Kami berjalan kaki menuju kafe yang terletak di seberang kantor. Kafe langganan yang selalu menjadi tempat makan siangku dari dulu jika sedang malas bepergian.
"Kamu nggak usah sok tebar-tebar pesona deh," celetukku. Masih membahas soal karyawanku tadi.
"Enggak, kok. Kan kamu liat sendiri aku cuman ngasi tau apa yang dia nggak ngerti," jawabnya dengan lembut.
"Halah, modus!"
"Udah dong, ngambeknya," bujuknya, sambil menyeruput Americano dingin yang sudah tinggal setengah.
Aku pun melakukan hal serupa dengan minumanku, sembari membuka kembali akun fesbuk di gawai mahalku. Mataku membelalak kaget, hampir copot saat melihat komentar demi komentar dari postingan yang kubuat kemarin.
'Wah... ngerih ya.'
'Gilak jugak kamu, Yas.'
'Asli gak tuh?'
'Nggak sia-sia ya, Yas punya banyak editor. Editannya ngeri. Bagus banget.'
'Jadi penasaran liat aslinya.'
'Jangan-jangan aslinya burik lagi.'
Huft... Hatiku panas membaca satu persatu komentar mereka. Ini tidak bisa dibiarkan. Mereka harus liat Zein secara langsung. Biar mereka tau kalau suamiku ini tampan dan juga rupawan. Awas aja kalian.
Salahku sendiri memang. Karena kesal, aku tak mengundang mereka ke resepsi super mewahku. Biar mereka tidak numpang eksis buat pamer foto-foto keren di acara sakralku.
"Kamu kenapa, Yas?" Rupanya Zein memperhatikan mimik wajahku yang sedang meradang ini.
"Nggak perlu tau!" sahutku, geram.
Segera kubalas komentar dengan mentag nama mereka satu persatu.
'Hello... Nggak boleh sirik dong hanya karena suami kalian gendut dan juga tua. Kalau mau kenalan langsung, kita reunian aja, yuk! Jangan lupa ya, bawa suami masing-masing. Suami sendiri lho. Jangan suami orang!'
Kuselipkan emoticon wajah sedang tersenyum. Walaupun lebih cocok jika kuberikan emoticon makhluk merah bertanduk dua.
'Jangan bohong, ya.'
'Awas kalo nggak dateng.'
'Jangan banyak alasan lagi'
Serang mereka dengan berbagai macam emoticon. Wah, nantangin ini. Pamer suami? Siapa takut.
.
Kami langsung pulang ke rumah baru. Segala macam perabotan sudah dipersiapkan oleh Papi dan Mami. Kami hanya tinggal membawa pakaian saja. Itupun sudah sebagian aku pindahkan dari rumah lama.
"Kita ngambil pakaian di rumah Papi lah, Yas. Aku nggak ada baju, buat ke kantor besok," pintanya saat di perjalanan.
"Nggak usah diambil. Baju murahan kek gitu nggak pantes buat jalan sama aku!" celaku.
"Terus, besok aku nggak pakek baju, gitu?"
"U..u.. u... mau pamer roti sobek ya, sama cewek-cewek di kantor? Biar mereka tau kalau kamu punya perut bagus?" cecarku.
"Tuh, kan. Akhirnya kamu ngaku juga kalau aku ini laki-laki menarik," godanya lagi.
Duh, kan. Salah bicara lagi aku. Bisa tambah ge er nanti suami bayaranku ini.
Kami sampai di rumah. Menuju kamar masing-masing. Aku merebahkan diri demi menghilangkan rasa penat. Rasa lelah membuatku cepat terlelap dan tak sadarkan diri.
Entah berapa lama aku tertidur, hingga terdengar suara ketukan dari luar.
"Tyas. Makan yuk. Aku masak nih." Suaranya terdengar dari luar. Dengan malas aku membukakan pintu.
"Apa?"
"Kamu kok belum mandi?"
"Ketiduran."
"Mandi gih. Udah malem. Abis tu kita makan, ya."
"Emang ada makanan?"
"Kan tadi aku dah bilang, kalau aku masak."
"Dih, emang bisa?"
"Udah biasa kali, Yas. Ya udah sana mandi. Atau mau aku mandiin?" godanya lagi.
"Kamu pikir aku mayat? Nggak sekalian disholatin?" hardikku.
"Dih, jutek amat. Bikin gemes."
Eh? Untung nggak makek nyubit pipi segala.
.
Aku makan dengan lahap. Sosis dan telur kecap yang sangat sederhana, namun terasa nikmat. Apalagi memang dimakan saat lapar. Sepertinya Papi dan Mami memang belum sempat berbelanja dan mengisi bahan makanan saat membenahi rumah ini.
"Makasih ya, Yas," ucap laki-laki yang sedang makan di hadapanku ini. Suaranya terdengar tulus.
"Buat apa?"
"Buat baju-baju yang udah kamu taro di lemari aku."
"Oh, hemmm...."
"Kapan kamu beli baju sebanyak itu? Kok aku nggak tau? Mana ukurannya, pas lagi."
"Tau ah. Tinggal pakek doang, sewot," ketusku. Dia tersenyum.
Begitu aku dan Zein menyepakati perjanjian, aku langsung mempersiapkan semuanya. Mulai dari cincin, mahar, bahkan segala keperluan Zein. Dia hanya tinggal duduk manis dan terima bersih.
Bahkan hantaran dan seserahan yang dibawa oleh keluarganya, juga berasal dariku. Sungguh laki-laki yang beruntung secara kasat mata. Tapi kalau soal batin, jangan ditanya. Aku juga tidak mau tau.
Termasuk baju-baju dan juga celana kerjanya. Semua bahan yang dia pakai terkesan murahan dan juga tak nyaman. Bahannya panas. Aku bahkan bisa merasakannya meski hanya melihatnya dari kejauhan.
Tapi bukan berarti aku ingin membuatnya merasa nyaman. Ini hanya demi gengsiku yang harus selalu berjalan berdampingan dengannya.
"Besok pulang kerja, kita belanja, ya. Masakan kamu enak. Nggak usah susah-susah nyari pembantu," ujarku lagi.
"Syukurlah kalau kamu suka."
"Belajar masak dimana?"
"Di rumah. Kan Ibuk sering sakit. Jadi sebelum pergi kerja, aku yang masakin."
"Emang dulu kerja dimana?"
"Di bang."
"Bang?" Aku mengernyit. Maksudnya bang yang tulisannya b-a-n-k? "Bank mana?"
"Bang unan."
Spontan nasi yang berada di mulutku menyembur keluar. Sebagian menempel di wajahnya.
"Kenapa aku disembur, Yas?" Dia mengelap wajahnya dengan tisu.
"Nggak lucu!" sahutku, sembari meminum air karena sedikit tersedak.
"Padahal aku pengen buat kamu ketawa aja tadi."
"Lelucon kek gitu udah basi tau."
"Buktinya kamu masih nanyak."
"Iya deh, iya. Terserah kamu aja."
"Habis kamu murung terus sejak dari kafe tadi."
Benar juga. Suasana hatiku mendadak galau karena komentar-komentar pedas teman-temanku. Ditambah lagi sikap Zein yang terlalu ramah dengan Silvi. Bagaimana kalau semua karyawan wanita yang meminta tolong, dia tanggapi seperti itu. Bisa rusak reputasiku nanti.
.
Kami kembali berangkat ke kantor bersama. Zein tampak sangat keren memakai kemeja bermerk yang aku belikan. Entah berapa pasang yang kubelikan untuknya. Hingga dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan baju murahannya yang masih tertinggal di rumah Papi dan juga rumah orang tuanya.
Sepulang dari kantor, kami langsung berangkat ke supermarket. Membeli kebutuhan dapur dan juga keperluan sehari-hari. Sengaja aku tak memakai jasa asisten rumah tangga, agar aku dan Zein merasa bebas. Tak perlu menutup-nutupi, atau bersandiwara lagi dengan hubungan palsu kami.
Bahkan asisten rumah tangga yang ditawarkan oleh Mami aku tolak mentah-mentah, hanya karena takut dia akan memata-matai dan mengadu pada Mami.
Bukan tanpa sebab aku berpikiran seperti itu. Awalnya Papi dan Mami merasa heran dengan sikapku yang sudah siap menikah hanya dalam waktu dua bulan saja. Padahal sebelumnya aku belum pernah memperkenalkan Zein pada mereka. Mami curiga kalau pernikahanku hanya pura-pura, dan sebatas kontrak saja.
Salahku sendiri meminjaminya buku-buku novel dengan tema nikah kontrak dan mendadak nikah, dari jasa penerbitanku.
"Hello, Mami. Plis deh, itu cuman fiksi. Mana ada di kehidupan nyata," kilahku kala itu.
Padahal rencanaku sendiri, terinspirasi dari sana. Tapi tentu saja dengan alur yang berbeda. Kalau perlu plot twist, biar penonton dan pembaca pada kecewa dengan spoiler mereka sendiri.
Kalau biasanya pengantin pura-pura, bakalan saling jatuh cinta, hal itu tidak akan pernah terjadi pada kisahku. Enak aja, masa iya akhirnya aku harus berjodoh sama laki-laki kere kayak dia. Kalau dia nya yang jatuh cinta sih, masih masuk akal.
Secara aku kan masih cantik dan yang pastinya kaya raya. Semua orang pasti merasa hidupku sempurna. Begitu aku menyandang status janda, semua pria pasti langsung ngantri buat melamar. Bukankah saat sekarang ini, status janda lebih mempesona.
Tadinya aku hanya ingin menyewa jasa Zein selama tiga bulan saja. Itupun sudah terlalu lama hanya untuk sekedar melewati malam pertama. Namun aku takut akan menambah kecurigaan Mami, hingga membuatku memperpanjangnya menjadi satu tahun. Dalam satu tahun ini, kami bisa membuat alasan pertengkaran agar bisa berpisah tanpa masalah.
Maaf ya, Zein. Meskipun kamu berharap jadi suamiku untuk selamanya, aku tidak akan bisa. Kamu sama sekali nggak masuk kriteria suami idamanku. Aku bahkan menyarankannya untuk segera mencari cadangan. Agar setelah berpisah dan menyandang status duda, dia tidak terlalu patah hati dan juga bersedih. Yah, aku tahu kalau pesonaku ini sudah pasti membuatnya jatuh hati.
Aku celingak-celinguk mencari keberadaan Zein yang sedang membawa troli belanjaan. Bukankah tadi dia masih berada di sampingku saat sedang memilih-milih belanjaan.
Mataku kembali terbelalak, dan hatiku memanas, saat kulihat dia sedang mengobrol serius dengan seorang wanita. Bahkan wanita itu seperti sedang memohon dengan wajah memelas sambil memegangi lengannya.
Siapa itu?
**************