"Maaf, Tuan, kami hanya menemukan setengah dari jumlah yang sedang kita kumpulkan."
Otomatis seluruh pekerja kantor yang sedang berhadapan dengan Kenzi menjadi tunduk gemetaran. Ketakutan yang mereka alami saat ini penyebabnya ialah amukan dari tuan mereka. Satu per satu kaki mulai mundur ke belakang saat Kenzi berjalan mendekat.
"Lantas, apa yang kalian lakukan dari tadi bila hanya mendapat setengah?!" Amarah memuncak, siapapun yang berada di dalam ruangan bergetar makin ketakutan. Dokumen yang seharusnya berada di atas meja tersusun dengan rapi, kini semua berserakan akibat lemparan yang telah dilakukan oleh Kenzi.
Matanya seperti tak bosan menatap nyalang ke arah sekumpulan pegawai yang terlihat tertekan. Tajamnya pandangan itu mampu mengalahkan tajamnya pisau dan saat itulah mereka hanya bisa diam dan berserah diri pada Tuhan, menunggu kelanjutan yang akan berimbas.
"Ada apa ini, ribut-ribut?" Suara seorang wanita terdengar memecah keheningan yang terjadi. Dia adalah Callista, raut wajah tampak kebingungan namun melihat keberadaan wanita itu siapa saja berhembus lega walaupun hanya sedikit.
"Derry, apa yang terjadi?" Kembali Callista bertanya pada salah satu pegawai pria berpakaian kemeja abu-abu. Sontak pria itu menjawab dengan ragu-ragu sambil melirik ke arah Kenzi. "N–nona, Tuan menyuruh kami mencari bahan untuk produksi brand yang sedang berjalan. A–akan tetapi, k–kami hanya mendapatkan setengah dari jumlah keseluruhan."
Setelah berbicara, pria itu langsung memundurkan diri berlindung pada teman lainnya. Takut salah berbicara sebab saat mengatakannya, pandangan mata Kenzi mengikutinya dan hanya bisa menelan ludah terus-terusan.
"Ya, sudah kalian keluar saja. Biar itu urusanku dengannya," ujar Callista dengan menggandeng tangan Kenzi. Sontak mata seluruh pegawai saling berpandangan satu sama lain. Seperti berkode tentang pikiran satu sama lain.
"Kalau begitu, kami izin mengundurkan diri, Tuan dan Nona," pamit mereka membungkukkan badan sebagai memberi hormat.
Setelah keluar ruangan, beberapa di antara mereka langsung berlari heboh mengungkapkan bahwa ada gosip hangat. Wanita bertubuh sedikit berisi dengan rias wajah cetar menghebohkan satu lantai. Di meja kerjanya semua orang berkumpul demi mengetahui gosip apa yang akan didengar.
"Emangnya gosip apa?"
"Bikin penasaran deh dirimu, Stella!"
"Kampret, malah dandan dulu dianya!"
Sedangkan satu pegawai pria lainnya menyambar lebih dulu. "Tuan Kenzi sama Nona Callista selingkuh."
"Hah? Selingkuh?!" teriak mereka kaget.
"Jangan main-main deh bagi berita. Asal bilang selingkuh aja gak ada bukti," ujar salah satu karyawan berambut pendek menggunakan kacamata. Seperti tak percaya kabar perselingkuhan membuatnya menepis berita yang ada.
"Dih, dia gak percaya. Kami bertiga udah lihat langsung kok." Pegawai bernama Stella menyahut dengan tenang.
"Emang buktinya apa?"
Sebelum berbicara, lebih dulu kepala wanita itu menoleh ke seluruh ruangan. Memastikan keamanan berlangsung, takut tiba-tiba keciduk dan berimbas buruk buatnya.
"Kalian tahu, saat tadi lagi dipanggil ke ruangan kami dimarahi sama Tuan Kenzi gara-gara bahan yang disuruh cara tak dapat sepenuhnya."
"Lalu?" tanya mereka antusias karena merasa Stella sengaja memperlama.
"Lalu, datanglah Nona Callista menenangkan dan kalian tahu kalau saat itu juga Nona Callista menggandeng tangan Tuan Kenzi dengan mesra!" Penuh kehebohan Stella menceritakan dan tanggapan yang mendengar ialah terkejut menutup mulut.
"Gitu doang dibilang selingkuh? Kan bisa saja karena udah temenan dari kecil jadinya gandengan." Wanita yang tadi tak percaya masih kekeuh pada pendiriannya.
"Halah, kalau udah gitu pasti main belakang. Lagian memang dari awal hubungan Nona Callista lebih duluan daripada Nona Widya. Pasti belum bisa move on."
"Kasian Nona Widya, dikhianati tapi tetap aja. Aku kalau jadi Nona Callista juga pasti gak terima. Susah senang samaku tapi nikahnya sama orang lain."
"Husttt, mulutnya. Kalian jangan berpikiran aneh-aneh!"
"Yasmine, kamu terlalu baik banget kalau gak mikirin mereka selingkuh."
"Nah, iya. Jangan polos banget deh, Yasmine!"
Sedangkan wanita yang dipanggil Yasmine seolah malas mendengar, dia pun berjalan kembali ke arah meja kantornya. Tak menunggu lama, muncullah sosok yang dibicarakan, yaitu Kenzi dengan wajah dinginnya. Berjalan tak memperdulikan sekitar, apalagi bisik-bisik orang saat sudah tak melihatnya.
"Tuan Kenzi terlihat marah sepertinya."
"Iya, habislah kita!"
"Ehhh, Nona Callista datang."
Muncullah sosok wanita dengan baju kebangsaannya berwarna merah serta make up bold yang membuat wajah terlihat sangat menawan. Mata indahnya yang telah dihiasi dengan bulu mata lentik serta bola mata coklat membuat siapapun jatuh hati pandangan pertama.
"Ada apa ini? Kenapa berkumpul?" tanya Callista yang baru saja datang.
Sontak semuanya bubar barisan, kembali ke tempat masing-masing meninggalkan kebingungan pada Callista sendiri. Wanita itu pun hanya mengangkat bahu layaknya bodo amat lalu jalan ke arah lift.
"Huft, syukur kita masih aman," ujar Stella yang tadi sudah panas dingin. Saat mengatakan hal itu, kepalanya jadi korban dari toyoran beberapa rekan.
"Syukur, matamu! Untung saja kita tidak kena pecat!"
••••
Waktu sebentar lagi akan menunjukkan hari yang mulai siang. Kebosanan yang Widya rasakan saat ini hanya dapat dinikmati namun pada akhirnya jenuh juga. Pikirannya berputar mencari solusi tentang kegiatan yang harus dikerjakan. Hingga, saat matanya berkeliling ruangan, tak sengaja menangkap dapur kosong milik Kenzi. Segera ia bangkit berjalan menuju tempat tersebut, memastikan bahwa bahan yang ingin digunakan tersedia. Namun, kulkas hanya berisi minuman kaleng serta makanan ringan yang tak dapat diolah.
Widya berhembus kasar, kejenuhannya akan semakin panjang. Lagi-lagi seperti mendapat sebuah rahmat dari Tuhan, sebab tiba-tiba kepikiran untuk belanja menggunakan uang yang diberi oleh Kenzi waktu itu. Ia, Kenzi pernah memberikannya saat berada di lokasi foto prewedding dan tak pernah digunakan membuat uang itu masih ada sampai sekarang. Penuh semangat, ia berjalan keluar dari apartemen.
Di pinggir jalan, dirinya melihat angkutan umum apa yang dapat dipakai. Sebab tak biasa berada tinggal di kota tentu menjadi sebuah pengalaman baru bila berbelanja seorang diri.
"Becak, Neng?" tawar seorang pengendara becak pada Widya yang kelihatan bingung.
"Eh, iya, Bang."
"Neng, mau ke mana?"
"Ke pasar kira-kira berapa, Bang?" tanya Widya pada abang becak.
Raut wajah si tukang becak terlihat bingung, belum lagi tampak sedang memperhatikan style yang Widya gunakan dari ujung kaki hingga ke atas kepala. Ada perasaan yang tak enak mulai timbul, namun Widya segera menepis.
"Pasar mana dulu Neng? Pasar Simpang Griya, pasar Simpang Lima atau pasar Cempedak, Neng?" Sengaja sang tukang becak bertanya lebih detail, karena menurutnya semakin jauh harga maka akan lebih mahal.
"Waduh, banyak banget, Bang. Kalau gitu–" Belum sempat berbicara, suaranya sudah lebih dulu dipotong.
"Lho, Neng baru tahu? Warga baru pindah atau bagaimana?"
Widya sendiri hanya tersenyum canggung dan menunjuk ke arah apartemen tempat dia tinggal. "Saya warga baru, Bang. Tuh, di situ."
Arah mata si tukang becak pun mengikuti jari yang menunjuk. Begitu tahu bahwa orang di depannya ini adalah orang kaya, dia pun membelakkan mata. Lantas saja ikut tertawa canggung seraya menggaruk kepala walau tak terasa gatal.
"Oalah … orang hedon ternyata," cicitnya pelan saat kepala menoleh ke samping.
Segera ia naik ke atas becak lalu berkata pada Widya, "Ya udah atuh, Neng. Naik aja, biar abang bawa ke pasar terdekat."
Tanpa basa-basi Widya segera naik ke atas becak, tanpa menunggu jawaban atas pertanyaan dia tadi. Tanpa disadari wanita itu, lirikan yang sesekali pria tersebut lakukan mempunyai makna terselubung yang tak dapat dimengerti oleh siapapun selain diri sendiri.
Membutuhkan waktu sekitar lima menitan, akhirnya mesin becak berhenti pada pasar yang terlihat berbeda dari kampung tempat dia tinggal. Pasar itu memang ramai pengunjung namun terlihat lebih tertata membuatnya takjub.
"Berapa, Bang?" tanya Widya sambil membuka tas bermaksud untuk ambil uang.
Mengintip-ngintip, si abang tukang becak tersenyum miring lalu mengeluarkan pernyataan. "Lima puluh ribu aja,Neng."
Terbelak kaget saat mendengar harga. Bahkan mulutnya ikut terbuka lebar. "K–kok mahal banget, Bang?"
"Halah, ini kota besar, Neng. Harga segitu sudah termasuk murah, lagian si Neng hedon, toh? Ya, kali nawar …." Nada yang terdengar mengesalkan membuat Widya hanya bisa menghela napas panjang.
Buru-buru mencari uang di dalam tas dan menemukan uang merah selembar. Pikirnya akan ada kembali, sebab itu dia beri. "Ya, sudah, Bang. Nih uangnya."
Layaknya seseorang yang tak pernah melihat uang, begitu pula reaksi yang ditunjukkan saat mengambil uang merah dari tangan Widya. Lalu, memasukkan ke dalam kantong dan menghidupkan mesin, hal tersebut mengerutkan kening Widya.
"Neng, makasih, ya. Semoga bisa berjumpa lagi. Abang pergi dulu, kembaliannya gak ada jadi untuk abang aja, byeee!" teriak si tukang becak melambai tangan dengan becak yang telah melaju kencang.
Widya sampai dibuat terpelongo tak percaya. Dirinya pun mendesah kecewa. "Huft … ketipu lagi!"