Liontin Gitar

Pagi ini, Marvin berangkat ke kampus ditemani dengan gitarnya. Cowok yang berlapiskan hoodie krem itu menuruni lika liku tangga rumahnya dengan sedikit girang. Setibanya diruang makan, dia bergegas mengambil kotak makan memasukkan roti isi buatan bibinya dan membawanya pergi ke kampus. Yah, semenjak orang tuanya sibuk dengan pekerjaannya di Amsterdam, Marvin diasuh oleh tetangganya yang bernama Bu Imah yang biasa dipanggil bibi oleh Marvin. Setelah beres dengan kotak makannya, Marvin menghampiri kulkas yang ada disudut ruangan, mengambil dua botol teh dingin yang dimasukkannya ke dalam tas bersamaan dengan kotak bekalnya.

Bukanlah Marvin jika mobilnya melaju tanpa aksi ala-ala pembalap yang sedang pamer kemampuan. Cowok itu berniat menerobos lampu merah dihadapannya, namun sayangnya seorang gadis tiba-tiba menyebrang. Marvin pun terpaksa membanting setirnya, membuat bannya berbenturan dengan trotoar sebelum cowok itu kehilangan kesadaran dalam beberapa saat. Hanya beberapa saat karena setelah itu Marvin bergegas mengecek kondisi si gadis yang sudah dikerumuni beberapa warga. Cowok itu membelah kerumunan tersebut, meraih kepala gadis yang terkapar lemah tak berdaya itu dalam pangkuannya. Disibakkannya rambut gadis itu yang menutupi wajahnya.

Marvin tak mampu berkata-kata begitu menyadari bahwa itu adalah Laura. Cowok itu langsung membopongnya ke dalam mobil. Tak perlu waktu lama bagi cowok itu untuk sampai di rumah sakit. Dibopongnya lagi Laura, dibawanya berlari menuju ke ruang UGD sembari terus menyebutkan kata "dokter" dan "suster". Beberapa suster langsung memnghampirinya dan meminta Marvin membaringkan Laura di atas Bankar. Marvin menurut dan dia pun hanya mampu memandangi dari kejauhan para suster itu membawa Laura ke UGD.

Keringat Marvin bercucuran panik, dia langsung menghubungi Evan. "Van, Evan. Gwe mohon Lo ke rumah sakit sekarang, Van." serbunya begitu telepon itu tersambung. "Eh iya. iya. ini ada apa sih Vin? Siapa yang sakit? Kok Lo kelihatan panik banget sih." Evan yang kala itu baru saja keluar dari mobilnya dan hendak masuk gedung fakultas pun urung. Cowok itu menyandarkan badannya pada sisi pintu mobilnya berusaha mencerna ucapan Marvin. "Van, Evan Gwe nabrak orang, Van. Please Van, Lo harus kesini sekarang." Evan terkesiap mendengar ucapan Marvin, dengan sigap berusaha menenangkannya begitu Marvin mulai terisak bingung. "Vin, Lo tenang dulu ya, okay. Gwe bakal kesana sekarang. Tunggu, Okay." Evan langsung melajukan mobilnya begitu saja. Cowok itu lupa tidak bertanya di rumah sakit apa Marvin berada saat ini. Namun bukanlah Marvin jika tidak bisa menebak situasi temannya. Dari handphone milik Evan muncul notifikasi pesan dari Marvin yang berisi sebuah Sharelock.

Dalam waktu kurang dari 10 menit Evan sudah sampai dipelataran rumah sakit. Cowok itu langsung berlari mencari keberadaan Marvin. Tak butuh waktu lama, Evan sukses menemukan cowok itu tengah terduduk menahan rasa khawatir dan takut yang ada. Marvin terkejut saat Evan tiba-tiba memeluknya. Tapi setidaknya beban rasa takutnya berkurang dengan kehadiran Evan. Belumlah Evan melepas pelukannya, pintu ruang UGD terbuka, Dokter pun keluar dari ruangan itu diikuti Marvin yang langsung menghambur ke arahnya. "Gimana ke adannya, dok?" Ujar Marvin mencengkram kedua bahu dokter itu. "Tenang, nak. Pasien baik-baik saja. Hanya luka kecil di dahinya, dan sikunya. Sekarang pasien sudah sadarkan diri dan sudah boleh di jenguk." Dokter itu pun tersenyum ramah lalu berjalan meninggalkan Marvin yang langsung menerobos masuk begitu saja.

Marvin langsung memeluk Laura, sementara Evan yang tidak menyangka orang yang ditabrak Marvin adalah Laura pun hanya diam memandangi kejadian romantis itu. "Marvin, kamu?" Marvin langsung menyahut "Maafin aku, Lau. Aku adalah orang yang nabrak kamu tadi.". Mendengar pernyataan Marvin, Laura justru terssenyum dengan begitu tulusnya. Gadis itu meraih pipi Marvin, mengusap keringat yang mengucur disana. "Hey Marvin, dengerin aku. Aku masih hidup Marvin, aku masih bernafas. Tapi kamu berlagak seolah aku bakal mati." Marvin menatap sorot mata penuh kehangatan milik Laura mendegarkan rangkaian kata yang diucapkan gadis itu tanpa paksa. "Tenang ya, Kamu tahu, sebenarnya aku punya sesuatu untuk kamu." Laura merogoh saku celananya, mengeluarkan untaian tali keperakkann "Apa ini?". Laura makin tersenyum "Itu kalung untuk kamu. Semoga setiap kamu lihat liontin kalung itu yang berbentuk gitar, itu akan membuat kamu selalu ingat dengan gitarmu.".

"Thanks, Lau. Lo orang yang baik." Mata cowok itu tertunduk, sedikit tertegun menatap kilauan kalung itu. Laura mengajak Marvin pergi ke kampus, gadis itu merasa bahwa lukanya bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Marvin dan Evan pun mengiyakan, ketiganya berangkat ke kampus menggunakan Mobil Evan. Evan memaksa Marvin untuk tidak menyetir dahulu, cowok itu merasa bahwa Marvin masih terguncang akibat kejadian yang baru saja menimpanya tadi.

"Vin, aku langsung ke kelas ya." Ujar Laura sembari bergegas membuka pintu dan berlari meninggalkan Marvin. "Laura, tunggu. Gitarnya?" Teriak Marvin. "Nanti kalau kita ketemu lagi, Marvin. Thanks." Marvin hanya menghela nafas dan pergi ke kelasnya bersama Evan.

"Vin, lo suka ya sama cewek itu?" Evan pun memulai perdebatan sengit yang mampu dia buat. "Ngga, apaan sih lo. Mending gwe suka sama sebastian anak hukum noh." Evan bergidik dan menimpali "Amit-amit, wah lo kalo ngomong suka ngga mikir ya. Homo lo?". Marvin tak bereaksi sementara Evan terus mengoceh sesukanya "Awas aja ya kalo nanti lo tiba-tiba berlutut didepan gwe. teruss.....". "Terus apa?" Celetuk Marvin. "Terus.. terusss.. Evan maukah engkau menikah denganku... hih amit-amit." Marvin langsung meraup muka Evan sekenanya "Mimpi Lo."

Hari ini kelas berlangsung selama 2 jam, kata orang itu cukup sebentar namun tidak bagi Marvin cowok itu sudah tidak sabaran untuk bertemu dengan Laura bahkan dari menit-menit pertama pelajaran dimulai. Alhasil, cowok itu langsung buru-buru menuju taman setelah kelas dibubarkan. Larinya terhenti saat dia menabrak seorang gadis yang tidak lain adalah Laura. Dengan sigap Marvin menangkap tubuh Laura ketika gadis itu limbung dan hampir terjatuh ke tanah. Selama sesaat pupil biru Marvin bertemu dengan pupil coklat milik Laura, hanya sesaat karena setelah itu keduanya tertimpa kesadaran, Laura pun menarik badannya berdiri canggung.

"Eh, sorry, Lau." Ucap Marvin canggung. "Ngga papa kok, kamu buru-buru mau kemana?". "Aku mau nyari kamu, kan katanya mau dengerin aku main gitar.". Laura tersenyum tipis "Oh, gimana kalau jangan disini. Ramai nanti suaranya gak aka kedengeran jelas." Tanpa menunggu jawaban Marvin gadis itu langsung menarik tangan cowok itu begitu saja. Keduanya berlari menuju sebuah taman bunga dengan suasana tenang yang mana kebetulan pengunjungnya tidak cukup ramai.

Keduanya duduk bersebelahan di atas rumput yang hijau sempurna dan Marvin mulai memainkan gitarnya. Laura terdiam memandangi Marvin dengan petikan-petikan gitarnya yang merdu didengar. Perlahan cowok itu mulai bernyanyi

You and I and our words they have become popular

Baby please don't ever take me out of your sight oh

Where are you going to

Where are you going to

Oh where do you go

My heart belongs to you and your heart belongs to me

I can't live without you and you can't live withot me

Where are you going to

Where are you going to

Oh where do you go

My treasure tell me how do I get through the nights

I can't live without you baby please listen to me

Time with you is flying is flying by

While you're with me

Every every night

Time with you is flying is flying by

While you're with me

Every every night

All the bright and beautiful stars shine in the sky

They shine down on you and me

You, you baby are the moon of my heart

Yes all you have to do is believe

Senyum Laura melebar begitu lagu tersebut selesai dinyanyikan. Lagu Raatan Lambiyan dalam versi Inggris yang dinyanyikan oleh Emma Heesters, yang kadang Laura dengarkan ketika sedang sedih. Senyum Laura yang manis itu langsung menusuk Marvin, jantung berdebar kencang penuh gembira. "Wow, keren. Suara kamu merdu, Vin." Puji Laura yang kian membuat jantung Marvin hampir lepas. Keduanya pun saling bergurau satu sama lain, hingga menjelang senja. Marvin pun mengantarkan Laura dan menawarkan diri untuk menjemputnya besok pagi, Laura pun mengiyakan tak membantah sedikitpun.