Dentuman musik dengan suara keras menggema di setiap sudut ruangan. Di tengah ruangan ada beberapa wanita dengan pakaian seksi sedang menari di bawah lampu remang-remang.
"Malam apaan sih sekarang?" tanya Amran menyenggol lengan Bonda.
"Selasa," jawab Bonda setelah meneguk minuman pada gelas ketiganya.
"Pantes aja yang joget udah tua-tua," komentar Amran melirik para wanita yang sedang berjoget di tengah ruangan.
"Emang kenapa kalo Selasa?" tanya Bayu.
"Kata emak gue, Selasa sama Sabtu itu hari yang keramat. Nggak baik buat keluar-keluar," ujar Amran sambil mengaduk minuman di depannya.
"Lupa gue kalo sekarang malem Selasa. Nggak dapat penyemangat dong gue jauh-jauh ke sini. Ciwi-ciwinya burem semua."
"Halahh! Sok banget luu. Muka juga burem kok pake acara ngehina segala," ejek Bondan.
"Burem-burem gini gue banyak yang suka tauuu," sahut Amran.
"Banyak yang suka PHP-in lah baru bener," Bayu tertawa kepas setelah berhasil membuat Amran kalah telak.
"Makanya, Ran. Kalo mau deketin cewek itu kabar-kabar dulu sama gue. Biar bisa gue training dulu," ujar Bonda pada Amran.
"Dasar elu-nya aja yang sok sibuk. Kemarin pas gue mau deketin Yulia, lo bilang nggak bisa bantu. Eh, tiga hari setelahnya Yulia jadi cewek lu. Nggak pren banget Bon jadi temen gue," tutur Amran mencurahkan isi hatinya.
"Udah putus kok gue sama dia," kata Bondan santai. "Sana ambil aja kalo mau."
"Ogah banget! Gamau gue pake bekasan lo. Pasti udah lo grepe-grepe dulu," tolak Amran mentah-mentah.
"Yulia juga nggak bakal mau sama elu kali, Ran" sahut Bayu tak kalah enteng.
"Sok tau banget elo, Bay. Kenal Yulia aja enggak. Cewek di dunia ini yang lo kenal kan cuma Kayla dung," timpal Amran.
"Gausah bawa-bawa Kayla juga. Orang yang lagi diomongin Yulia kok," serobot Bayu tak terima.
"Tapi beneran deh, nggak betah banget pacaran sama Yulia. Baru sepersekian hari aja gue udah eneg sama dia," ucap Bondan membuat kedua temannya mengernyit.
"Ada apaan sama Yulia?" tanya Bayu penasaran.
"Lo berdua tau sendiri, kan, kalo Yulia itu sikapnya sebelas dua belas sama Camelia. Boros banget sumpah! Baru sehari jadian udah ngajak gue pergi ke mall."
"Terus-terus? Yulia minta lo bayarin belanjaannya?"
"Iyaa. Tapi enggak gue bayarin," jawab Bonda. "Pas dia pergi ke WC, gue langsung kabur dan blokir nomer dia dari hp gue."
"Lah. Itu yang paginya lo dilabrak sama Yulia sampai Thalita marah besar gara-gara lantai kelas kita kotor karena ulah Yulia?" tanya Amran dibalas anggukan oleh Bonda.
"Tuh Ran, lo harus bersyukur karena Tuhan udah baik sama lo. Dengan nggak deket sama Yulia, harga diri lo nggak bakal terinjak-injak sama cewek menye-menye kayak dia," tutur Bayu bijak.
"Tumben lo bijak," kata Revan terlihat baru saja bergabung.
"Wooilahh! Seger amat tuh muka, Bos! Habis wudu pake air jam-jam apa air ketuban tuh?" tanya Amran yang langsung mendapat geplakan dari Bayu.
"Kok lo kasar banget sih? Orang gue nanya ke Revan, kenapa elo yang sewot?" heran Amran.
"Mulut lo minta dijejelin kaos kaki sumpah!"
"Iri dengki banget lo Bay sama gue. Kenapa? Takut Kayla oleng ke gue gara-gara kelamaan nunggu lo peka?"
"Ngomongin Kayla sekali lagi, gue tonjok tuh mulut ember lo!"
Melihat pertengkaran temen-temannya tidak membuat Revan terkejut. Hari ini Fathur tidak bisa ikut nongkrong karena ada urusan yang katanya penting. Sepertinya Revan tidak akan berlama-lama di club malam ini.
"Minum apa, Van?" tanya seorang bartender.
"Biasa, Bang" jawab Revan yang segera diangguki oleh bartender tadi.
Setelah minumannya datang, Revan mulai meneguknya sedikit demi sedikit. Jika sedang dalam kondisi baik, ia tidak akan over menghabiskan minuman di club seperti ini. Seperti sekarang, Revan sudah merasa bosan di lima menit pertamanya.
"Bos! Mau ikutan joget nggak? Happy-happy dulu sebelum besok ulangan ekomoni!" seru salah satu dari temannya yang sudah berada di dekat panggung.
Revan tampak menggeleng pelan. Ia tidak pernah berminat melakukan hal-hal semacam ini. Meski banyak wanita yang sejak tadi terlihat sudah mengincar Revan, tapi ia memilih diam dan mengabaikan mereka.
Jijik sebenarnya berada di tempat seperti ini. Tapi Revan tidak bisa berbohong jika terkadang pikirannya bisa tenang dengan pergi ke tempat yang kata Bondan dapat menghilangkan beban hidup dalam semalam.
"Mau tambah lagi nggak, Van?" tanya sang bartender saat melihat gelas Revan sudah kosong.
"Nanti dulu, Bang" jawab Revan.
Revan sedang berpikir kemana ia akan pergi setelah pulang dari sini. Ke rumah? Tentu saja tidak. Revan terlalu bosan berada di rumah sendirian. Ia lebih sering pulang ke apart dan mengajak teman-temannya untuk menginap di apartemen miliknya.
Baru saja Revan akan berdiri dari duduknya, langkahnya terhenti saat melihat kedatangan beberapa gadis yang tidak asing dari penglihatannya. Seketika hal tersebut membuat Revan kembali duduk. Memilih rencana terbaik untuk menghabiskan malam ini tanpa ada kata sia-sia.
***
"REVAN LAKNAT!"
"HOBI BANGET BIKIN ANAK ORANG JANTUNGAN!"
"NGESELIN BANGET SIH JADI ORANG! COBA AJA KALO GA GANTENG. UDAH HIHH DARI DULU-DULU!"
Aeelin tidak juga berhenti mengomel sejak ia selesai bekerja. Hari ini Aeelin tidak pulang bersama Mbak Mel. Melainkan bersama Gina, Lula dan Kayla. Tadi sekitar lima belas menit sebelum pekerjaan Aeelin selesai, Kayla mengajaknya untuk jalan-jalan malam.
"Revan habis ngapainin lo sih, Ai? Baparin lo apa gimana?" tanya Gina yang duduk di jok belakang.
"Habis digelendotin sama Camelia, masa terus baperin gue coba? Kan kesel gue-nya. Mana tadi Revan diem aja pas Camelia nempel-nempel lagi. Hihhh!" kesal Aeelin tiada henti.
"Cembukur nih yeee! Makanya buruan balikan aja, Ai" sahut Lula mengompori.
"Jangan nunggu Revan yang ngajak balikan. Lo duluan yang minta juga nggak papa kok," sambung Kayla sembari mengemudikan mobil.
"Gabisa gabisa. Gue nggak bisa balikan sama Revan," elak Aeelin menggelengkan kepalanya.
"Rasa bersalah gue sama masa lalu itu belum bener-bener ilang. Gue nggak mau menjalin hubungan tapi gue-nya sendiri nggak tenang."
"Pelan-pelan dibuangnya. Minta temenin sama Revan, biar elo nggak sendirian," kata Kayla melirik sekilas Aeelin yang duduk di sebelahnya.
"Iya tuh bener kata Kayla. Kalo lo ngelupainnya sendirian, bakalan susah lupanya, Ai" ujar Lula menyetujui saran Kayla.
"Emang sebenarnya lo udah ngelakuin apa sama Revan? Kok sampe segitunya banget trauma lo," heran Kayla.
"Ninggalin Revan pas lagi koma. Nggak ijin juga. Makanya Aeelin jadi ngerasa bersalah kayak gitu," Gina langsung menyahut.
"Loh. Revan pernah koma? Kapan? Kenapa bisa sampe koma? Terus apa hubungannya Revan koma sama Aeelin?" tanya Lula beruntun.
Kali ini Gina memilih diam. Membiarkan Aeelin menentukan pilihannya. Kapan Aeelin akan mau membuka mulut dan berbagi kisah dengan teman-teman barunya.
"Revan kecelakan sepulang jemput gue les," kata Aeelin setelah berdiam diri cukup lama.
"Lawannya sama-sama motor. Revan dapat sembilan jahitan di tubuh dia karena kecelakaan itu. Kepala dia juga kebentur batu jadi sempet divonis amnesia. Jantungnya kena masalah karena Revan jatuh ke jurang dan ketusuk sama potongan kayu."
"Pertama gue lihat kondisi Revan, semuanya merah darah. Nggak ada satu bagian tubuh dia yang enggak kena darah. Napas Revan waktu itu bener-bener nggak berarturan. Gue sendiri sampe gatau harus ngelakui apa selain nangis."
Mendengar Aeelin bercerita membuat ketiga temannya terdiam. Beruntung Kayla sudah menghentikan mobilnya sehingga ia bisa lebih fokus mendengarkan cerita Aeelin.
"Selama Revan ditangani dokter, setiap hari gue datang buat nemenin dia. Ngelihat dia dan ngajak ngobrol dia, walaupun enggak ada balasan suara sama sekali."
"Sampai saat dokter bilang kalo Revan butuh donor jantung karena jantung dia belum bisa pulih. Gue bingung. Keluarga Revan juga. Om sama Tante dia udah pontang-panting nyari pendonor jantung buat Revan."
"Dan tiga hari setelah itu, orangtue gue pulang ke Indonesia. Mereka lihat kondisi gue yang kacau dan punya pemikiran kalo gue trauma gara-gara lihat kondisi Revan. Mereka berpikir kalau gue stress dan ngerasa bersalah karena Revan kecelakaan setelah nganterin gue pulang."
Aeelin mencoba menghirup udara sedalam-dalamnya dan mengeluarkannya secara perlahan. Dadanya mulai terasa sesak mengingat kejadia dua tahun yang lalu.
"Jadi … dulu sebenarnya lo nggak se-negatif thinking kayak gini pas awal-awal Revan kecelakaan?" tanya Kayla pelan.
Aeelin menggeleng. "Gue mulai kepikiran setelah orangtua gue bawa gue ke UK. Setiap ucapan yang mereka bilang ke gue, lambat laun ngebuat gue ngerasa kalo dengan pindahnya gue ke UK adalah pilihan terbaik."
"Gue mulai berpikir kalo adanya gue di deket Revan cuma ngebuat Revan terluka. Pikiran gue setiap hari hanya sebatas menyalahkan diri gue sendiri atas apa yang menimpa Revan. Lama-lama gue jadi mikir kalo dengan cara gue jauh dari Revan, bisa buat Revan lebih bahagia."
Jadi sebenarnya, Aeelin mempunya pikiran seperti saat ini karena kesalah pahaman yang dirasakan oleh kedua orangtuanya. Mereka yang awalnya salah mengartikan kondisi Aeelin saat melihat keadaan Revan di rumah sakit yang tidak juga membaik.
"Berarti lo cuma belum terbiasa aja, Ai" kata Kayla membuat Aeelin menoleh.
"Kalo lo terbiasa deket sama orang yang ngedukung lo balik ke Revan, ngebantu lo buat enggak nyalahin diri lo sendiri, gue rasa lo bakal lepas dari rasa bersalah lo sama kejadian yang menimpa Revan," tutur Kayla.
"Nah! Setuju tuh gue sama Kayla," seru Lula ikut menanggapi. "Mumpung lo lagi jauh dari orangtua lo, jadi bisa buta ngereseat otak lo gitu. Biar enggak neting terus."
"Nggak baik juga tau Ai nyalahin diri sendiri kayak gitu. Ngeganggu mental lo juga," imbuh Gina.
Aeelin mengangguk paham. Mengucapkan banyak terimakasih pada teman-temannya. Ternyata pepatah itu memang benar. Aeelin merasa lebih lega setelah meluapkan uneg-uneg yang selama ini ia pendam sendirian.
***