"Ayah dan ibu kemana? Mengapa kalian tak pulang ke rumah?"
Sembari menjaga warung, Widya menghela napas dan menggerutu sebab mengingat kedua orang tuanya tak kunjung pulang. Uang yang dia pegang semakin menipis apalagi pembeli akhir-akhir ini juga berkurang. Nasibnya bagaimana selanjutnya?
Dia pun memutuskan untuk mengambil ponsel dan mencoba menghubungi nomor telepon si ibu. Berharap agar dapat tersambung, namun malah suara seorang wanita operator yang terdengar. Menandakan bahwa ponsel tak aktif membuatnya mendesah kecewa.
Namun, siapa sangka dua orang yang sedang dicemaskan keadaannya malah asik bersantai di sebuah hotel. Mereka berbulan madu dengan ria terlebih lagi si Dhani. Dengan santainya berenang pada kolam yang telah disediakan pihak hotel sambil menyeduh secangkir kopi hitam.
"Mas, sudah tiga hari kita di sini, apa gak ada niat pulang?"
Pertanyaan dari Cahaya membuat Dhani menghentikan aktivitas minum kopi. Ia menoleh ke samping dengan tatapan nyalang lalu melemparkan kopi panas ke tangan Cahaya, membuat wanita itu menjerit akibat suhu panas mengenai kulit.
"Bisakah dirimu tidak banyak bicara? Membuat suasana hati buruk saja!" ketus Dhani dan melangkah keluar dari kolam.
Cahaya yang merintih kesakitan, bersusah payah untuk ikut bangkit menemui Dhani. Walau sebenarnya tangan sudah memerah bahkan belum diobati, namun perasaan tak akan tenang bilang sang suami dalam kondisi marah.
"Mas, maafkan aku. Tadi hanya mengingat Widya saja, apalagi dia akan menikah sebentar lagi seharusnya kita lebih banyak menghabiskan waktu bersama." Cahaya menjelaskan dengan tangan mengelus punggung sang suami dan kegiatannya langsung ditepis saat itu juga.
"Halah! Anak itu kalau mau nikah ya tinggal nikah! Toh, uang kita juga gak bakal kekurangan lagi!"
Mendengarnya membuat hati Cahaya seakan tertusuk. Bagaimana pun, Widya adalah putri kandungnya, darah daging sendiri tak akan mungkin bisa dia lihat kesakitan yang menimpa sang anak. Namun, bila disandingkan dengan Dhani, rasanya mereka berdua setara dan tak bisa dipilih. Hal itu juga yang membuat Cahaya diam tanpa berkomentar apapun.
"Sudah-sudah, mending kamu pesankan aku makan!" perintah Dhani sambil melangkah menuju kamar mandi.
••••
Kenzi telah menyelesaikan rapat dengan para kolega. Dia memilih untuk beristirahat sebentar di ruang kerjanya sebab rasa kantuk dan pusing bercampur aduk jadi satu.
Di tengah peristirahatan, suara pintu masuk mengusik tidurnya membuat ia terpaksa sedikit membuka mata. Kosong tak ada siapapun membuatnya hanya berdecak lalu kembali meniatkan untuk tidur. Akan tetapi sesuatu memegang kening membuatnya terbangun kaget.
"Mengapa? Apa tak nyaman?"
Ternyata Callista sedang memijit pelipisnya membuat Kenzi bernapas lega. Kepala ia gelengkan sebagai jawaban kemudian kembali bersandar saat tangan wanita itu menuntun.
Dalam proses pemijatan Kenzi membuka suara, "Ada apa kemari?"
Sedangkan Callista tersenyum lalu mendekatkan kepala ke arah telinga Kenzi.
"Surprise doang, emang gak boleh?" ujarnya dengan sensual membuat hawa-hawa aneh di benak Kenzi.
Sontak, pria itu bangkit dari sandarannya dan tak lupa memperbaiki setelan jas yang sedikit berantakan. Sengaja dia berdehem agar mencairkan suasana terasa canggung lalu mencoba untuk cari topik lain.
"Dirimu sudah makan?"
Berbeda dengan Callista, dia malah tersenyum lebar dan menggelengkan kepala. Seperti mengetahui kelemahan pria di hadapannya. Sesudah itu memberikan jawaban dengan raut lesu dan menggeleng.
"Belum, mau makan bersama?" tawarnya dan mendapat anggukan. Kini mereka berjalan bersama menuju lobby, banyak mata para karyawan menyaksikan kedekatan antar keduanya. Membuat bisik-bisik rumor pacaran pun tak bisa terbantah.
Berbeda tempat dengan pasangan suami istri yang sedang berbulan madu, saat ini keduanya tengah dirundung kekesalan sebah Cahaya dari tadi bolak-balik masuk toilet akibat muntah. Hanya cairan bening yang keluar dan tak ada muntah seperti biasa, berpikir bahwa tadi dia tak salah makan membuatnya semakin terpuruk.
"Dasar kampungan! Kamu ini muntah-muntah terus membuat aku jijik!" maki Dhani dengan ekspresi seolah melihat kotoran berada di hadapan.
Cahaya menundukkan kepala sambil menekan perut agar tak merasa mual.
"Maaf, Mas! Aku tak tahu mengapa bisa mual seperti ini."
Dhani sendiri tak ambil pusing, dia malah keluar dari toilet dengan membanting pintu keras lalu menidurkan diri di kasur. Tangannya mengambil sesuatu dari dalam saku yang tak lain adalah sebuah kartu berwarna hitam milik Kenzi, calon menantu.
"Sepertinya aku harus memaksa Widya untuk meminta sebagian harta anak itu dan aku akan kaya raya, hahahaha!"
Dari sudut ruangan, Cahaya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saat melihat kelakuan sang suami. Begitu gila harta sampai tega memeras anak sendiri namun apa daya, dia tak dapat berbuat apapun untuk membantu.
Saat ingin berjalan, tiba-tiba kepalanya seakan berputar. Pandangan pun mengabur membuat Cahaya mendadak menjambak rambutnya secara refleks lalu bersuara kencang, "Mas, tolong aku….."
Dhani tak merespon, pria itu senantiasa dengan lamunan akan hartanya tak memperdulikan sang istri yang hampir terjatuh.
Hingga suara ambruk terdengar barulah Dhani kembali pada kesadaran dan mendongak untuk melihat apa yang sedang terjadi. Betapa terkejut dirinya saat melihat Cahaya sudah tergeletak tak sadarkan diri di lantai, buru-buru ia bangkit dan mengangkat si istri untuk segera dibawa ke ruang pertolongan.
Satu masyarakat hotel begitu gempar saat mendengar teriakan Dhani heboh. Banyak orang coba menelpon petugas kesehatan untuk segera membawa korban tak sadarkan diri.
"Cahaya! Bangun! Sialan banget dirimu!"
Masih sempat-sempatnya Dhani berujar kasar pada sang istri yang sedang tak sadarkan diri, membuat para pengunjung hotel ramai-ramai menyoraki dia. Tak berapa lama datanglah para petugas kesehatan membawa tandu berlari ke arah korban. Segera Cahaya diangkat naik ke atas lalu membawanya untuk masuk ke dalam ambulans.
"Mana keluarga pasien yang mau ikut?" teriak salah satu perawat pria namun tak ada yang mengangkat tangan, tak terkecuali dengan Dhani. Dia malah bersembunyi di balik ramai orang-orang.
"Ini pasien gak punya keluarga?" Kembali perawat itu bertanya membuat para orang-orang berdesas-desus satu sama lain.
Seorang wanita muda yang baru saja datang tiba-tiba berteriak. "Lho! Bapak ini suaminya mbak yang pingsan tadi, bukan? Minta tolong untuk panggilkan ambulans, masih ingat gak?!"
Sontak seluruh orang-orang mengalihkan perhatian ke sumber suara, sedangkan Dhani hanya menampilkan cengiran sambil menggerutu tak jelas.
"Bapak keluarga pasien?"
"Iya, hehehe!"
"Kok tadi saya panggil gak nyaut?"
"Saya takut sama rumah sakit."
"Haduhhh, udah ikut saya sini."
Sang perawat menarik tangan Dhani untuk segera ikut naik ke dalam ambulans. Gagal sudah rencana pria itu untuk bersantai tanpa ada gangguan. Dia memaki seorang wanita yang membuatnya terpaksa mengikuti beban-beban ini ke rumah sakit.
Sesampainya di lokasi, buru-buru para perawat mengambil brankar rumah sakit agar dapat memindahkan korban. Dhani yang merasa aman untuk kabur, perlahan-lahan melangkah. Sayang saja, seorang perawat pria memegang pundak membuat Dhani menoleh ke belakang.
"Bapak mau kemana lagi?"
Dhani menampilkan raut wajah seakan tertekan lalu berkata, "Pak, saya benar-benar takut rumah sakit."
Sedangkan si perawat tampak menghembuskan napas kasar. Lalu menarik tangan Dhani untuk tetap masuk.
"Itu istri bapak, lho! Masa tega ditinggali!"
"Ya sudah kalau begitu saya tunggu di sini saja."
"Nah, begitu dong. Kalau begitu saya izin pamit ya, Pak. Tunggu saja dokter sedang memeriksa."
Kepergian sang perawat membuat Dhani berpasrah dan terpaksa untuk duduk di kursi ruang tunggu. Rasa kantuknya mengakibatkan dia tak sadar mulai memejamkan mata.
Belum benar-benar tidur dengan pulas, suara dokter membangunkan dirinya terdengar dan ada juga beberapa suster sedang menahan tawa. Dengan cepat ia bangkit sambil memperbaiki pakaian yang sedikit berantakan.
Hanya bisa menggeleng kepala, sang dokter mulai menghembuskan napas saat ingin berbicara.
"Pak, diharap jangan kaget bila informasi ini saya sampaikan."
Kening Dhani mengernyit saat mendengar ucapan dokter yang terasa menegangkan. Ia pun mengangguk.
"Kondisi pasiennn…."
"Kondisinya kenapa, Dok? Jangan buat saya penasaran!"
"Kondisi—" Belum sempat berbicara, lagi-lagi dipotong oleh Dhani.
"Dokter kalau ngomong yang cepet! Saya penasaran!"
"Bagaimana saya bisa berbicara kalau bapak selalu memotong ucapan saya?"
"Oh, maaf."
"Kalau begitu biar saya lanjutkan," ujarnya sambil menghela napas. "Selamat, Pak. Istri anda sedang mengandung dan kandungannya baru berjalan lima hari."