Kedua orang tua Miki membawa Miki memasuki rumah mereka. Miki melihat ke sekeliling rumah berharap dia dapat mengingat sesuatu. Tapi dia hanya melihat lembaran kosong dalam ingatan yang telah terhapus. Miki tidak dapat menginggat sedikit pun tentang rumah ini.
"Miki ini ruang tamu," kata ayahnya sambil memperlihatkan ruang tamu yang terdiri dari 1 sofa panjang dan 2 sofa pendek yang melingkari meja kaca. Di pojok ruangan itu terdapat sebuah piano. "Itu Pianomu. Kamu suka sekali bermain piano. Sejak berumur 5 tahun kamu sudah belajar piano. Kamu pernah memenangkan juara I."
Miki menghampiri piano tersebut. Ia meraba piano yang berdebu itu seperti sudah lama tak terpakai. Dia membuka piano tersebut dan menekan tutsnya.
"Sudah 2 bulan sejak kamu mengalami kecelakaan, piano ini tidak di pakai," kata ibunya sambil memegang piano itu.
"Apa nama kepanjanganku?"tanya Miki sambil duduk di kursi piano. Miki mencoba menekan tuts piano untuk mengurangi ketegangannya.
"Lorena Miki Sutanto," ujar ayahnya yang duduk di sofa sambil memperhatikan anaknya bermain-main dengan piano. "Kau tahu, saat kau berumur 5 tahun, kamu juga suka memainkan tuts piano seperti itu. Saat itu kamu senang sekali sampai-sampai tidak mau makan."
"Ayah, bisa tidak ayah panggil aku Loren saja,"minta Miki sambil menatap ayahnya.
"Kenapa?" tanya ayah Miki yang heran dengan permintaan anaknya itu.
"Aku hanya merasa nama Miki tidak enak didengar. Bukankah lebih baik aku pakai nama yang baru sampai ingatanku kembali,"ujar Miki.
"Terserah kamu saja, ayah tidak masalah kamu mau ganti nama apa saja, yang penting kamu tetap anak ayah," ujar ayahnya. "Ayah mau ganti baju dulu ya."
Ayah Miki naik ke kamarnya. Sementara Miki memainkan tuts piano, ibunya memperhatikan Miki dengan sedih.
"Ada apa Ma?" tanya Miki yang melihat muka ibunya sedih.
"Tidak apa-apa nak. Kamu lanjutkan saja permainanmu," ujar ibunya.
Miki hanya melihat pianonya dengan raut sedih. Dia sepertinya tidak menginggat dia bisa bermain pianonya. Dia tidak tahu bagaimana cara memainkan alat yang bernama piano ini.
"Ibu aku tidak dapat memainkanya lagi," ujar Miki. "Aku tidak ingat caranya bermain piano."
"Apa!" Ibu Miki kaget mengetahui anaknya tidak ingat caranya bermain piano.
"Bapak!" Panggil ibu Miki.
"Ada apa sih ma?" tanya bapak yang sudah keluar dari kamarnya karena mendengar istrinya memanggil.
"Miki pak…"
"Ada apa dengan Miki?" tanya bapak yang heran dengan sikap istrinya.
"Miki tidak bisa bermain piano lagi pak," ujar ibu Miki.
"Miki tidak bisa bermain piano," ujar ayah Miki yang kaget mendapat berita itu. "Tidak mungkin."
"Benar pak dia tidak ingat lagi cara bermain piano," ujar ibu Miki.
"Ya Tuhan, cobaan apa lagi yang kau berikan pada putri kami. Belum cukupkah dia kehilangan ingatannya," ujar ayah Miki yang sedih melihat putri satu-satunya itu.
"Ayah dan ibu jangan cemas. Aku tidak dapat main piano tidak masalah, asal bisa bersama kalian aku sudah bahagia," ujar Miki yang tidak dapat melihat kesedihan di mata kedua orang tuanya itu. Walau ia tidak ingat mereka tapi ia tahu kedua orang tuanya sangat menyayanginya.
"Ayo nak, ibu antar ke kamarmu." "Kamu sudah lelah kan," ujar ibunya sambil menuntun putrinya ke kamarnya.
Sampai di dalam kamarnya Miki melihat ke sekeliling. Dia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya tapi dia tidak tahu apa itu. Ia melihat foto yang ada di meja belajarnya. Di foto itu terdapat fotonya dengan seorang pemuda.
"Ini siapa bu," tanya Miki sambil menujuk lelaki di foto itu.
"Itu adikmu, Leo," jawab ibunya.
"Dia dimana bu," tanya Miki lagi.
"Dia sudah meninggal dalam kecelakaan yang menimpa kalian," jawab ibunya dengan sedih.
"Kecelakaan?"
"Apa kecelakaan itu yang membuatku hilang ingatan?," tanya Miki.
"Ya."
"Bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi bu?" tanya Miki dengan raut muka sedih. Dia merasa dia bersalah karena hanya dia yang hidup sementara adiknya meninggal.
"Kalian saat itu inggin pergi ke rumah temanmu. Saat di jalan Arif Rachman Hakim kalian tertabrak bemo yang rupanya sedang mengebut. Bemo itu menyebabkan mobil kalian terbalik dan masuk kedalam kali didekat jalan," jawab ibunya dengan sedih.
"Kecelakaan itu sebenarnya tidak terlalu berbahaya tapi karena keterlambatan orang yang menolong, adikmu terlambat diselamatkan. Andai mereka dapat menolongnya lebih cepat mungkin adikmu dapat diselamatkan."
Miki tidak melanjutkan pertanyaan itu lagi begitu melihat ibunya sedih. Ia mengelilingi ruangan itu dan melihat sebuah album yang tergeletak di kasurnya. Miki membuka album itu dan melihat foto masa kecilnya.
"Ibu! Ini aku ya," tanya Miki sambil menunjuk foto dirinya.
"Iya, ini kamu. Dulu waktu masih kecil kamu sangat cantik sehingga merebut perhatian banyak anak lelaki di sekolahmu," ujar ibu Miki sambil tersenyum. "Dulu kamu sangat bandel. Kamu suka manjat pohon bersama teman masa kecilmu. Dia selalu mengajakmu ke Taman Ria setiap sabtu. Dan kamu selalu terlihat senang saat hari itu datang."
"Sekarang anak itu dimana," tanya Miki yang tertarik dengan cerita ibunya.
"Saat kamu berumur 10 tahun, ayahmu dipindah tugaskan ke kota ini. Sejak itu kalian tidak pernah bertemu. Mungkin sudah lima tahun lebih kalian sudah tidak bertemu," jawab ibunya. "Sekarang kamu tidur saja."
"Baik bu."
Ibu Miki ke bawah dan membiarkan Miki tidur.