Bab 17 - Malam Pertama

Acara sepanjang hari ini mampu membuat kaki Widya terasa sangat sakit, sebab sepatu yang dia pakai terasa kurang nyaman akibat tak terbiasa. Kini dia sedang duduk di sofa sambil mencoba untuk melepaskan sepatu, saat terlepas dan benar saja bahwa telapak kakinya memerah.

"Silakan berganti pakaian ada yang ingin kuomongkan. Tunggu di kamar karena aku sebentar ingin ke kantor."

Selesai dari kamar mandi, Kenzi berpesan pada Widya yang sedang mengurusi kaki merahnya. Selepas berujar, pria itu berjalan keluar meninggalkan Widya sendiri.

"Huft, begitu melelahkan," ujar Widya menghela napas.

Lanjut mulai membuka resleting, sedikit kesusahan namun berusaha untuk tetap bisa terbuka walau tangan dia buat gapai-menggapai. Agak lama, akhirnya tetap bisa terbuka dan selanjutnya mengganti pakaian dengan baju tidur.

Suara pintu terbuka, terdengar dari luar membuat Widya buru-buru merapikan diri. Tak ingin membuat Kenzi menunggu, gadis itu segera keluar.

"Sudah selesai? Sini duduk," suruh Kenzi sambil menepuk tempat tidur di sebelah.

Pelan-pelan Widya melangkah menuju tempat yang disuruh. Saat sampai, Widya masih mematung berdiri tak tahu harus apa sebab masih canggung. Lain hal dengan Kenzi, dia kembali menepuk tempat duduk. 

Melihat tak ada reaksi sama sekali dari istrinya membuat Kenzi menarik tangan Widya sehingga terduduk tepat di sebelahnya. Saat itu juga Widya merasa kaget sehingga melototkan mata membuat Kenzi sedikit tertawa.

"Wajahmu tak perlu ketakutan, coba seperti ini saja," ungkapnya sambil mengangkat ujung bibir wanita itu. "Lebih cantik," lanjut Kenzi.

Detik selanjutnya Widya langsung mengalihkan wajah ke samping. Dirinya merasa malu akibat ungkapan manis Kenzi.

"Apa yang ingin tuan bicarakan?"

"Aku tak mau memaksamu hari ini sebab besok masih ada acara. Akan tetapi, dirimu harus ingat…."

Ucapan yang sengaja dipotong membuat Widya menerka-nerka kelanjutannya, berharap tak seperti yang ia pikirkan. Namun, sial napas berhembus kecewa saat ungkapan dilanjutkan.

"Ingatlah perjanjian bahwa anda harus memberi saya satu keturunan!"

Selepas mengucapkan, Kenzi langsung berbaring tidur dan mematikan lampu kamar, tak mempedulikan Widya saat ini sedang ketakutan. Dirinya takut akan gelap gulita, sebab bayangan akan masa lalu kembali hadir.

"Kamu membunuh anak saya!"

"Kamu membuatnya kehilangan kebahagiaan yang telah dirancang!"

"Seharusnya kamu yang mati, Widya!

"Kenapa kamu membunuhnya, Nak?"

"Sebab dia tak berguna! Anakmu yang tak berguna!"

Suara-suara akan masa lalu kembali hadir. Padahal sudah enam tahun dia berusaha untuk bangkit dan melupakan, sialnya hari ini kembali muncul hanya karena satu malam. Tangannya digunakan untuk mencengkram seprai, dan sebelahnya dipakai menjambak rambut berusaha agar suara-suara segera menghilang.

"Kamu pembunuhhh!

"Pembunuhhh!"

"Pembunuhhh!"

Semakin keras di telinga dan saat itu juga Widya berteriak, "Arghhh!" Sontak Kenzi yang hampir memasuki dunia mimpinya harus terganggu dan buru-buru menghidupkan lampu. Matanya terbelak saat menyaksikan kondisi kacau sang istri.

"Apa yang terjadi denganmu, Widya?"

Hembusan napas yang begitu kencang layaknya seperti seseorang baru selesai berlari. Saat ingin memegang pundak sang istri, lebih dulu badan itu menjauh dan kepala diapit antara dua lutut. Tentu membuat pertanyaan berputar di kepala Kenzi.

"Hei, ada apa? Ini aku Kenzi, suamimu. Mengapa dirimu terlihat ketakutan? Katakanlah," ujarnya menenangkan.

Lantas kepala Widya perlahan mulai naik dan menatap untuk memastikan apa pernyataan tersebut benar. Ternyata memang benar saja, ada Kenzi sedang menatap ke arah Widya dengan tatapan kebingungan. Hingga pada detik itu juga tubuh Kenzi hampir terhuyung ke belakang bila tak ada penyangga tempat tidur, sebab tiba-tiba saja Widya memeluknya.

Pundak pria itu juga terasa basah dan diyakini sekarang istrinya sedang menangis. Saat tangannya mencoba untuk membelai rambut, ada keraguan pada diri sendiri membuat Kenzi masih tak menyentuh hanya sebatas melayang di atas.

Hanya saja tangannya dia tetapkan untuk menyentuh surai rambut panjang milik istrinya dan menenangkan.

"Hei, jangan menangis."

"A–aku tidak m–membunuhnya," cicit Widya, seketika kening Kenzi mengerut.

Membunuh katanya? Lalu tangannya dia buat untuk menarik Widya agar dapat melihat wajahnya. Mata sembab, hidung memerah, serta rambut acak-acakan membuat rasa iba nyempil di hati Kenzi. Jarinya tanpa disuruh, tiba-tiba menyeka air mata yang ingin menetes kemudian menangkup pipi sang istri agar bisa menatap ke arah dia.

"ceritakan padaku apa yang terjadi?"

Namun hanya gelengan yang diberikan Widya dan bangkit menuju kamar mandi. Menjadikan pertanyaan di benak Kenzi tentang sebenarnya yang sedang terjadi.

••••

Semenjak kejadian malam, Widya menjadi semakin pendiam dan lebih sering melamun. Seperti sekarang, di dalam mobil Kenzi dapat melihat tatapan kosong sang istri yang tak tahu pikirannya berkelana ke mana. 

Tangannya diarahkan untuk menggenggam jari si istri dan reaksi yang didapat sama saja tak ada. Membuatnya memutuskan untuk bersuara. "Widya, dirimu baik-baik saja?"

Menunggu beberapa detik dan tak menemukan jawaban membuat Kenzi menghela napas kasar. Lanjut menepuk pundak sang istri, saat itu juga tersentak kaget, "Ehhhh?"

Widya menoleh, terlihat raut wajah suaminya yang sedang kebingungan seperti sedang bertanya-tanya tentangnya.

"Widya, mengapa dari tadi melamun?" tanya Kenzi serius sedangkan Widya hanya menggeleng sambil menunjuk senyum paksaan. "Apa tidak senang karena kita akan pulang ke kota?" lanjut Kenzi bertanya.

"Bukan karena itu," balas Widya cepat takut salah paham.

"Lalu?" Alis mata Kenzi naik sebelah.

"Aku m–mimpi buruk." Widya beralibi dan saat mengatakan dia buru-buru menoleh ke arah luar melalui kaca mobil.

Tak ingin membahas lebih panjang, Kenzi pun hanya tak acuh menaikkan bahu. Kemudian memejamkan mata, berniat untuk tidur sejenak menunggu sampai bandara.

Selepas perjalanan selama delapan jam tanpa beristirahat kini sepasang pengantin yang baru saja menikah tengah mempersiapkan diri untuk acara malam perjamuan. Berbeda dari acara sebelumnya yang dihadiri beberapa orang, malam nanti akan diundang ratusan tamu bahkan perkiraan acara akan selesai subuh nanti.

Walau sebenarnya Widya sedikit ragu sebab takut tumbang di acara dan mengacau. Namun apa daya, daripada kena amukan suaminya, lebih baik dia mengikut saja. Wajahnya tampak di makeup oleh Stefanie dan beberapa kru lain yang membuat ia pusing akibat banyak orang menangani.

Sekitar empat jam makeup kini Widya tinggal memakai gaun pernikahan yang telah dirancang sejak lama. Dia benar-benar terasa seperti ratu di sebuah kerajaan sebab terlihat sangat cantik, bahkan tak menyangka bahwa dari pantulan kaca saat ini ternyata dia sendiri.

"Bagaimana rasanya malam pertama kalian?" Stefanie tiba-tiba menyahut saat Widya asik dalam lamunan.

Tentu saja Widya menundukkan kepala, ada rasa menggelitik di hati bila mendengar kata malam pertama. Stefanie sudah senyum-senyum sendiri, dia tahu bahwa Widya sedang malu.

"Diam saja nih? Tak mau berbagi pengalaman pertempuran tadi malam?" goda Stefanie lagi, kali ini dibarengi dengan colekan dagu.

Widya melototkan matanya, tak mau membuat salah paham dia pun menjelaskan, "K–kami tak melakukannya."

"Hah? Tak melakukan? Kenapa?" kaget Stefanie.

Malu-malu Widya membalas, "Katanya karena hari ini akan ada acara. Takut kelelahan."

Sontak Stefanie tertawa terpingkal-pingkal, dia menggeleng sebelum menghentikan. Rasanya lucu saja dengan ekspresi wajah Widya yang berbicara sangat asal ceplas-ceplos, padahal niat awal tak begitu mementingkan jawaban asli.

"Suamimu begitu perhatian bahkan tak menginginkanmu kelelahan hari ini. Berharap suatu saat nanti memiliki jodoh yang baik juga," ujar Stefanie membayangkan dengan wajah seperti sangat berharap.

"Kubantu aminkan," kata Widya menampilkan senyumannya.

"Hahaha, terima kasih. Lebih baik kita segera keluar karena acara telah dimulai." Lalu Stefanie menarik tangan Widya untuk berjalan menuju aula yang telah berisi tamu undangan.

Saat matanya mengelilingi setiap sudut ruangan, tak ada yang dia kenal kecuali Stefanie sendiri dan seseorang di dekat meja minuman tengah berbincang-bincang. Ayah dan ibu yang tak diundang membuat rasa sedih dalam hati Widya. Namun, sebelum kesedihan itu semakin mendalam, suara Stefanie menginterupsi.

"Mendekat pada suamimu sana!" Stefanie menyuruh dengan pundak yang didorong pelan.

"A–aku di sini saja," balas Widya. Takut kalau akan mengacau.

"Pergilah," ujar Stefanie lagi, kali ini mulai menarik tangan Widya namun tertahan lagi. Wanita itu tampak menggeleng membuat Stefanie menghembuskan napas kasar.

Tak lama terlintas sebuah ide di benaknya lalu berteriak tak terlalu kencang, "Kenzi!" 

Panggilan Stefanie tentu menjadi pusat perhatian beberapa orang yang berada di sekitar. Begitu juga dengan Widya, badannya jadi gemetar saat orang-orang melihat ke arah mereka. Belum lagi Kenzi yang mulai berjalan mendekat, dia pun hanya bisa menggenggam tangan mencoba untuk menenangkan diri.

"Ada apa?" Suara Kenzi terdengar tepat di sebelah Widya.

"Istrimu disini, mengapa kau bersama wanita lain di sana?"