Rasa yang Sakit

"Ih, Marko. Kamu kok malah mengabaikan aku sih."

"Kamu bisa gak sih ngomong seperti itu tidak di tempat umum? Apa kamu lupa perjanjian yang sudah kita buat?"

"Kenapa? Kamu tidak terima kalau Debi mendengarnya?"

"Tidak usah bawa-bawa Debi. Ini masalah kamu yang tidak mengingat perjanjian yang sudah kita buat."

"Habisnya aku kesal sama kamu, Marko. Lihat, gara-gara kamu menyuruhku mencari kunci mobil kamu di toilet cowok. Aku jadi terluka seperti ini, dan kamu sama sekali tidak mengkhawatirkan aku."

"Itu salah kamu sendiri yang tidak mau hati-hati."

"Kok salahku sih. Jelas-jelas kamu yang salah."

Marko yang lelah menghadapi Maya, membuat Marko melangkahkan kakinya pergi.

"Marko, kamu mau kemana? Aku belum selesai bicara sama kamu."

Meski Marko mendengar suara teriakan Maya, namun Marko memilih untuk terus melangkahkan kakinya.

"Sepertinya tebakanku benar," kata Lidya yang berjalan mendekati Maya bersama Mira.

"Maksud kamu, tebakan kamu benar bagaimana?"

"Kalau Marko itu tidak pernah suka sama kamu. Mungkin dia jadian sama kamu karena ingin memanfaatkan kamu."

"Tidak mungkin. Marko jadian sama aku bukan karena dia ingin memanfaatkan aku."

"Kalau tidak. Kenapa dia tidak memperdulikan kamu saat kamu terluka seperti ini? Seharusnya kamu buka mata kamu, Maya."

"Aku yakin Marko bisa berubah seperti itu gara-gara Debi. Aku akan membuat perhitungan sama dia."

Maya mengepalkan tangannya. Tatapannya melihat ke dalam kelas. Jika saja di dalam kelas tidak banyak orang. Mungkin Maya sudah melabrak Debi.

Di dalam kelas yang ramai. Debi duduk termenung seorang diri. Ucapan Maya terus terngiang di telinga Debi. Debi merasa sedih mengingatnya.

"Jadi Maya dan Marko sudah jadian? Sejak kapan mereka jadian?"

Entah kenapa. Tiba-tiba hati Debi terasa sakit. Seperti ada sesuatu yang menusuk di dalam sana. Ini pertama kalinya Debi merasakan itu. Sakit dan juga sesak berkecamuk di dalam hati. Jika mungkin Debi tidak ingat tempat. Debi sudah menangis sejadi-jadinya.

Brakkkk

Marko membanting pintu mobil dengan keras. Mengabaikan Rafa yang kebingungan melihat sikapnya.

"Kamu kenapa Marko?" tanya Rafa yang ikut masuk ke dalam mobil.

"Om tidak usah tanya. Lebih baik kita pulang sekarang."

"Baiklah."

Rafa yang paham akan hal itu pun langsung menghidupkan mesin mobilnya, dan melajukannya pergi.

Jarum jam berdetak meninggalkan putarannya. Debi yang sudah selesai dengan pekerjaannya di cafe. Tidak langsung pulang. Debi menunggu ojek yang akan mengantarkan ke tempat kerja barunya.

"Eh ada kupu-kupu malam yang mau berangkat kerja ya!"

Debi mengabaikan Maya yang saat itu berjalan mendekatinya.

"Kelihatannya aja polos, tapi gak tahunya murahan."

Padahal Debi sudah berusaha untuk mengabaikan Maya, tapi ucapan Maya membuat telinga Debi panas.

"Lain kali jangan orangnya saja yang di sekolahin, tapi mulutnya juga."

"Apa kamu bilang."

Maya langsung naik darah mendengar jawaban Debi. Namun belum sempat Maya membalas ucapan Debi. Debi sudah pergi dengan ojek yang ia pesan tadi.

Motor yang Debi naiki melaju di tengah jalan raya. Untung tempat kerja baru Debi tidak jauh dari tempat kerjanya. Jadi tanpa membutuhkan banyak waktu. Debi sudah sampai di sana.

"Terima kasih ya Pak! Ini ongkosnya. Lebihnya ambil saja," kata Debi yang langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat kerjanya.

Langkah Debi berderap menuju ruang ganti yang ada di belakang ruangan.

"Debi, kenapa kamu bisa telat?" tanya Renata.

"Maaf Kak, tadi masih nunggu ojek."

"Ya sudah, buruan ganti baju."

"Iya Kak."

Setelah Debi selesai mengganti bajunya. Debi berjalan keluar dari dalam ruangan, dan langsung memulai kerjanya.

Saat itu Debi yang tengah buru-buru. Tidak sengaja menabrak seseorang yang berjalan di depannya.

"Ma-maaf."

Debi terkejut saat melihat wajah seseorang yang ia tabrak barusan.

"Kamu?"

"Hai, kita ketemu lagi," balasnya si pemilik lesung pipi.

"Kenapa kamu bisa ada di sini Rafa? Kamu salah satu pengunjung di sini?"

Rafa sempat terdiam mendengar ucapan Debi. Tapi tidak lama setelahnya Rafa tersenyum.

"Iya, aku pengunjung di sini, tapi aku gak sering ke sini kok."

"Tapi tetap saja kamu ke sini."

"Iya kan aku ke sini pas lagi banyak masalah saja. Oh iya, kamu kerja di sini?"

"Iya, aku kerja di sini," balas Debi yang terlihat malu mengakui pekerjaannya, dan Rafa bisa melihat itu.

"Kenapa kamu bisa bekerja di tempat seperti ini?"

"Ceritanya panjang. Maaf ya! Aku tidak bisa menemani kamu karena aku harus segera bekerja."

Debi langsung melangkahkan kakinya tanpa menunggu balasan dari Rafa.

Debi melakukan pekerjaannya dengan baik. Dia berjalan dari satu meja ke meja yang lainnya. Dan hal itu tidak terlepas dari seseorang yang terus melihat kearahnya.

"Mbak," panggil Rafa sembari mengangkat tangannya.

Debi mengalihkan pandangannya dan melihat Rafa yang tengah memanggilnya.

"Ada apa Rafa?"

"Aku mau pesan minuman dong, tapi aku minta kamu temani aku minum ya?" kata Rafa yang langsung mendapatkan tatapan tidak suka dari Debi.

"Maksud aku itu, aku mau ngajak kamu ngobrol. Sekalian aku pesan minum."

"Tidak bisa. Kalau aku ketahuan sama pemilik tempat ini. Bisa-bisa aku dipecat."

"Kamu menamai aku minum tidak gratis kok, aku akan membayar sesuai dengan peraturan di sini. Bagaimana?"

"Emz, bagaimana ya? Aku anak baru di sini. Jadi aku takut kalau melakukan kesalahan."

"Kamu tidak usah khawatir. Tidak akan ada yang berani menyalahkan kamu. Duduklah. Aku akan meminta pelayan lainnya untuk mengantarkan pesananku."

"Tapi....."

Belum sempat Debi melanjutkan ucapannya. Rafa sudah menarik tangan Debi, dan membuat Debi duduk di sampingnya. Debi kembali beranjak dari duduknya, namun Rafa langsung menghalanginya.

"Duduklah yang santai."

"Tapi bagaimana kalau aku mendapatkan masalah?"

"Percaya sama aku. Kamu tidak akan mendapatkan masalah. Aku yang akan bertanggung jawab."

Meski Rafa melihat Debi tidak nyaman duduk di sampingnya. Rafa tidak memperdulikan itu, dan langsung memesan minuman dari pelayan lainnya.

Debi merasa tidak nyaman saat pelayan yang mencatat pesanan Rafa terus melihat kearahnya. Pelayan itu memberikan tatapan terkejut dan juga penuh tanya.

"Hanya itu pesanan saya Mbak. Kamu mau pesan apa Debi?"

"Eh, aku tidak pesan apa-apa kok."

"Tidak apa-apa kalau kamu mau memesan sesuatu. Aku yang akan membayarnya."

"Tidak perlu. Aku tidak mau minum atau makan apapun."

"Baiklah kalau kamu tidak mau. Berarti hanya itu pesanan saya Mbak."

"Iya Pak, ditunggu pesanannya ya!"

"Iya."

Pelayan itu melangkahkan kakinya meninggalkan Debi dan juga Rafa.

"Rafa, sepertinya nanti aku akan mendapatkan masalah."

"Masalah bagaimana maksud kamu?"

"Kamu melihat tatapan pelayan tadi kan?"

"Iya, memangnya kenapa?"

"Aku takut kalau dia melaporkan aku sama pemilik tempat ini."

"Tidak usah takut. Tidak akan ada yang berani melaporkan kamu."

"Tapi........"

"Sudahlah, tidak usah memikirkan sesuatu yang tidak akan terjadi."