Reunian Yang Menyebalkan

"Zein, ntar malem aku ada reunian. Kamu siap-siap, ya!" perintahku, saat kami sedang berada di ruanganku. 

"Aku diajak, nih?"

"Ya, ea lah...." Aku memutar bola mata. Secara, acara ini khusus aku adain buat mamerin kamu sama temen-temen resek ku itu.

"Kamu kan aku bayar biar bisa ngikutin kemanapun aku pergi," sewotku.

"Iya istriku, iya."

"Jangan lupa, dandan yang rapi. Biar ganteng."

"Emang selama ini aku kurang ganteng?"

Aish... aku kembali memutar bola mata. Malas. 

"Tampil sempurna lah, Zein. Sem-pur-na!" 

"Iya, iya. Buat istriku, apa sih yang enggak," godanya dengan senyuman manis. Manis banget malah. 

"Lebay!" gerutuku. Dia lagi-lagi tersenyum. 

"Kamu sengaja manggil aku kesini, cuman buat ngomong itu aja?" tanyanya lagi. 

"Kenapa? Kamu nggak suka berduaan di dalam kantor sama aku? Takut yang lain pada cemburu gitu?" Aku pura-pura merajuk. Pura-pura, ya. Pura-pura. 

"Enggak lah, Yas. Jangankan dipanggil ke kantor. Kamu panggil ke kamar aja aku nggak bakalan nolak."

"Mmmm... maunya." Bola mataku kembali berputar-putar membentuk lingkaran. 

"Si sontoloyo nanyakin naskah kamu lagi, tuh. Emang kamu belum punya cerita baru?"

"Sontoloyo? Sontoloyo siapa?"

"Ya, Si Bino lah. Author yang mengklaim semua cerita kamu. Ampun deh itu orang. Semenjak ada kamu, satu buku pun gak ada yang dia tulis dengan outaknya sendiri! Jadi nyesel ngontrak dia sampek sepuluh buku sekaligus."

"Oh, gitu. Ada sih, Yas. Tapi...."

"Tapi kenapa?"

"Nanti-nanti aja deh aku kasi."

"Kamu lagi nggak butuh uang? U.. lala... Aku baru ingat, kalau selama setahun ini kamu nggak perlu khawatir lagi soal uang," sindirku, dengan bibir yang kulenggak-lenggokkan. 

Wajahnya berubah pias. Tak lagi tersenyum seperti tadi. Eh, apa dia marah, ya? Jangan-jangan dia tersinggung lagi dengan perkataanku. 

Cih, apa perduliku dengan perasaannya. Apa yang kukatakan emang benar kok. Kan selama ini aku yang menanggung semua biaya hidup nya. Dasar be-na-lu. 

"Eh, belum ada. Belum ada kok, Yas. Nanti kalau sudah selesai, aku kasi tau ke kamu. Aku permisi dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban, dia langsung bangkit dan berdiri. Lalu keluar tanpa memperdulikanku lagi. 

Huh, berani sekali dia. 

.

Dalam perjalanan pulang, tak seperti biasanya dia hanya diam. Tak ada lagi candaan atau kata-kata yang menggoda seperti yang biasa dia lakukan. Kok aku jadi ngarep ya. Jangan-jangan, dia beneran tersinggung lagi. Kalau begini, aku sendiri yang bakalan rugi. 

Mana malam ini, teman-teman pada ngumpul lagi. Kalau wajahnya begini terus, aku yang mati. Bisa-bisa mereka mengatakan kalau suamiku, hanya terpaksa menikah denganku. Merasa tidak bahagia, dan menyesal karena memiliki istri tua sepertiku. 

Tidak boleh. Aku harus mencari cara biar dia bisa tersenyum lagi. Apa aku minta maaf aja ya tentang perkataanku tadi. Hish... merendahkan harga diriku aja. Bodo amatlah. Harga diri di depan teman-temanku jauh lebih penting dari ini. 

"Zein?" panggilku lembut. Selembut roti sobek yang mirip kaya perutnya. 

"Mmmm."

"Dih, kok nyahutnya gitu sih."

"Ada apa, Raden Roro Diningtyas binti Raden Hadi wijaya kusuma?" sahutnya, sedikit lebih panjang. Panjang amat malah. Pakek nyebut nama asli lagi. Ingat waktu ijab kabul kali, ya? 

"Nah, gitu dong. Kamu kenapa dari tadi diem aja?"

"Nggak kok, biasa aja."

"Bohong! Kamu tersinggung ya, gara-gara omonganku tadi?"

"Enggak lah."

"Yang bener?"

"Iya. Lagian yang kamu bilang itu kan emang bener. Selama ini aku udah dapet uang dari kamu. Itu udah cukup buat biaya Ibuk sama adik aku."

"Tuh, kan. Beneran marah. Pakek nggak ngaku lagi," ucapku sebal. 

"Emang aku punya hak buat marah sama kamu?" ucapnya lagi dengan begitu lembut. Membuatku dihujam rasa bersalah. Ce ileh... 

"Ya enggak sih. Kamu tuh harus selalu ceria kalo sama aku. Jangan cemberut-cemberut gitu. Ntar ilang lagi gantengnya," rayuku. Huek! 

"Tuh kan, ngaku juga kalo aku ganteng." Senyumnya mengembang mendengar ucapanku. Senyuman manis seperti biasanya. 

Bingo!  Aku berhasil merayunya. Hihihi... 

Lho, kenapa aku jadi girang karena berhasil merayunya. Kalau bukan karena acara itu, aku juga nggak akan sudi buat nyanjung-nyanjung kaum missqueen kaya dia. 

Nggak-le-vel! 

.

Malam pun tiba. Aku berdandan wah, untuk membuat terpukau teman-teman nggak ada akhlakku itu. Sebenarnya sih bukan untuk mereka. Teman-teman nakalku itu berhasil membuatku mati kutu dengan mengundang alumni yang lain. Yang pastinya melenceng dari acara awal. 

Bukan masalah biaya sih, secara aku kan kaya. Seberapa sih buat bayar acara begituan aja. Masalahnya banyak orang-orang yang seharusnya aku hindari, bakalan hadir dan menggangguku lagi. 

Aku bahkan sudah memperingatkan Zein tadi tentang perubahan acara ini. 

"Ingat ya, Zein. Nanti nggak usah nunjukin sikap berlebihan kalau kamu lagi cemburu. Secara, aku tuh dulu populer banget dan punya banyak penggemar. Jadi jangan salahin aku kalo fans-fans lama ku itu bakalan godain aku lagi. Aku juga nggak tertarik kok sama mereka."

"Iya, Tyas. Aku ngerti."

"Sebenarnya aku maklum sih kalo kamu cemburu atau sakit hati. Tapi kamu juga harus tau diri, kita itu cuman nikah bohongan. Jadi jangan dibawa pakek hati, ya. Gini-gini aku juga punya perasaan lho. Nggak mau liat kamu sedih karena patah hati," ucapku penuh percaya diri. 

"Iya, istri yang udah membayarku. Jangan khawatir. Aku tau diri kok."

"Oke. Good boy!" pujiku.

.

"Dah selesai belum Zein?" teriakku di depan pintu kamar kami yang bersebelahan. 

Tak lama ia membuka pintu. Hingga terciumlah aroma semerbak harum menggoda. Aku seperti tokoh kartun upin ipin yang terbang melayang mengikuti asap ayam goreng yang dimasak oleh kak Ros. Mataku terpejam menikmati bau-bauan khas parfum super mahal yang hanya bisa di dapatkan dari luar negeri. 

"Kamu kenapa, Yas?" Suaranya membuyarkan konsentrasiku. Aku segera tersadar dan membetulkan posisi jantungku yang tadi sedikit bergeser. 

"Wangi amat. Kek nya aku belum pernah ngasi parfum ini deh. Dari siapa?" selidikku.

"Dari Papi."

"Oh. Menantu kesayangan rupanya." Dia kembali tersenyum. 

Dengan gaya nan elegan aku kembali merangkul lengannya. Bergandengan mesra hingga menuju ke halaman. Zein tersenyum senang dengan mempererat pegangnnya. Zein dengan sigap dan berwibawa langsung membukakan pintu mobil. Membuatku bak seorang ratu malam ini. 

Tapi, kalau dipikir-pikir, ngapain juga tadi aku gandengan sama dia. Bukannya di rumah ini cuman ada kami berdua. Malah dianya manut aja lagi. Huh, dasar. Bisa-bisanya nyari kesempatan.

Kami pun sampai di acara. Sudah ramai tamu yang hadir. Tanganku tak lekang dan menempel terus pada lengan kekar Zein. Celingak-celinguk mencari trio ember yang selalu bergunjing perihal kehidupan pribadiku. 

"Hai Tyas...." Suara seseorang yang diiringi lambaian tangan sedang memanggilku. Pas benget. 

"Yuk, Zein." Aku menyeret tangannya menuju ke arah mereka. 

"Wah, suami Tyas beneran ganteng rupanya."

"Gagah banget. Masih muda lagi."

"Sering fitnes dimana Mas? Bagus amat badannya."

Secara bergantian mereka memuji suamiku yang tampak paling paripurna. Ya iyalah, secara usia Zein masih tiga puluh. Sementara suami mereka sudah hampir memasuki kepala empat. Ada juga yang udah hampir Kakek-kakek. 

"Ototnya keras banget nih." Cubit salah seorang temanku. 

"Eit.. eit..!" hardikku. "Enak aja main pegang-pegang suami orang. Iri ya, karena otot suaminya udah kendor. Klewer-klewer kaya puding jeli," celaku. Bibirnya menaik sebelah tanda kesal. 

Aku semakin mengeratkan peganganku pada Zein. Takut kalau-kalau nanti ada yang berani menyentuhnya lagi. Zein hanya tersenyum. Sikap dewasanya membuatku tak malu untuk memamerkannya. 

"Dih, nempel terus. Ntar suaminya gerah tuh."

"Iya nih, Tyas. Maruk amat jadi bini."

"Kelamaan jomblo ya gitu tuh."

Lagi-lagi mereka mengoceh. Ugh, dasar sirik. Iri bilang bos. 

"Ulu-ulu... yang pada sirik. Kalau iri jangan kebangetan dong. Pakek di tunjuk-tunjukin lagi. Namanya juga pengantin baru. Wajar dong kalo bawaannya mau terus. Iya kan, Cayang?" ujarku, membuat wajah mereka terlihat kesal. 

"Yakin tuh rumah tangganya aman-aman aja. Kamu kan udah berumur, Yas. Yakin masih bisa ngasilin anak?"

"Wo iya. Yakin dong. Secara kita bikinnya tiap malem. Malah kadang bisa berkali-kali. Ya kan, Sayang?" dustaku lagi-lagi, dengan tangan yang masih mendekap erat lengan Zein. 

Aku mencubit sedikit daging lengannya, sebagai kode ia harus ikut bicara dan mendukung semua kata-kataku tadi. 

"Iya kan, Sayang?" Aku mengulangi pertanyaanku sambil mengedip-ngedipkan mata. 

Tentu saja dia cepat bereaksi, merasakan kode yang baru saja kuberikan. 

"Ya pasti dong, Sayang," sahutnya mesra. 

Yes! Ternyata dia begitu mudah diajak bekerja sama. Perfecto! 

"Laki-laki mana sih yang bisa menolak pesona wanita secantik kamu. Apalagi aku, sebagai suami sendiri. Mana bisa tahan sedetik aja nggak nyentuh kamu. Ini aja jadi pengen cepat-cepat pulang. Mmmuachh.... " Dia mengecup pipiku dengan sangat lama. Menempel bagai lintah yang sulit untuk dicabut. 

Ketiga temanku terperangah takjub. Menutup mulutnya dengan telapak tangan karena terkejut. Mataku terbelalak kaget. Tak menyangka kalau Zein berani senekat ini. 

Sudah bosan hidup dia rupanya. Bisa-bisanya  cari kesempatan. Awas kamu, ya. Ingin sekali rasanya aku meneriakinya. 

'Zeiiiinnn...!'

                              ***********