Rafa membaringkan Debi di dalam ruangannya. Rafa terlihat panik. Apalagi Rafa melihat keadaan Debi yang sangat menyedihkan.
"Bangun Debi. Jangan buat aku khawatir."
Rafa duduk di samping Debi. Bibirnya tidak hentinya merafalkan do'a agar Debi segara sadar.
Rafa sangat antusias saat melihat Debi yang mulai mengerjapkan matanya. Seiring itu juga. Rafa melihat Debi menggerakkan tangannya.
"Syukurlah kamu sudah sadar Debi," kata Rafa tersenyum senang.
Debi membuka matanya. Debi mengedarkan pandangannya dan mendapati dirinya berada di dalam ruangan. Pandangan Debi beralih dan melihat Rafa yang duduk di sampingnya.
"Kamu?"
"Iya, ini aku. Sekarang kamu aman."
Debi kembali mengedarkan pandangannya. Debi ingat jika ada Marko yang saat itu menolongnya, tapi Debi tidak melihat siapa pun selain Rafa di dalam ruangan.
"Apa tadi aku salah lihat?" bisiknya.
"Kamu sedang mencari siapa?"
"Tidak. Aku tidak sedang mencari siapa-siapa. Kamu yang menolongku tadi?"
"Iya, aku yang menolong kamu tadi."
Debi tersenyum meski ada guratan kecewa di wajahnya. Tadinya Debi sangat berharap jika Marko yang menolongnya.
"Kamu mau minum? Biar aku ambilkan minum ya?"
"Tidak perlu. Aku harus kembali bekerja," balas Debi yang beranjak dari tidurnya, namun langsung ditahan Rafa.
"Malam ini kamu tidak perlu bekerja."
"Bagaimana aku tidak perlu bekerja? Nanti aku bisa dipecat sama pemilik tempat ini."
"Tidak. Kamu tidak akan dipecat. Percayalah sama aku. Lebih baik sekarang kamu istirahat dan jangan banyak pikiran."
"Tapi....."
"Aku tidak suka bantah."
Hanya dengan ucapan itu, Debi langsung diam dan memilih untuk mengikuti keinginan Rafa.
Debi melihat dirinya. Berantakan. Kejadian tadi pun kembali memenuhi pikiran Debi. Wajah Debi berubah sendu. Tergambar jelas jika saat ini Debi tengah dalam keadaan takut.
"Kamu kenapa Debi?" tanya Rafa yang menyadari itu.
Tes tes tes
Bukan jawaban yang diberikan Debi, namun air mata sebagai jawabannya.
"Kamu kenapa Debi? Sekarang kamu aman."
"A-aku, aku takut."
"Jangan takut. Ada aku yang akan selalu di samping kamu."
Rafa menarik Debi ke dalam pelukannya. Sementara Debi yang larut dalam kesedihannya tidak menyadari itu.
Debi terus menangis. Entahlah, Debi merasa di dalam pelukan Rafa ada kenyamanan yang tidak ingin Debi lepaskan.
"Selama ada aku, kamu akan baik-baik saja."
Rafa membiarkan Debi menangis meluapkan kesedihannya. Rafa terus memeluk Debi memberikan kenyamanan dan keamanan.
Setelah cukup lama Debi meluapkan kesedihannya. Debi berhenti menangis. Saat itu Debi langsung menyadari jika dirinya ada di dalam pelukan Rafa.
"Tidak. Ini tidak benar."
Debi langsung menarik tubuhnya dari dalam pelukan Rafa.
"Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar."
"Tidak apa-apa kok. Maaf, gara-gara aku baju kamu jadi basah."
"Tidak apa-apa, nanti aku bisa menggantinya."
Debi mengedarkan pandangannya untuk mengurangi rasa canggung diantara mereka. Saat itu Debi kembali tersadar jika dia tengah berada di dalam ruangan.
"Rafa."
"Iya, ada apa?"
"Ini ruangan siapa?"
"Eh, ini........"
Rafa menghentikan ucapannya. Rafa tidak ingin mengungkapkan jati dirinya kepada Debi.
"Ini seperti ruangan bos deh. Apakah benar Rafa?"
"Eh, iya. Ini memang ruangan bos."
"Kalau begitu aku istirahat di ruangan bos pemilik tempat ini?" balas Debi panik.
"Iya seperti itulah."
"Bagaimana kamu bisa membawaku ke sini?"
"Iya itu karena aku dan pemilik tempat ini saling kenal."
"Hanya saling kenal kamu dibolehkan menggunakan ruangannya?"
"Iya, karena aku sangat dekat dengannya."
Debi merasa ada sesuatu yang ditutupi Rafa darinya. Debi jadi penasaran.
"Sudahlah, tidak perlu dibahas. Yang terpenting pemilik tempat ini mengizinkan, dan kamu tidak akan mendapatkan masalah."
"Tapi aku harus segera pergi dari ruangan ini. Aku tidak enak ha......"
"Aku tidak mau mendengar apapun yang berhubungan dengan keinginan kamu yang mau keluar dari ruangan ini. Kamu harus istirahat."
Debi hanya bisa menghela nafas panjang. Debi hanya diam di tempatnya tanpa ingin membantah Rafa.
"Jangan kemana-mana. Aku ambilkan minum."
"Iya."
Rafa beranjak dari duduknya. Rafa berjalan keluar dari dalam ruangannya meninggalkan Debi sendirian.
"Om Rafa, bagaimana keadaan Debi?" tanya Marko yang sedari tadi menunggu di depan ruangannya.
"Sekarang Debi sudah sadarkan diri."
"Alhamdulillah," balas Marko lega.
"Kenapa kamu bisa sepanik ini dengan Debi. Apakah kamu mengenal Debi?"
Marko diam. Marko tidak mungkin jujur dengan omnya, mengingat permasalahannya dengan Debi.
"Marko."
"Aku tidak kenal Debi kok Om. Tadi aku tidak sengaja bertemu dengannya di toilet. Melihat keadaannya yang menyedihkan. Aku hanya kasihan saja."
"Tapi bagaimana kamu bisa tahu namanya?"
"Itu karena aku dan Debi satu kampus Om. Aku seiring bertemu dengannya, tapi kami tidak saling kenal."
"Oh, Om kira kamu mengenal Debi."
"Tidak kok Om."
"Oh, ya sudah kalau kamu tidak mengenal Debi."
Rafa sangat senang dan juga lega. Rafa sudah sangat khawatir kalau mereka saling mengenal. Bisa-bisa Rafa patah hati berat karena bersaing dengan keponakannya sendiri.
"Om Rafa mau kemana?"
"Aku mau mengambil minum untuk Debi."
"Oh, aku ambilkan saja Om. Om bisa menemani Debi."
"Tidak perlu Marko. Biar Om saja yang mengambilnya minum. Kamu bisa berkumpul bersama teman-teman kamu lagi."
"Iya Om."
"Ya sudah, Om ambil minum dulu."
Rafa melangkahkan kakinya, meninggalkan Marko yang masih berdiri di depan pintu. Marko melihat pintu ruangan. Sebenarnya Marko ingin sekali masuk ke dalam sana untuk memastikan keadaan Debi, tapi rasa gengsi Marko terlalu besar. Marko menghabiskan keinginannya dan memilih untuk meninggalkan tempat itu.
Debi memandangi jaket yang melekat di tubuhnya. Dari aroma parfum yang tercium. Debi sangat hapal dengan pemiliknya. Yah, parfum ini sangat mirip dengan parfum milik Marko.
"Apakah mungkin jaket yang aku pakai milik Marko ya? Tapi bagaimana bisa miliki Marko. Sementara yang menolong aku Rafa?"
Debi kembali mencium jaket itu. Debi memastikannya dan benar. Parfum itu memang sangat mirip dengan parfum kesukaan Marko.
"Apa mungkin yang menolong aku memang benar Marko ya? Tapi tadi katanya Rafa, dia yang menolongku."
Cklek
Debi mengalihkan pandangannya saat mendengar suara pintu terbuka. Saat itu Debi melihat Rafa yang tengah berjalan masuk ke dalam ruangan. Rafa tersenyum dan berjalan mendekati Debi.
"Ini, minum lah," kata Rafa sembari memberikan segelas air putih kepada Debi.
"Terima kasih."
"Iya, sama-sama."
Debi meneguk air dalam gelas hingga tandas. Debi kembali memberikan gelas itu kepada Marko.
"Bagaimana keadaan kamu sekarang?"
"Aku sudah lebih baik kok."
"Syukurlah kalau begitu."
"Oh iya Rafa. Apa aku boleh bertanya?"
"Bertanya apa?"
"Apa ini jaket kamu?"
Rafa melihat jaket yang melekat di badan Debi. Itu bukan jaketnya, dan Rafa yakin jika jaket itu milik Marko.
"Apa aku harus jujur dengan Debi?" bisiknya.