteriak ampun. Luka lutut yang kering namun, belum diobati di tambah pukulan bertubi-tubi membuat tubuhnya seakan cacat. Hanya tersisa sedikit tenaga yang dapat dia gunakan untuk berjalan. Meninggalkan ibunya sedang menangis. Saat ini dirinya butuh kesendirian. Tidak peduli akan hal lain karena rasa muak di otaknya tentang kehidupan.

Sembilan belas tahun penderitaan tak berhenti malah semakin bertambah banyak. Alangkah baiknya Widya merasa mengakhiri hidup. Namun logikanya masih berjalan walau terkadang ego terus menghantui. Di sinilah dia sekarang. Berada di pinggir sungai, ia menghirup napas panjang. Saat menghembuskannya, Widya berteriak kencang. Kata orang, bila berteriak maka akan meringankan beban di pikiran. Ya, terbukti sekarang. Pikirannya lebih tenang sedikit.

Widya merasa sang ayah tak menyayanginya. Dia tahu kalau pria itu bukan ayah kandungnya. Namun, apakah tak bisa memberi rasa kasihan sedikit saja pada dirinya? Tak perlu rasa sayang, biarlah kasihan saja pun tak di dapat. Menatap dengan tatapan nanar ke arah luka kaki serta tubuh yang penuh dengan luka bekas pukulan. Memegang pelan sambil mengelus pinggir-pinggir luka. Tangannya diarahkan pada kantong celana. Melihat berapa lagi sisa uang tabungan. Mungkin hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk mengobati. Jangan terlalu berharap pada orang, diri sendirilah yang paling mengerti bagaimana hati dan kemauan sendiri. Pelan-pelan Widya melangkah meninggalkan sungai.

Saat berada di depan gang, dari jauh terlihat ada beberapa mobil parkir tepat di depan rumahnya. Banyak pertanyaan berputar di kepala, bingung siapa yang datang. Dengan mempercepat langkah, Widya semakin kaget saat melihat mobil yang terparkir bukanlah mobil biasa. Melainkan mobil mewah berwarna hitam dan ada juga berwarna putih. Dia memutuskan untuk segera masuk, namun harus terhenti saat semua orang dalam ruangan menatap dirinya.

"Widya?"