"Tuan Kenzi yang terhormat, boleh klarifikasi hubungan anda dengan wanita ini?"
"Anda tidak ada hak buat bertanya masalah pribadi!"
"Kalau begitu saya anggap dia hanya perempuan malam yang membantu untuk memuaskanmu!"
Jawaban akhir dari Callista membuat Kenzi menggeram di atas panggung. Ia pun memutuskan untuk turun dengan langkah tegas. Saat sampai di hadapan wanita tadi Kenzi menatapnya yang sedang tersenyum miring. Namun itu semua diabaikan dan lebih memilih menarik tangan Widya, membawanya naik ke atas podium.
Tentu kejadian tersebut disaksikan oleh banyak orang, dengan ekspresi yang berbeda-beda. Tepat di atas secara refleks Kenzi menarik pinggang Widya dengan erat. Tak berapa lama, riuh suara dari para tamu begitu menggelar di aula saat menyaksikan aksi yang dilakukan oleh Kenzi terhadap Widya. Pria tersebut mengecup bibir gadisnya cukup lama, membuat Widya melototkan mata.
Saat menyudahi, Kenzi langsung beralih ke arah mikrofon dan menjelaskan secara singkat.
"Dia," ucap Kenzi dengan jeda sambil menatap ke arah Widya. "Gadis yang ada di sebelah kiri dia adalah gadisku dan sebentar lagi kami akan melangsungkan acara pernikahan!"
Setelah selesai, Kenzi menarik tangan Widya untuk berjalan meninggalkan ruang aula. Banyak wartawan mengikuti mereka untuk bertanya kabar selengkapnya. Namun tak diacuhkan, tetap santai saja membawa Widya untuk segera masuk ke dalam mobil.
Di dalam mobil hanya terjadi keheningan. Suara isak tangis yang terdengar secara tiba-tiba membuat perhatian Kenzi beralih ke samping. Dapat dilihat gadis di sebelah sedang menangis sambil berusaha untuk menghapus air mata.
"Anda menangis?"
Pertanyaan dari Kenzi hanya dibalas oleh gelengan kepala, pria itu hanya menghela napas.
"Kalau bodoh jangan keterlaluan! Sudah kelihatan nangis masih saja bilang tidak." Dari nada suara diketahui bahwa Kenzi sedang kesal.
Buru-buru Widya menutup seluruh wajah dengan telapak tangannya. Sedangkan mulut mengomel mengatakan, "Anda juga bodoh. Sudah tahu nangis untuk apa bertanya?"
Tak terduga ternyata Kenzi mendengar suara kecil yang dilontar oleh Widya. Anehnya pria tersebut tak merespon marah seperti biasa, malah hanya berdecak dan memberi pertanyaan.
"Anda nangis soal tadi di atas panggung?"
Mendengarnya, Widya langsung mengangguk namun berganti lagi menggelengkan kepala. Respon yang diberi oleh gadis di sebelah membuat Kenzi sedikit tergelak.
"Anda tak pernah berciuman?"
Pertanyaan yang cukup frontal membuat Widya mengeangkan wajahnya. Tak berani menatap pria di sebelah yang mendadak aneh. Sedangkan Kenzi sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan dimaksud, sangat gampang menebak dari gestur tubuh.
"Beruntunglah anda karena first kiss anda jatuh padaku."
Jawaban pede Kenzi hanya didiami oleh Widya. Bayangkan saja, diserbu dengan pertanyaan yang membuat geli sendiri, bagaimana wajah tidak merah padam? Entahlah, kali ini aura dingin Kenzi sedikit berbeda dari biasa.
"A–aku boleh bertanya?" Widya ragu-ragu berucap.
"Silakan, Nona!"
"Bolehkah aku membawa kedua orang tua ikut tinggal bersama setelah acara pernikahan?"
Respon dari Kenzi saat mendengarnya adalah kembali berubah menjadi diam sambil menatap tajam. Kini Widya tampak mengutuk diri dalam hati sebab sudah salah bertanya.
"Tidak boleh! Mereka hanyalah beban buatmu!"
"Akan teta—"
"Stttt! Ayahmu yang pemabuk sedangkan ibumu sangat mencintaimu pria gila itu! Aku benar-benar tak menginginkan mereka." Suara Kenzi terdengar datar mengatakannya.
"Kumohon…."
Memang keras kepala, Widya tetap saja dengan pendiriannya untuk membawa. Berakhirlah dia dicengkeram bahu oleh Kenzi.
"Sudah kukatakan tidak! Bila anda memang tetap kekeh dengan pendirian tentu bisa saja, namun…."
"Namun apa?"
"Namun, anda harus hamil terlebih dahulu maka aku akan memberi mereka satu unit rumah!"
"A–aku—"
Belum selesai berbicara, Kenzi lebih dulu mendekatkan diri pada Widya. Sehingga menghimpit tubuh wanita itu, memandangnya intens sambil menjulurkan jari telunjuk untuk membelai pipi chubby milik Widya.
"Bagaimana kalau melakukannya sekarang? Agar anda bisa cepat hamil dan orang tuamu memiliki rumah?"
Bulu-bulu halus milik Widya terangkat ke atas semua, desiran napas berhembus tepat di daerah telinga. Kini gadis itu tampak merinding lalu mendorong tubuh Kenzi yang berada di depannya. Semakin menjauhkan jarak duduk antar pria tersebut, takut omongan yang dimaksud benar-benar terjadi.
"Shit! Wajahmu begitu menggemaskan, Babe! Aku hanya bercanda tadi, mengapa membawanya begitu serius?"
Kenzi lagi-lagi menggoda, tetapi dasarnya gadis tersebut memang tak ingin membalas dia hanya bisa bergumam kecil mengatakan, "J–jangan…."
Di lain hal, berbeda dengan Kenzi saat ini. Dalam hatinya entah mengapa begitu berbunga saat mengetahui bahwa calon istrinya sama sekali tak pernah berciuman. Itu artinya tidak pernah berpacaran, bukan? Kini ia hanya menampilkan senyum tipis di balik dokumen yang dipegang.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, perjalanan yang cukup jauh membuat makan waktu lama. Mobil Kenzi telah pergi meninggalkan Widya di depan rumah, masih dengan kebingungan untuk masuk atau tidak.
Jujur saja, Widya tak pernah pulang larut malam bila bukan kepentingannya. Rasa ketakutan itu kembali timbul saat mendengar suara teriakan dari dalam rumah, mungkin pertengkaran antara orang tua terjadi. Buru-buru dirinya membuka pintu dan memeluk tubuh kurus sang ibu, melindungi dari pukulan Dhani.
"Ayah! Kumohon berhenti…."
Berteriak dengan kencang Widya mengatakan dengan tangan tetap melingkar pada tubuh Cahaya. Air mata yang tak kunjung berhenti serta kaki yang bergetar mencoba melangkah mendekati Dhani.
Mengapa ayahnya berbeda? Mengapa keluarganya berbeda? Bukankah rumah adalah tempat ternyaman di saat seorang anak merasa lelah? Mengapa Widya tak pernah merasakannya sedikitpun?
Tangan yang terulur mencoba menggapai wajah sang ayah namun belum kena, sudah terlebih dahulu Dhani menjambak rambut anaknya.
"Sialan! Dirimu mengapa baru pulang, hah?!"
"A–ayah…"
"Jawab, Bodoh!"
"A–aku pergi ke acara tuan Kenzi, Ayah…."
Tarikan di rambut Widya semakin dikencangkan bahkan urat-urat di sekitar kepala dan leher sudah terlihat sangat jelas.
"Lepaskan dia, Mas…."
Cahaya berlutut tepat di kaki Dhani. Dengan tangisan yang terus mengalir tiada henti membuat air mata itu jatuh ke kaki sang suami yang membuatnya menjadi geram.
"Lepas, Sialan!" murka Dhani sambil menendang wajah Cahaya.
Akibat tendangan itu, wajah Cahaya memiliki bekas serta rasa ingin patah di sekitaran membuatnya hanya bisa berteriak kesakitan.
"Ibuuu!" pekik Widya melihat ibunya yang sudah terkulai tak berdaya.
"Suaramu membuat kebisingan!" Dhani melayangkan tangan tepat mengenai wajah Widya yang sedang meringis.
Bak iblis di malam hari, mungkin Dhani sedang mabuk membuatnya tak berakal sampai segitunya. Tangan Dhani tak sedikitpun mengendur pada tarikan kencang di kepala sang putri, malah bertanya lebih banyak membuat Widya hanya bisa pasrah.
"Kenzi? Itu calon suamimu, bukan?" tanya Dhani dan Widya hanya bisa mengangguk. "Kalau begitu mana uang yang dia berikan? Tak mungkin dia tidak memberimu uang!" lanjut Dhani sambil menjulurkan telapak tangan seperti sedang meminta.
Takut-takut Widya menggeleng sambil berujar, "T–tidak ada, A–ayah."