2

Secara naluriah, Alinka yang mendengar nama keluarga itu seketika mengangkat sudut-sudut wajahnya pelan. Sendi-sendi kakinya bergetar, namun tetap ia paksakan untuk berdiri dengan kokoh.

"Sean" ujar Alinka samar,

Amarah Jona segera tersulut setelah mendengar nama pria itu. Ia tidak bisa menyembunyikan eksperesi kebenciannya yang mendarah daging bahkan dihadapan adiknya,

"Bagaimana kau bisa tau nama keparat itu?"

Alinka membatu, tidak mungkin baginya untuk bergerak. Fikirannya kacau, nafasnya saling mengejar. Mengingat masa lalu, mengingat pilihan yang pernah ia ambil dan pertahankan.

Mengamati adiknya yang kian bungkam, Jona memegangi bahu adiknya berusaha menghilangkan lamunanya, "Alinka sadarlah_"

"Ada apa?"

"Alinka_"

Dunia Alinka kembali diluluh lantahkan dalam sekejap. Suara yang kian samar, diikuti kilatan hitam putih memenuhi ruang membuat situasinya kian muram, suram dan perlahan-lahan mengabur.

Alinka kehilangan kesadaran, ia jatuh pingsan tepat dihadapan Jona.

"Alinka_"Secara naluriah, Alinka yang mendengar nama keluarga itu seketika mengangkat sudut-sudut wajahnya pelan. Sendi-sendi kakinya bergetar, namun tetap ia paksakan untuk berdiri dengan kokoh.

"Sean" ujar Alinka samar,

Amarah Jona segera tersulut setelah mendengar nama pria itu. Ia tidak bisa menyembunyikan eksperesi kebenciannya yang mendarah daging bahkan dihadapan adiknya,

"Bagaimana kau bisa tau nama keparat itu?"

Alinka membatu, tidak mungkin baginya untuk bergerak. Fikirannya kacau, nafasnya saling mengejar. Mengingat masa lalu, mengingat pilihan yang pernah ia ambil dan pertahankan.

Mengamati adiknya yang kian bungkam, Jona memegangi bahu adiknya berusaha menghilangkan lamunanya, "Alinka sadarlah_"

"Ada apa?"

"Alinka_"

Dunia Alinka kembali diluluh lantahkan dalam sekejap. Suara yang kian samar, diikuti kilatan hitam putih memenuhi ruang membuat situasinya kian muram, suram dan perlahan-lahan mengabur.

Alinka kehilangan kesadaran, ia jatuh pingsan tepat dihadapan Jona.

"Alinka_"

Jona dengan postur tubuh besar, tanpa kesulitan membawa tubuh adiknya yang terkulai lemas ditangannya.

Bagai seorang ayah, yang menggendong putri kecilnya dengan penuh cinta.

Ayah mereka baru saja pergi untuk selamanya, Jona adalah kepala keluarga sekarang dan ia akan bertanggung jawab penuh untuk adiknya. Adik yang paling ia cintai, satu-satunya orang yang memiliki darah yang sama dengannya, Alinka.

Sampai di Rumah Sakit, Alinka langsung dibawa keruang VIP dan ditangani oleh Dr. Rehan. Dokter kepercayaan keluarga Sanjaya.

"Dia tiba-tiba pingsan" terang Jona, pada dokter yang masih sibuk memeriksa mata hingga denyut nadi Alinka

"Mungkin karena syhok"

"Aku akan menanganinya"

"Sebaiknya kau keluar" balas Dokter Rehan seraya memicingkan mata, mendesak Jona untuk keluar.

30 menit berlalu, namun Alinka tidak juga sadar. Mondar mandir Jona menunggu dengan gelisah, takut sesuatu yang buruk kembali terjadi pada keluarganya, pada adiknya.

"Jona kita harus bicara" ujar Dr. Rehan yang baru saja keluar dan langsung menghampiri Jona

"Tapi Alinka_"

"Pergilah, aku yang akan menjaganya" sergah Naina,

"Ayolah"

"Akan kujelaskan semuanya diruanganku"

Jona meninggalkan ruang tunggu dengan enggan, mengikuti dokter Rehan menuju ruangannya.

"Alinka HAMIL"

Ucapan dokter Rehan, bagai sambaran petir dihari yang cerah. Mata Jona membulat penuh, tidak percaya akan apa yang baru saja ia dengar, "Apa_"

"Kau bilang apa?"

"Alinka hamil"

"Tidak mungkin"

"Pasti ada yang salah" tegas Jona

"Kulakukan tes sebanyak tiga kali dan hasilnya sama"

"Positif"

Jona kehabisan kata, fikirannya kacau bersama kemarahan yang kian memuncak, "Bagaimana mungkin Alinka_"

"Siapa?"

Sempoyongan Jona berjalan menyusuri koridor. Fikirannya dipenuhi jejakan amarah, kebingungan dan kesedihan yang membaur satu. Tetap bungkam, Jona hanya duduk disamping adiknya lalu menatapnya dalam sekali.

"Alin kenapa?"

"Siapa brengsek itu?" tanya Jona dalam balutan luka yang begitu sulit didefenisikan.

Pelan-pelan mata yang terkunci rapat itu membuka pelan, menyaksikan potret pria dan wanita yang tertunduk pilu dihadapannya.

Melihat Jona, sekelabat memori kembali terekam jelas, membuat Alinka dirundung tanya, namun begitu takut menghadapi kenyataan.

"Jona Jona"

"Jelaskan bagaimana ayah meninggal"

"Apa hubungannya dengan keluarga Winata?"

"Jona_

"Tolonglah_" Alinka segera mendesak Jona bahkan sebelum kesadarannya kembali utuh. Air matanya yang jatuh menderas. Terlalu pengecut mengahadapi kebenaran dibalik kematian sang ayah.

"Ayah dibunuh"

"Dan pelakunya adalah_"

"Keluarga WINATA" Jona yang sebelumnya bungkam, akhirnya melabuhkan katanya, meski begitu pahit kebenaran yang harus bermuara.

"TIDAK"

"Tidak mungkinnnn" Alinka lepas kendali, seluruh tubuhnya bergetar, termasuk suaranya yang kian tersendat. Tercekat akan kata yang begitu sulit keluar.

"Tidak Jona"

"Kau salah"

"Ini semua salah"

"Aku harus menghubungi Sean"

"Dia tidak mungkin menipuku" tatapan yang kian berkaca merah, berusaha menerawang jauh, mencari ponsel dan mengambilnya dengan ragu.

Alinka yang begitu sulit mengerti atau mungkin tidak mau untuk mengerti membuat Jona naik pitam.

Jonapun dengan tegas merampas ponsel dari tangan Alinka lalu melemparnya kasar. Seketika menjadikan ponsel Alinka keping-keping rongsokan tak bersisa.

"Cukup Alinka"

"SADARLAH" bentak Jona seraya mencengkram bahu adiknya tegas,

"Sekarang tatap mataku dan jujur"

"Siapa ayah dari bayi dikandunganmu?"

"Bayi?" Alinka dan Naina bersamaan kaget, ia tidak tau menau akan sesuatu yang hidup dalam dirinya.

"Siapa?" kembali Jona mempertegas tanyanya, tanpa sedikitpun melepaskan cengkraman apalagi tatapan membunuhnya pada Alinka.

"Sean_"

Jona lagi-lagi merasakan serangan telak akan dirinya. Tungkai-tungkainya melemah, hatinya ciut bersama gejolak kesedihan didadanya.

"Apa yang sudah kau lakukan?"

"Dari sekian banyak orang"

"Kenapa harus dia?"

"Kenapa?" lirih Jona kehabisan kata

"Dia keluarga pembunuh"

"Mereka pembunuh"

"Kau tau_"

"Dia memanfaatkanmu"

"Dia pura-pura mencintaimu untuk menjatuhkan keluarga kita"

"Dan sekarang rencana mereka telah tercapai dengan sempurna" jelas Jona kian frustasi menyaksikan Alinka yang terus saja bisu

Bersama tatapannya yang kosong, kembali Jona sempoyongan, berjalan tanpa arah, bergelut dengan fikirannya sendiri.

Berada diambang pintu, tanpa memalingkan wajah sedikitpun Jona kembali berujar dengan tegas, "Kau harus menggugurkan bayi itu"