Aku bahkan tak pernah peduli pada dunia yang menaungi diriku.
Tapi kau… seperti dunia baru yang sangat penting untukku.
Kau… dan hanya dirimu…
***
Arra memilih untuk duduk di kursi yang berada di beranda penginapan milik Harbert. Satu cangkir teh hangat yang diseduh oleh pria tersebut menjadi teman untuk Arra sementara dia menunggu kedatangan Arrio di tempat ini.
Sambil menyandarkan punggungnya pada kursi yang cukup nyaman. Kedua mata gadis itu menatap lurus ke arah jalanan malam kota Piraeus yang sangat indah sekaligus cukup ramai di akhir pekan. Banyak yang menghabiskan waktu dengan berkumpul di pantai dan menyalakan api unggun di beberapa area. Atau hanya berjalan – jalan dengan menggunakan motor sambil berboncengan mesra. Atau bahkan, duduk – duduk di beberapa kursi yang memang sengaja diletakkan di sepanjang jalur pantai untuk para pengunjung.
Rasanya sudah cukup lama. Bahkan sangat lama untuk Arra bisa merasakan angin malam dengan suasana pantai yang demikian indah juga tenang. Beberapa tahun terakhir, gadis itu disibukkan dengan semua kegiatan yang berhubungan pada perkembangan Kafe yang dia kelola. Bahkan dia hampir tak punya waktu untuk pulang ke rumah yang sebenarnya. Di mana kedua orang tuanya juga berada.
Tidak perlu sebenarnya, karena orang tuanya yang lebih sering pergi untuk mengunjungi dirinya beberapa kali dalam satu minggu. Lagipula, kesibukan mereka yang sering bepergian untuk urusan bisnis di luar negeri, membuat Arra jadi punya banyak alasan untuk mengosongkan waktu seperti sekarang.
Lama termenung dalam kesunyian dan sendiri, sebuah pesan yang masuk ke dalam ponselnya dan berisi pesan dari pegawai kafe yang memberitahukan bahwa mereka sudah akan menutup Kafe karena acara pesta yang telah selesai, membuat Arra sekejap sadar. Walau pun setelahnya, dia juga tetap merenung lagi dan hanyut dalam diam.
"Aku sudah mengirimkan pesan padanya, kalau kau ada di sini dan menunggunya datang," kata Harbert yang muncul tiba – tiba.
"Tidak perlu. Aku juga tak sengaja menunggu dia di sini, kok. Aku hanya sedang malas untuk segera pulang. Tak punya kegiatan lain setelah bekerja," kata Arra.
"Tak masalah. Kau bisa menghabiskan waktumu di sini. Mau makan camilan lain?" tanya Harbert.
"Ada mie instan? Aku sedikit lapar sekarang," tanya gadis itu lagi.
Harbert mengangguk dan segera masuk ke dalam untuk membuat pesanan Arra. Entah sudah berapa bungkus mie inistan yang dia makan selama satu mimggu terakhir. Kebanyakan dari makanannya sehari – hari memang selalu di isi dengan makanan siap saji. Arra cukup malas untuk sekedar memasak telur sebagai menu makannya sehari – hari.
Atau memasak nasi sebagai makanan utama. Dia juga tak menyukai roti atau makanan manis yang biasa dikonsumsi oleh orang Eropa kebanyakan. Sejak kecil, selera makan Arra memang cukup berbeda dari orang yang lain. Hanya menyukai makanan dengan cita rasa asin dan gurih yang jarang sekali ditemukan di wilayah Eropa yang banyak di dominasi makanan manis penggugah selera.
Kepulan asap dari sebuah mangkok kecil yang dibawa dalam nampan oleh Harbert menjadi tanda bahwa mie instan pesanannya sudah siap dimakan.
"Wooo! Makaann!!" seru Arra bahagia.
Srrkk!
Belum sempat Arra mengambil mangkok yang berisi mie instan kesukaannya. Arrio sudah lebih dulu sampai dan mengambil alih mangkok itu juga menyingkirkannya. Menjauhkan mangkok tersebut dari jangkauan Arra.
"Arrio! / Arrio!" baik Harbert dan Arra sama – sama berseru kepada Arrio.
"Kamu ngapain, sih!" tegur Arra dengan wajah kesalnya.
Dia bahkan langsung berdiri sambil berkcak pinggang di hadapan Arrio dan memajukan bibirnya yang mungil.
"Aku baru mau makan, Rio! Jangan macam – macam, nanti mangkoknya tumpah!" kesal gadis itu sekali lagi.
"Kau sudah banyak makan mie instan. Jangan diteruskan. Nanti lambungmu bisa bermasalah. Kau ini bagaimana! Kau bisa menyediakan banyak makanan lezat untuk orang lain, tapi kau justru abai dengan makanan yang harusnya kau konsumsi sehari – hari!" suara Arrio yang meninggi dan posisi mereka yang berada di luar rumah, membuat beberapa orang yang lewat di depan penginapan milik Harbert langsung menoleh dan memberikan atensi mereka ke arah keduanya.
Sampai Arrio yang tersadar kemudian mengulas senyum tipis, seolah mengatakan bahwa semuanya baik – baik saja. Dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan satu patah kata pun pada Arra lagi. Tentunya, sambil membawa mie instan yang dipesan oleh Arra sebelumnya.
Pria tersebut memasuki dapur dan menaruh mie instannya di atas lemari yang kemungkinan sulit untuk dijangkau oleh tubuh mungil gadis itu.
"Arrio, Demi Tuhan! Aku sedang lapar sekali sekarang. Aku butuh makanan untuk--"
"Akan ku siapkan makanan yang kau mau." Arrio menjawab tanpa menatap pada gadis yang sudah menatap kesal pada dirinya.
"Makanan apa? Aku hanya mau mie--"
"Mie instan itu bukan makanan, Arra. Dia hanya pengganjal lapar. Tapi bukan makanan yang bagus untuk dikonsumsi terus menerus. Apalagi oleh orang sepertimu yang selalu bekerja tanpa henti. Apa kau tahu maksudku?" balas Arrio dengan tak kalah sengit.
Arra menghela nafas. "Aku benar – benar sudah lapar. Aku tak mau menunggu lama untuk mendapatkan makananku sendiri, Arrio. Aku mohon…"
"Lima menit. Aku janji akan membawakan sebuah makanan yang lebih layak dalam waktu lima menit." Arrio memberikan janjinya kepada Arra.
Arra melihat mangkok mie instannya di atas lemari tinggi yang sulit untuk dijangkau.
Dia yang sudah terlanjur kesal dengan sikap Arrio yang seenaknya. Di tambah dengan mangkok mie instan yang sulit dari jangkauannya, membuat Arra menjadi lebih marah karena rasa lapar yang sudah menggerogoti perutnya.
Dia hampir saja keluar dan meninggalkan penginapan Harbert begitu saja, saat tangan Arrio menahan lengannya untuk kedua kali malam ini.
"Lima menit. Beri aku lima menit, ya. Kalau aku tak menyajikan apa pun. Akan ku buatkan kau mie instan paling enak yang pernah kau makan sekarang juga, atau kau juga boleh langsung pergi dari sini…" ujar Arrio mencoba menahan gadis itu pergi.
"Dua kali, Rio… dua kali." Arra mengatakannya sambil membalas tatapan pria tersebut. "Dua kali kamu udah buat aku kesal malam ini. Dua kali juga kamu udah menahan aku pergi seperti sekarang. Dan sekarang, kamu bahkan udah dua kali mengajukan sebuah alasan padaku. Yang sama sekali tak masuk akal," kata Arra.
"Aku tahu. Aku minta maaf…" ucap Arrio. "Tapi sungguh, lima menit."
Arra pasrah. Dia tidak menjawab tapi melepaskan lengannya dari genggaman Arrio sebelum kemudian duduk di beranda lagi bersama Harbert yang sejak tadi ada di sana.
**
Wajah murung Arra yang tertangkap oleh Harbert, hanya ditanggapi sebuah senyuman oleh pria paruh baya tersebut.
"Dia sedang memberikan perhatian terbaiknya untukmu, Nona…"
"Perhatian apa? Dia benar – benar menyebalkan. Kau tahu, untuk ukuran seorang pria yang baru saja aku kenal selama satu bulan. Ini sudah masuk dalam taraf kurangajar. Dan dari penilaianku sebagai seorang teman, dia benar – benar tak punya perasaan. Bagaimana mungkin dia membiarkan temannya kelaparan, meski hanya satu menit? Ini malah, minta aku untuk menunggunya selama lima menit. Memangnya, makanan apa yang bisa dibuat dalam jangka waktu yang singkat begitu?" gerutuan terus keluar dari bibir kecil Putri.
Tatapannya masih lurus ke arah jalanan.
Tapi tiba – tiba saja Harbert pergi dan masuk ke dalam, bersamaan dengan kehadiran Arrio yang membawa satu telur mata sapi nasi panas yang diberikan kecap manis juga beberapa potongan cabai di atasnya.
"Makananmu sudah siap, Nona…" kata Arrio.
Arra terkesiap. Bibirnya bahkan belum menutup sempurna setelah mengoceh dengan kesal soal sikap Arrio barusan. Dan sekarang, pria itu sudah duduk di sebelahnya dengan sebuah piring besar berisi dua telur mata sapi dan juga nasi panas yang menggoda.
Tapi gengsi Arra sebagai wanita rupanya masih lebih besar daripada rasa laparnya sendiri. Hingga bukannya mengambil piring dari tangan Arrio. Arra justru memalingkan wajah dan bersikap acuh pada ucapan sang lelaki.
"Kau sudah melupakan rasa laparmu?" tanya Arrio.
"Aku mau pulang!" seru Arra dengan suara tegas dan penuh keyakinan.
"Kalau hitungan waktu ku tepat. Seharusnya aku belum melewati lima menit dari waktu yang aku janjikan padamu, bukan?" kata Arrio lagi.
Arra masih diam. Dia masih mempertahankan rasa kesalnya. Yang sialnya, tak sejalan dengan suara perut yang mulai bergejolak karena mencium aroma sedap dari masakan Arrio.
'Kruyukkk!'
Arrio mengutas senyuman di wajahnya.
"Kau tahu tidak? Aku sudah sangat lapar sampai perutku berbunyi itu gara – gara siapa? Seharusnya, perutku sudah tak bersuara dan tak merasakan lapar lagi sekarang. Tapi kau justru membuat aku--"
Happ!
Satu suapan nasi dengan telur masuk ke dalam mulut gadis itu. Suapan kecil yang memperkenalkan sebuah citarasa hebat dari sebuah masakan sederhana yang dibuat oleh Arrio dengan sepenuh hatinya.
***