Bab 12 - Belanja

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan pada saat itu juga tak ada tanda-tanda kehadiran orang tuanya. Sejak pertengkaran kemarin satupun tidak ada yang datang membuat Widya menghela napas kecewa. Dirinya bingung ingin melakukan apa dan memutuskan untuk pergi ke dapur.

Biasanya akan lebih baik memasak menu yang harus disediakan besok daripada menganggur tak jelas. Lagian bahan-bahan di dapur sudah mulai layu, bila tak dimasak dengan cepat maka akan busuk dan membuat rugi.

Dirinya mulai mengiris bawang merah dan putih lalu meletakkan ke tempat yang berbeda. Cukup banyak sehingga dia membagi kembali untuk dijadikan bumbu halus. Rasanya sangat menyenangkan dan sedikit bantu menghilangkan pikiran buruk yang selalu terbayang-bayang.

Aroma bumbu-bumbu menyeruak di setiap sudut ruangan, tampaknya ia akan segera menyelesaikan. Tak butuh waktu lama bagi dia sebab memasak sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari.

"Akhirnya selesai juga!" pekiknya senang sembari menatap seluruh perlengkapan yang dia selesaikan.

Ada bumbu sambal, goreng, burger, sayur-sayuran, rebus-rebusan, dan masih banyak lagi. Itu semua dia kerjakan hanya dalam beberapa waktu saja, tak sampai sehari. Kini badannya telah pegal dan mata mulai berat, akhirnya dia memutuskan untuk segera mandi dan pergi tidur. Betapa indah membayangkan diri sedang berbaring setelah lelah seharian.

••••

Cahaya matahari masuk ke dalam ruang kerja Kenzi melalui kaca-kaca jendela. Dirinya sedang meneguk kopi, seperti biasa telah disediakan para pekerja kantor. Matanya melirik ponsel berbunyi akibat notifikasi pesan seseorang.

Saat membuka layar dia melihat nama Callista di menu utama. Ia pun membuka isi pesan yang ternyata berisi ajakan untuk berbelanja bersama.

"Menyusahkan!"

Satu kata pedas keluar dari mulut Kenzi. Dia malah mengabaikan pesan dan tak berniat untuk membalas. Akan tetapi, ditengah kesibukan dengan komputer pikirannya tiba-tiba terbayang akan sosok gadis yang selalu berada dekat dengan dia beberapa hari.

Terbesit ide baik dalam pikiran, segera dirinya mengambil ponsel. Dengan lihai jari-jari mengetik deretan huruf, menyusun kalimat yang akan disampaikan pada Callista. Saat pesan sudah terkirim, Kenzi memandang sebentar sebelum mematikan ponsel.

Sedangkan di lain tempat, ada Callista dengan penantian akan jawaban dari pesan yang dikirim. Namun sudah sekitar lima belas menit dan jawaban pun tak dia dapat membuat hembusan napas kecewa.

Berdiri dengan menghentak-hentakkan kaki, Callista jadi teringat akan informasi dari tangan kanannya. Di mana kata mereka bahwa Kenzi tak mendesain pakaian pernikahannya di toko milik Callista malah memilih di butik. Walaupun Stefanie teman sekerjanya, bila sudah berurusan dengan pria yang dicintai maka akan berbeda cerita.

Di tengah kekesalan, suara notifikasi ponsel membuatnya buru-buru mengambil dan kedua bola mata mendadak bulat lebar. Pengirimnya ialah pria yang telah ditunggu-tunggu dari tadi dan akhirnya terbalas juga.

Segera ia membalas namun isi pesan yang dibaca membuatnya jatuh kecewa. Padahal Callista menginginkan untuk Kenzi menemani belanja namun mengapa pria itu malah menyuruh orang lain yang lebih parah adalah calon istri Kenzi disuruh.

Callista memutuskan untuk menelepon, namun saat di saat menyambungkan panggilan sebuah ide terlintas di benak membuat ia mengakhiri telepon. Dengan senyum cerah Callista segera berjalan menuju tempat yang sudah dijanjikan.

••••

"Halo, Tuan?" Widya bersuara saat panggilan dari Kenzi tersambung.

"Orang-orang sebentar lagi akan menjemputmu. Segera bersiap dengan rapi dan pergilah berbelanja." Kenzi menjelaskan dari sambungan telepon.

Sedangkan Widya mendapatkan kabar mendadak membuatnya panik sesaat.

"Akan t–tetapi, aku harus berjualan," jelasnya kembali dan terdengar helaan napas dari seberang.

"Sudah biarkan saja, tak akan ada yang mencuri. Lebih baik dirimu bersiap karena anda akan berbelanja dengan Callista."

"Baiklah kalau begitu, kuakhiri sambungannya, Tuan." Widya buru-buru mematikan telepon karena panik melanda.

Dengan buru-buru dirinya masuk ke dalam rumah untuk segera bersiap-siap. Terlebih mendengar kata Callista, wanita yang dia temui di malam pertemuan membuatnya sedikit khawatir. Apalagi dengan tatapan si wanita itu sangat tidak bersahabat.

Tak perlu berlama-lama, sekarang Widya telah bersiap dengan pakaian yang dia rasa cukup. Berwarna biru laut kesukaannya serta panjang selutut dengan bahan pakaian di bagian atas dada serta tangan berwarna putih sehingga menyatu dengan kulit.

Rambut tergerai menambah kesan cantik di wajah Widya. Sembari menunggu jemputan, gadis itu kembali melihat penampilan dari pantulan kaca. Sebenarnya ada rasa tak percaya diri sebab mengetahui bagaimana cantiknya Callista.

"Maaf atas keterlambatan kami, Nona."

Suara asisten terdengar di depan pintu membuat ia segera berjalan dan menggeleng lalu tersenyum. "Tidak masalah."

Kini mobil melaju menuju sebuah mall yang telah dijadikan sebagai tempat pertemuan. Sesampainya, asisten mengarahkan Widya menuju tempat yang Callista pesankan tadi.

Dari jauh, Widya mengerjapkan mata saat melihat seseorang wanita dari balik badan tampak sangat elegan.

"Kami pamit, Nona. Sebab Nona Callista ada di situ," pamit beberapa asisten sambil berjalan meninggalkan tempat.

Ragu Widya melangkah sebab dirinya agak takut. Badannya tersentak saat wanita itu berbalik arah dan kini mereka berdua saling berhadapan.

"Nona Widya?" tanya wanita itu dengan alis terangkat sebelah.

Widya mengangguk sambil menampilkan sedikit senyuman. Tak lama, Callista mengulurkan tangan bermaksud untuk berjabatan.

"Salam kenal saya Callista ternama di kota ini." Wanita jtu memperkenalkan diri sembari menunggu jabatan tangan Widya.

Widya sendiri menatap sebentar namun dalam pikiran berkecamuk. Hingga Callista kembali menyadarkan dia sehingga Widya membalas jabatan tangan.

"S–salam kenal juga saya Widya," ucapnya dengan ragu.

"Nona calon istri Kenzi?"

Pertanyaan dari Callista membuat tubuh Widya mematung. Tak tahu harus menjawab apa karena dia sendiri juga masih bingung. Merasa bahwa selama ini hanyalah ilusi belaka dan tak pernah berharap bisa terjadi. Sedangkan Callista dia malah tersenyum miring lalu mendekatkan diri.

"Tak perlu malu. Aku dan Kenzi sudah berkenalan selama bertahun-tahun dan kami memahami luar dalam."

Sontak Widya berdiri dengan kaku terlebih saat mendengar kalimat ambigu terakhir. Tak berselang lama, Callista akhirnya mengajak Widya untuk berkeliling sebelum mencari barang-barang yang ingin dibeli.

Saat melangkah, Callista terus memperhatikan penampilan Widya yang cukup membuatnya sedikit berdecih. Memikirkan mengapa Kenzi bisa memilih Widya menjadi pasangan hidup sedangkan penampilan dari gadis itu jauh dari kata cantik.

"Nona, boleh sedikit bercerita bagaimana anda bisa bertemu pertama kalinya dengan Kenzi?"

Pertanyaan dari Callista membuat Widya kelimpungan mencari jawaban. Sebab dia sendiri tak tahu awal bertemu bagaimana. Bukankah Kenzi mendadak datang ke rumah dan melamarnya saat itu juga? Lalu terjadilah pernikahan palsu.

"A–aku tak m–mengingatnya."

Jawaban yang membuat Callista mengejutkan kening. Sangat aneh bila mengatakan lupa, curiga sebenarnya ada sesuatu yang dirahasiakan.

"Nona melupakan? Bagaimana mungkin bisa begitu, anda lucu sekali," ujar Callista dengan tawa paksaan.

"A–aku melupakan karena k–kami bertemu sudah s–sangat lama."

Alibi yang tepat bagi Widya. Entah darimana asal jawaban tadi datang, mulutnya begitu spontan bersuara. Tentu saja Callista dibuat terkejut kembali, sebab mengetahui fakta tentang pertemuan Kenzi yang sudah lama dengan wanita lain membuatnya sedikit sakit hati.

"Ohhh, kira-kira berapa lama?" tanya Callista penasaran.

Sedangkan Widya mencoba memutar otaknya. "Bukankah pertemuan penting tak harus mengingat dengan rinci kapan dan dimana? Aku terlalu menikmati pertemuan itu."

Rasanya seperti mengeluarkan beban yang selama ini tertimbun di dalam hati, Widya mendapat keberanian secara tiba-tiba untuk menjawab dengan lantang. Lantas Callista hanya bisa tersenyum paksa saat mendengar dan dia tak melanjutkan pertanyaan lain.