Pagi-pagi sekali Alinka bergegas, menuju Arka's Café and Resto.
Hampir-hampir ia tidak mengenali café yang dulunya menjadi tempat pelariannya, tempatnya bekerja. Semuanya benar-benar telah berubah, café sederhana bergaya klasik kini telah berubah menjadi cefe mewah bergaya Art Deco yang menawan.
Menuju rooftop tempat ini legang dan sunyi, persis seperti 7 tahun yang lalu. Tidak ada yang benar-benar berminat menaiki puluhan anak tangga hanya untuk mengamati birunya langit yang menawan. Membuat suasana balkon bergaya minimalis itu, selalu menjadi tempat eksklusif atau lebih tepatnya beskem rahasia antara Alinka dan Arka.
Duduk pada kursi santai yang panjang, Alinka memejamkan mata perlahan lalu menghirup udara dalam-dalam dan melepasnya pelan. Kembali mengulangi ritual yang selalu menjadi candu atau obat, saat situasinya kian terpuruk, sulit, persis seperti saat ini.
"Alinka" meski 7 tahun berlalu, sejak terakhir kali mendengarnya. Alinka langsung mengenali suara dari seorang pria dengan nada yang terangah-angah,
"Kau kembali_"
Alinka menengadah, ia mengenal dengan baik sosok pria jangkung dihadapannya. Mata yang selalu berbinar, sudut wajah yang tajam lengkap dengan seutas cengir bodoh yang selalu melekat pada sudut bibirnya. Dia Arka.
"Seperti yang kau lihat" balas Alinka samar lalu melempar senyum pada sosok Arka yang menjulang dihadapannya.
"Kau_" belum sempat Alinka menyelesaikan kata dari pangkal lidahnya, Arka tiba-tiba saja menghamburkan diri dan kini memeluknya erat sekali.
"Jangan pergi Lagi"
"Kumohon" Samar Arka berbisik, seraya terus tenggelam mendekap tubuh Alinka, yang hanya berukuran setengah dari ukuran tubuhnya.
"Kau fikir aku bisa kemana?"
"Jona bahkan membekukan passport milikku" goda Alinka, menyaksikan pria besar yang mendekapnya bertingkah bagaikan anak kecil yang merindukan ibunya.
Alinka lantas membalas pelukan Arka dengan hangat, seraya menepuk-nepuk bahunya yang bidang.
Berusaha mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja dan tidak akan pergi kemana-mana lagi. Persis seperti yang selalu Arka lakukan untuknya dulu.
"Apakah berurusan dengan para pria brengsek adalah hobbymu?" samar Arka, masih tetap khusyuk memeluk Alinka,
"Kau mengejekku" balas Alinka lewat cengir bodoh, kembali mengingat bagaimana cinta pertamanya kandas begitu tragis persis seperti yang Arka fikirkan saat ini.
"Lana_" Ujar Alinka lugas seraya memicingkan mata, melihat sosok pria yang ia kenal baik, pria yang ia pacari selama 3 bulan terakhir namun beberapa hari ini hilang kabar entah kenapa
"Alinka_"
"Bagaimana kau?"
"Perkenalkan dia pacar baruku" ujar Lana santai, membuat darah Alinka kian mendidih
"Hahhhh" Sedikit memalingkan wajah, Alinka hanya meringai dan tersenyum sinis mendengarnya, seolah hal menyenangkan baru saja terjadi.
"Apa kau belum sadar juga?"
"Selama ini aku sengaja mendekatimu karena kufikir kau memiliki segalanya"
"Tapi sekarang, kau bahkan tidak sebanding denganku"
"Pecundang sepertimu memang tidak pernah pantas bersamaku" balas Alinka dengan tatapan membunuhnya
"Masih bisa kau merendahkanku?"
"Harusnya kau tau diri"
"Kau bukan lagi seorang tuan putri"
"YOU ARE NOTHING" tegas Lana, bersama mata yang membulat penuh.
Kemarahan Alinka memuncak, segera ia tarik kerah baju milik Lana dan menariknya dengan kasar tepat dihadapan wajahnya,
"Sekali pecundang selamanya akan tetap pecundang, terimakasih telah menunjukkan hal itu" bisik Alinka lirih tanpa melepaskan pandangan darinya.
"LEPASKAN" Lana berontak namun tidak cukup kuat
"Aku bilang lepas"
Saling bersitegang dan menjadi tontonan banyak orang, Alinka dengan kasar melepaskan cengkraman dari tubuh Lana dan mendorongnya dengan kasar.
"Situasi ini, tidak akan menguntungkan"
"Aku bisa dipecat" dumel Alinka, memikirkan kemungkinan terburuk memukul seorang pelanggan Café.
Tidak ingin beralama-lama bersama pria brengsek seperti Lana, Alinka memilih berlau meninggalkan jejak rasa atau lebih tepatnya drama cinta murahan yang pernah ia lakoni. Pilihan hidup yang paling ia sesali, drama hidup yang ingin segera ia format saja dalam katalog memorinya.
"Woi"
"Kenapa kau disini?"
"Kenapa lari?" desak Arka yang kini duduk pada kursi panjang tepat disamping Alinka,
"Kau melihat semuanya?" balas Alinka lirih seraya tertunduk dalam, tak berani menyaksikan bagaiamana cara Arka melihatnya sekarang.
"Kau harusnya menghajar pria brengsek itu,"
"Apa perlu aku yang melakukannya?"
"Kumohon tenanglah,"
"Aku tidak lari"
"Hanya saja, rasanya aneh dan sedikit sakit jika tetap berada disana" terang Alinka lewat kata yang samar, lalu pelan-pelan mengangkat rautnya, membuat mata mereka kini saling bertemu.
Menyaksikan bagaimana Arka yang kian bisu, seketika sudut-sudut bahunya kembali melorot dengan lemah. Bersama wajah yang kembali ia tekuk dengan lesu.
"Kemarilah,"
"Apa kau terluka?" Ujar Arka kemudian, lewat intonasi yang dipelankan. Meraih kedua tangan Alinka lalu memeriksa setiap sudut tubuhnya dengan cemas.
"Kau fikir dia bisa melukaiku?"
"Aku menguasai ilmu bela diri, kau ingat?" bela Alinka,
"Lalu kenapa menangis?"
"Entahlah, rasanya air mataku mengalir begitu saja"
"Lalu kenapa tanganmu bergetar?" desak Arka, seraya menunjukkan tangannya yang terus bergetar dibalik genggamannya,
"AKU MALU"
"Malu dengan diriku sendiri,"
"Malu dengan orang-orang yang mengamatiku disana,"
"Malu tampak bodoh dihadapanmu"
"Aku merasa ditipu"
"Jatuh cinta dengan bodohnya, dan kini ditipu begitu tega" isak Alinka yang kini perlahan tumpah, tak lagi bisa ia sembunyikan lewat sikap acuh dan diamnya yang kentara.
Arka bisu, bingung harus mengatakan apa. Iapun melayangkan lengannya yang kekar menuntun tubuh Alinka yang masih dipenuhi isak tangis kearahnya. Berusaha untuk menyembunyikan isaknya yang semakin diluar kendali.
"Jangan mengasihaniku" tegas Alinka, seraya menegakkan wajah yang sebelumnya terus ditekuk lesu, membuat mata mereka saling bertemu.
"Aku, kasihan?"
"Dengan gadis tengil sepertimu?"
"Come on, dengan tanganmu ini kau bahkan bisa mematahkan leher pria manapun dengan mudah" balas Arka dengan nada yang kian meledek.
"Pergilah" bentak Alinka kasar, sambil mendorong tubuh Arka menjauhinya,
"Oke fine"
"Ingin pulang bersama?" cengir Arka, yang seketika kembali mencairkan suasana.
"Kufikir,"
"Pilihanku melepasmu dulu adalah pilihan terbaik yang bisa kuambil"
"Melepasmu pergi bersama orang lain,"
"Membiarkanmu bahagia bersama orang lain meski aku tidak bahagia dengan keputasan itu"
"Lagi-lagi aku salah, membiarkanmu bersama pria brengsek untuk kesekian kalinya dan sekali lagi, kau kembali patah"
"Aku tidak akan lagi menjadi sipengecut, yang hanya bisa mencintaimu lewat balutan kepura-puraan"
"Aku akan memperjuangkanmu dengan penuh, menghadapi setiap resikonya dan tidak akan membiarkanmu kembali menghilang dari duniaku"
"Kau tidak boleh pergi"
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi," batin Arka, mempertegas situasinya saat ini. Ia menyesali setiap pilihan hidup yang ia ambil selama ini dan bertekad akan memperbaiki semuanya.
"Ayo" ujar Arka, setelah sesaat memberi jeda akan situasinya,
"Ke?"
"Udah ayo" desak Arka seraya menarik tangan Alinka menuruni balkon dan menuju tempat yang paling menyisakan banyak kenangan.