21. Gabriella dan Rezil

 

Selesai memarahi Gabriella, Aldo pun pergi ke kamar. Indira yang menyaksikan itu semua perlahan mulai mendekatinya.

"Nak—"

"Jangan sentuh aku! Jangan pernah menyentuhku dengan tangan kotormu itu!" potongnya dengan emosi menggebu-gebu.

"Kau—"

"Irena!" Indira sontak menyela. Menggelengkan kepala agar anaknya tidak lagi berbicara.

"Mama apa-apaan sih?! Dia itu udah keterlaluan sama Mama!"

Tapi seolah tak peduli suasana, Gabriella langsung beranjak ke lantai dua. Dihiasi air mata yang jatuh ke pipi, pintu kamar di banting dengan emosi.

Sungguh dirinya sakit hati, walau perih di pipi cukup menyiksa, tapi remuk di perasaan benar-benar memukulnya.

Lagi dan lagi Aldo menamparnya, seolah-olah labelnya sebagai putri kandung tak ada artinya. Gabriella bertanya-tanya, jika ia mati apakah papanya akan menyesali semuanya? Mengingat tangis histeris pria itu di kala sang istri meninggal, memudar dalam tiga hari dan tergantikan oleh kehadiran wanita baru sebulan kemudian.

"Aku bersumpah takkan pernah memaafkan kalian semua!" geramnya sambil mencengkeram bantal.

Esok harinya suasana di SMA Astoris Panama dihebohkan dengan jam kosong dari istirahat sampai pulang. Rapat yang tiba-tiba di adakan membuat banyak murid memilih meninggalkan sekolah.

Begitu pula Kaia dan Gabriella.

Keduanya menikmati waktu di cafe dengan canda dan tawa walau itu tidak berlangsung lama.

"Jika kamu tersiksa, kenapa gak tinggal di rumah nenekmu saja? Lagi pula keluarga ibumu sangat menyayangimu kan?"

Pertanyaan yang diajukan mengundang ekspresi rumit di wajah Gabriella. Sesekali tangannya sibuk memainkan sedotan, dan lawan bicara terlihat mengunyah kentang goreng dengan penampakan tak berminat.

"Gue maunya juga begitu. Tapi, gue gak bisa pergi begitu aja. Karena kalau gue lakukan mereka bakalan semakin semena-mena. Gimana pun rumah itu tetaplah peninggalan nyokap gue jadi gue gak sudi mereka yang menguasainya."

Begitu menggebu-gebu, bahkan raut muka sinis ikut terpatri di sana. Seketika wajah cantik Gabriella berubah aneh di mata sahabatnya. Dan kerutan di dahi memenuhi tanggapan Kaia.

"Apa?" bingung tuan putri Ahmadia melihat respons gadis di depannya.

"Gak ada. Hanya saja, itu berarti kamu punya kuasa buat mengusir mereka ya?"

Gabriella terkesiap. Berbeda dengan Kaia yang sekarang melirik ke luar jendela, temannya itu masih menatap lekat sosok yang berbicara.

"Lo— kok lo bisa bicara kayak gitu? Padahal gue gak pernah mikir ke sana," senyum semringah tiba-tiba berkobar di bibir Gabriella.

Lagi-lagi dahi mengernyit yang dipamerkan Kaia. Seolah tak begitu peduli dengan tanggapan sahabatnya, tapi lambat laun senyum tipis pun tersungging di bibirnya.

"Udah dapat pencerahan ya? Senyumnya lebar banget."

"Tahu aja lo! Makasih banyak, Kaia!" tangannya tak luput mencubit pipi pucat sosok berambut coklat itu.

Berbeda dengan Gabriella yang polesan wajahnya agak merona, walau salah satu pipi tampak memar akibat tamparan sang kepala keluarga, namun Kaia benar-benar berbeda.

Kulitnya putih pucat, bibir kemerahan murni tanpa pewarna, alis terstruktur sambil diiringi bulu mata panjang melentik nan indah. Tahi lalat di bawah mata kiri, lekukan hidung yang menawan dan tinggi, juga jangan lupakan beberapa tindikan di telinga kiri.

Jika tidak diperhatikan secara saksama, tak akan ada yang menyadarinya.

Seandainya harus diibaratkan pesona mereka, Gabriella adalah gadis yang sangat cantik dan juga menggoda.

Sedangkan Kaia, dia memang sangat cantik dan manis secara bersamaan, akan tetapi tatapan mata yang lembut itu membuat para pemuja begitu ingin melindunginya. Seperti bunga rapuh jika dibiarkan tanpa pengawasan.

"Omong-omong Kai, gue mau cerita sama lo."

"Cerita apa? Bukannya dari tadi udah cerita ya?"

"Lo!" jengkel Gabriella mendengarnya. Tapi ia hilangkan itu semua lewat embusan napas kasar. Sekarang sorot matanya benar-benar terlihat serius.

Kaia yang menyaksikan hanya memiringkan kepala.

"Gue kan dipaksa bertunangan, menurut lo gimana cara yang paling tepat buat batalinnya? Gimana pun gue tahu tipe si brengsek itu. Dia gak bakalan pernah dengerin gue, jadi cuma gue sendiri yang bisa diharapkan buat hancurin tuh pertunangan."

Terdengar lucu sebenarnya. Saat Gabriella mengatakan 'brengsek' untuk menyebut ayahnya. Tapi tak mungkin Kaia tertawa begitu saja. Ia memilih memfokuskan mata untuk menatap kentang goreng di depannya.

"Kai, lo denger gue gak sih?"

"Iya, aku denger kok."

"Terus gimana? Lo kan sahabat gue, pasti bisalah kasih masukan sebagai penasihat terbaik gue."

Tawa pelan langsung tersembur dari mulut Kaia. Tak peduli jika decak kasar disematkan Gabriella untuknya, kalimat barusan jelas-jelas cukup menghibur.

"Jadi, kamu mau batalin pertunangan tapi gak digangguin om Aldo ya?" Gabriella pun menggangguk dengan cepat. "Ya udah. Bikin ilfil aja cowoknya. Kalau perlu keluarganya kamu bikin jijik sama kamu. Gampangkan?"

Gabriella pun terdiam mencerna ucapan barusan. Walau membisu, sudut hatinya memang setuju dengan lirihan Kaia. Lagi pula jika dirinya sangat ingin membatalkan rencana pertunangan itu memang tak ada yang sebaik pihak sana langsung mendepaknya.

Seringai akhirnya tercipta karena rasa puas Gabriella atas jawaban sahabatnya.

Di satu sisi, wajah tak bersahabat jelas terpampang di wajah Rezil Amar Sargio. Sering berdecih sambil atensi teralihkan pada langit-langit ruangan.

Sebuah kediaman dari rumah kayu berlantai dua, namun banyak motor terparkir di halamannya. Dan juga dua buah mobil bercorak hitam metalik dengan harga lumayan mahal.

Di ruang tamu terlihat banyak remaja laki-laki memakai seragam sekolah berbeda-beda. Ada lima jenis termasuk SMA Astoris Panama dan Astrada, namun mereka tampak akur-akur saja.

Dan sosok yang terlihat jengah sekarang berada di sebuah kamar di lantai dua.

"Lo kenapa?" suara yang muncul tiba-tiba dari anak muda tengah memegang gagang pintu terlihat. Tak ada balasan dari tokoh yang ditanya sehingga perlahan pendatang itu masuk dan berdiri di samping ranjang. "Lo tadi bolos?"

Rezil masih enggan menjawabnya. Cowok yang menonton kebungkaman temannya akhirnya bersandar di pinggir jendela. Helaan napas pelan terlontar darinya sebelum kembali bersuara.

"Kalau lo ada masalah, cerita. Gue paling males sama orang yang uring-uringan."

"Gue bakal dijodohin," jawaban yang sejak tadi diharapkan akhirnya terdengar. Tapi cukup mengejutkan karena sang pendatang tersenyum entah apa artinya. "Sial!" umpat Rezil tiba-tiba.

Bahkan tangannya ikut memukul ranjang akibat kekesalan yang dirasa.

"Segitunya. Siapa? Cantik gak?" Respons menyebalkan itu dihadiahi tatapan tajam sang pendengar. Bukannya bisa menenangkan diri, pendatang yang sekarang duduk di bibir jendela terbuka seakan menyiram minyak ke dalam api. "Kenapa lihatin gue kayak gitu? Jelek?"

"Cantik."

"Ho, bagus dong. Lanjut aja."

"Diam lo!" kesal Rezil akhirnya. Tapi pemuda bernama Zayuno Araja itu malah terkekeh pelan. Sepertinya menyaksikan wajah jengkel temannya memang merupakan kesenangan tersendiri baginya.

"Kenapa sih? Seharusnya lo bersyukur kalau lo dijodohin sama cewek cantik. Nikmati aja dulu, kalau bosan bisa lo buang kan?"