BAB 2 PENGUASA SEKOLAH

"AMRAN, BAYU, BONDAN BERHENTIII!!!"

Pletak! Bayu sengaja menoyor kepala Amran sehingga membuat laki-laki tersebut meringis.

"Kok lo pukul gue sih? Salah gue apaan?" Amran merasa tidak terima dengan perlakuan Bayu.

"Gara-gara kentut lo yang suaranya kayak gong, Bu Cici jadi ngelihat kita," kata Bayu.

"Jangan salahin gue dong! Salahin kentut gue. Mana bisa kentut kok ditahan-tahan. Lo mau tanggung jawab kalo gue masuk RS gegara gabisa kentut?"

Bondan mengusap wajahnya kasar. "Kok malah bahas kentut sih? Tuh lihat, Bu Cici udah lari-lari mau nyamperin kita."

"Bakal masuk kandang buaya lagi kita, Men" lirih Bayu.

"Bukan kandang buaya, tanpa kandang kotorannya monyet," timpal Amran.

"Kenapa jadi sampai monyet?" heran Bayu.

"Lo lihat aja nanti. Kita pasti disuruh ngebersihin toilet. Bosen banget sumpah! Mending kalo toilet cewek, lah ini disuruh toilet gurut euy!" cerocos Amran panjang lebar.

"Hubungannya sama monyet apaan?" bingung Bayu.

"Kan, kelihatan banget kalo sering bolos pas jam sejarah," ejek Amran. "Monyet itu nenek moyang manusia. Berarti kotorannya manusia juga sama dengan kotorannya monyet dong. Si monyet kan sesepuhnya manusia. Kayak si eluu."

"Enak ajaa! Elo tuh yang keturuan jurig tiga turunan," Bayu balik mengejek.

Bondan menggeleng tak percaya. Bisa-bisa mereka berdua sempat berdebat hal konyol saat situasi genting seperti ini.

"KALIAN BERTIGA KE SINI SEKARANG!" seru Bu Cici sambil berkacak pinggang.

"Bersihkan toilet guru semuanya!" tegas Bu Cici saat ketiga murid badung di sekolahnya berada di hadapannya.

"Bosen ah bu. Toilet guru mulu. Kali-kali toilet cewek napa?" keluh Amran.

"Berani kamu sama saya?!" tanya Bu Cici.

"Gini loh, Bu. Habis ini masih ada dua temen kita yang bakal masuk lebih telat dari kita. Ntar aja deh kalo duo bos udah datang—"

"Mereka berdua sudah datang. Kalian bereskan WC lebih dulu. Saya mau urus mereka berdua," titah Bu Cici saat melihat Revan dan Fathur berjalan santai melewati lorong kelas.

"Kenapa kalian berdua selalu terlambat ke sekolah. Apalagi alasannya?!"

"Mager," jawab Revan santai.

Baju yang tidak dikancingkan, memperlihatkan kaos hitam yang Revan kenakan. Penampilan Revan terkesan sangat tidak rapi. Berbeda jauh dari Fathur yang mengenakan seragam lebih rapi dengan dasi yang sudah terpasang di kerah seragamnya.

"Yang sopan kalo bicara sama guru, Revan!" cetus Bu Cici.

"Saya cuma ngikutin sikap ibu aja," sahut Revan membuat wajah Bu Cici memerah karena menahan emosi.

"Susul ketiga teman kalian! Jangan kembali ke kelas sebelum toilet benar-benar bersih!" tanpa menunggu waktu lama, Bu Cici meninggalkan kedua murid nakal di hadapannya dengan perasaan kesal.

"Gimana?" tanya Fathur pada Revan.

"Cabut," Revan berjalan kemudian disusul oleh Fathur.

Meski Revan adalah cucuk pemilik yayasan, ia tetap bersikap professional. Karena Revan melakukan kesalahan, ia juga akan melakukan hukuman seperti teman-temannya.

"Bang Revan!"

Panggilan tersebut membuat Revan dan juga Fathur menoleh. Dari arah ruang guru, David—ketua OSIS SMA Andalas berjalan mendekati Revan.

"Apa? Mau ngasih hukuman tambahan?" tanya Revan yang dijawab gelengan kepala oleh David.

"Gue nggak sekejam Bu Cici kok, Bang" kekeh David. "Ini, mau ngasih formulir buat pemilihan lokasi field study. Minta tolong kasih ke temen sekelasnya Bang Revan."

Revan melirik sekilas tumpukan formulir yang dibawa David, kemudian berkata. "Kasih ke Fathur. Dia ketua kelasnya."

"Kapan pengumpulannya?" tanya Fathur setelah menerima formulir.

"Maksimal minggu depan, Thur. Diusahakan jangan ngaret ya?" ujar David nampak dipahami oleh Fathur.

"Ada lagi?" tanya Revan.

"Ada," jawab David cepat. "Besok lo usahain jangan telat masuk sekolah ya, Bang. Jangan bolos juga."

Revan mengangkat sebelah alisnya. Tidak mengerti dengan perintah dari David.

"Ikuti aja permintaan gue. Gue jamin lo gabakal nyesel tujuh turunan, Bang. Okeoke?!" David mengacungkan kedua jempol tangannya, kemudian berlalu pergi dari hadapan Revan dan Fathur.

Tidak ingin berdiam diri karena memikirkan ucapan David, Revan kembali melanjutkan langkahnya. Ia bukan tipe orang yang rela menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan sesuatu yang tidak jelas. Dan tidak penting juga baginya.

***

"Revan kok bisa ganteng banget gitu sih? Temenan sama Fathur lagi. Tambah meleyot gue lihat mereka berduaaa …."

"Iya ganteng. Tapi mulutnya pedes gitu …."

Baru saja selesai membersihkan toilet dan hendak berjalan ke kelasnya, Revan sudah dihadiahi bisikan-bisikan dari beberapa siswi yang tidak sengaja ia lewati.

"Revan mulu yang dighibahin. Guenya kapan coba?" heran Amran sambil menyisir rambutnya ke belakang.

"Muka pas-pasan itu jangan sok tinggi harapannya. Udah deh lo jadian aja sama Camelia. Kali aja gue bisa akur sama dia kalo taken sama temen gue sendiri," kata Bayu dengan satu tangan yang menenteng ember.

"Lah, si Onta aja gapernah mau ngelirik gue, Bay"

"Disalonin dulu tuh muka. Biar kayak si Camel," sahut Bondan ikut menyahut.

"Bener tuh kata Bondan. Doi lo kan hobi nyalon, coba deh lo ikutan nyalon juga. Biar muka lo glowing," Bayu berujar sambil membayangkan Amran pergi ke salon.

"Tapi doi lo sukanya sama Revan. Masih mau maju lo, Ran?" tanya Bondan memastikan.

"Gapapa. Selagi janur kuning belum melengkung, siapapun masih berhak menikung bray!" seru Amran bangga.

"Jadi sadboy kok bangga," celetuk Fathur membuat Amran seketika menutup mulutnya.

"Mending lo diem aja kayak Revan deh, Thur. Pedes amat tuh mulut dah," ucap Amran, sudah hapal dengan sikap Fathur.

"Assalamualaikum ughteaaa!" seru Bayu saat memasuki kelasnya.

"BAYU JANGAN MASUK KELAS DULU! SEPATU LO KOTOR! AMRAN JUGA GABOLEH MASUK!" seru Thalia—wakil ketua kelas IPS 1.

"Nanti gue pel lagi deh, Thal" kata Amran.

"Bohong banget! Mana ada sejarahnya Amran ngepel kelas!"

"Jangan galak-galak dong, Thal. Cepet tua loh. Entar tambah gaada yang mau sama lo," timbal Bayu membuat Thalia melemparinya dengan tutup spidol.

"Fathur aja nggak keberatan kok. Kenapa lo yang sewot?" heran Amran karena Thalia selalu memarahinya dan juga Bayu.

"Fathur ketularan virus lo berdua. Virusnya Bondan juga, makanya jadi kayak gitu," kata Thalia.

"Lah, kok gue jadi keikut juga sih? Salah gua apa, Thal?" tanya Bondan.

"Banyak!" jawab Thalia. "Selain Revan dan Fathur, kalian bertiga bersihin diri dulu!" titah Thalia tidak ingin dibantah.

"Yahhh … mager Thal. Sumpah mager banget," keluh Amran. "Thur. Lo jangan diem—"

Amran tidak lagi melanjutkan ucapannya. Melihat tatapan tajam Fathur membuat nyalinya ciut. Jika sudah seperti ini, tidak ada lagi kompensasi yang bisa mereka dapatkan.

"Gue ikut cabut," kata Revan berjalan lebih dulu keluar kelas.

"Heh! Revan nggak boleh—"

"Lo nggak bakal bisa ngebuat dia berhenti," kata Fathur yang sudah duduk di bangkunya.

"Penguasa sekolah secara mutlak. Nggak ada yang bisa nyegah Revan melakukan apa yang dia inginkan."

Revan. Sosok laki-laki tampan yang menyabet gelar most wanted di SMA Andalas. Cucu pemilik yayasan, berwajah tampan, otak yang cemerlang. Seakan tidak ada kelemahan yang Revan miliki. Selain kenakalan Revan yang terbilang diluar batas.

"Ntar malem nge-club nggak, Van?" tanya Bondan setelah menyalakan rokok dan mulai menghisapnya.

"Nggak dulu," tolak Revan.

"Kenapa, Bos? Lagi nggak mood apa gimana?" Bayu ikut bertanya.

"Kalian semua pada lupa?" pertanyaan Amran membuat Bondan dan Bayu mengernyit.

"Besok tanggal 1 September cuy!" sambung Amran menunjukan kalender di ponselnya.

"Anniv ke berapa, Bos?" tanya Bayu setelah memahami kondisi.

Enggan mengeluarkan suara, Revan menunjukkan dua jarinya. Membuat ketiga temannya mengangguk paham. Selain tanggal 1 September, ada beberapa hari yang membuat Revan berubah menjadi sangat pendiam dan malas melakukan banyak aktivitas.

"Gue kangen sama lo …" gumam Revan dengan kedua mata tertutup.

Sudah lebih dari satu tahun Revan mencoba untuk melupakan seseorang yang sudah lama meninggalkannya, namun tidak juga berhasil. Bukannya lupa, Revan justru semakin mencintainya.

"Iya. Semuanya salah gue. Gara-gara gue lo jadi pergi."

***