■
Ⅲ
■
Para adik tingkat mulai memasuki gedung di depan, begitu pun aku yang menyuruh You untuk segera mengikuti mereka.
"Masuklah, nanti aku akan berjaga di dalam juga," tuturku kepada
You.
"Yup, makasih Mave dan Libiena, sudah menemaniku sampai depan gedung ini." You tersenyum kepada kami berdua dan mulai memasuki gedung tersebut.
Aku menatap Libiena, matanya masih tertuju kepada pintu yang baru saja dilalui You. Wajahnya memberikan senyuman tulus layaknya sahabat, tapi sebenarnya You sendiri adalah rivalnya dalam hal percintaan.
"Kita perlu ke ruang Komdis terlebih dahulu atau tidak?" tanyaku.
"Oh iya, kita akan mengatur strategi untuk penutupan."
"Penutupan? Apa acara ini cuma satu hari?"
"Iya, selanjutnya kita akan mengadakan malam keakraban. Di sana hal seru akan terjadi, hehehe." Libiena melirikku dan mulai tertawa kecil.
Hal seru apa? Jangan buat aku penasaran dong.
"Apa maksudmu?"
"Bukan apa-apa, kau tunggu saja." Libiena mulai berjalan dan aku mengikutinya.
"Semoga saja waktuku masih ada."
Aku tidak bermaksud mengatakan itu, ucapan itu terlontar tanpa aku bisa mengontrolnya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?
Libiena menghentikan langkahnya dan menatapku heran. Dia menjinjitkan kakinya dan tangannya menyentuh dahiku.
"Bicara apa kau baru saja? Tentu saja waktumu masih lama, apa kau sudah bosan hidup dan berkata seperti itu?"
"Tidak—bukan seperti itu maksudku. Jangan dipikirkan." Aku memegang tangannya dan mulai menariknya untuk berjalan kembali.
Ruangan yang kami tuju sudah ada di depan mata. Perlahan pintu yang awalnya tertutup, mulai terbuka akibat gaya dorong yang dikeluarkan Libiena.
"Selamat siang semua!" sapa Libiena kepada anggota lain yang sudah duduk di kursinya masing-masing.
"Kalian berdua hampir saja telat, loh, jangan sampai kalian melupakan identitas asli kalian!" Salah satu dari mereka mengucapkan kalimat itu.
Aku dan Libiena berjalan menuju ke kursi yang kosong.
"Apa yang terJadi tadi pagi Rick? Bagaimana bisa kau dipukul oleh adik tingkat itu?"
"Dia tidak memakai sabuk yang benar, aku ingatkan dia tapi malah membalas memukulku."
"Jika kejadiannya seperti itu, kita bisa laporkan kejadian tadi ke Dosen."
"Tidak perlu." Libiena memotong pembicaraan itu.
Kami berdua duduk di sebuah kursi dengan meja bundar di depannya.
"Pacarmu sendiri sedang ada masalah, tapi malah tidak kau bela? Buat aku saja kalau begitu!" Wanita di depanku membalas ucapan Libiena.
"Coba singkirkan aku dulu, baru kau bisa memilikinya." Libiena menyilangkan kedua tangannya.
"Itu mudah sekali."
"Meskipun kau bisa menyingkirkanku, aku masih punya kartu AS." Libiena tersenyum kepada wanita itu.
Hei kenapa malah keluar konteks pembicaraan? Sebenarnya apa yang akan dibahas di sini? Aku atau agenda penutupan?
"Sudah cukup! Mari kita mulai diskusi untuk penutupan nanti." Aku mengetukkan pulpen ke meja.
●●●
Sudah sore saja hari ini, aku masih berada di kampus untuk melaksanakan penutupan Ospek yang akan dilakukan beberapa menit lagi. Suara riuh mulai diberikan oleh teman-teman Komdis, mereka mulai memberikan evaluasi terhadap adik tingkat yang lakukan hari ini.
Aku hanya bisa melihat adik tingkat yang saling menatap satu sama lain dari gedung seberang, ada yang menahan tawa, ada yang takut, dan ada yang siap menerima evaluasi.
Kenapa aku tidak ikut memberikan evaluasi? Itu karena Libiena yang sedari tadi memegang tanganku, alasannya adalah evaluasi bukan tugas ketua dan wakilnya.
Dia melarangku pergi ke ruangan itu, dasar Libiena ini ....
Semoga saja You tidak takut akan gertakan-gertakan yang dilakukan oleh temanku. Aku khawatir You menjadi takut hanya karena hal tersebut, bertahanlah You.
Sebentar lagi ... acara penutupan akan dimulai. Rencana yang telah kami buat adalah semua mahasiswa harus memilih satu teman sebagai pasangannya, entah itu sesama laki-laki maupun perempuan. Setelah itu, mereka akan menari di panggung yang telah disiapkan.
Bukankah itu cukup kekanak-kanakan?
Ide tersebut muncul dari temanku, dia beranggapan bahwa hal tersebut akan menambah relasi antar mahasiswa dan melepas tekanan dari Ospek hari ini.
Aku ingin membasuh muka, tapi tangan ini masih dipegang erat oleh si Libiena.
"Hei Libiena, aku mau ke kamar mandi dulu."
"Aku ikut." Libiena kini memelukku.
Sial, jawaban macam apa itu. Bukankah dia yang terlihat mesum daripada aku? Kenapa dia itu sangat mirip dengan You? Jangan- jangan dia adalah kembaran jauh You?
"Bodoh!! Mana mungkin aku mengizinkanmu." Aku berusaha melepas dekapan tangan Libiena, tapi dia tidak mau melepasnya.
"Pokoknya aku ikut!!" Libiena mendekap tanganku lebih erat.
Aku bisa merasakannya, sensasi yang diinginkan setiap pria. Lenganku didekap menyentuh dadanya, bahkan lengan itu tidak bisa bergerak. Dia sangat ingin ikut aku ke kamar mandi ….
Baiklah, lagipula aku hanya ingin membasuh muka saja.
"Baiklah tapi jangan masuk ke dalam, kau tunggu di luar, ya!" Aku mulai berjalan dengan tangan yang menyeret sosok Libiena di belakang.
Benar, aku seperti menyeret anak kecil yang tidak ingin ditinggalkan oleh ibunya.
"Ehehe asyik bisa melihat ...." Libiena tidak melanjutkan ucapannya.
Otakku yang mendengar ucapannya itu langsung menjelajah ke mana-mana. Jangan bilang orang ini ternyata sangat mesum? Bagaimana aku memiliki pacar yang sangat mesum ini, apakah akal pikiranku yang dulu masih sehat?
Aku ragu akan hal itu.
"Jadi, apa yang ingin kau lihat?" Aku menoleh ke belakang menatap Libiena.
Libiena yang dari tadi terseret oleh laju tubuh besar ini karena dia mendekap tanganku, perlahan mulai mengeluarkan warna merah pada wajahnya.
"Bodoh, a—apa yang kau bicarakan. Aku tidak bicara ingin melihat apa pun. Apa kau sudah ingin melakukan hal itu denganku?"
Tanganku dilepas olehnya, kami berdua berhenti melangkah dan saling menatap. Buruknya, sekarang keadaan tengah berbalik. Setelah mendengar pertanyaan itu, wajahku seakan memanas memancarkan warna merah yang sama dengan Libiena.
"Melakukan hal apa? Bodoh!!? Ma—mana mungkin bisa begitu. A—Aku kan masih kuliah, begitu pun denganmu. Kau ini kenapa berpikiran yang macam-macam, sih?!" Aku memalingkan kepala dan mulai berjalan ke depan, sebenarnya aku sangat malu mendengar pertanyaan aneh itu.
"Padahal kau bisa melakukannya ...." Libiena memegang ekor bajuku, wajahnya memerah menatapku lemas.
"Bodoh!!? Jangan diperpanjang lagi masalah itu!!"
Apakah ini yang dinamakan masa muda? Berbicara hal dewasa yang tidak jelas seperti itu, atau ini hanya dilakukan oleh si Libiena mesum ini? Duh—pikiran ini menjadi kacau sekali, aku jadi mengingat bentuk tubuh You saat malam itu.
Sial, pikiranku tidak beres.
●●●
Sekarang adalah waktu pertunjukannya. Waktu berlalu dengan cepat, tidak ada yang tahu penyebab fenomena tersebut. Kami panitia dan adik tingkat sekarang berkumpul kembali di tempat yang sama seperti tadi pagi.
"Cepat baris!!" Aku berbicara tegas dengan bantuan megafon di tanganku.
Di depanku terdapat ratusan mahasiswa baru yang sedang sibuk mengatur barisannya. Mereka menghabiskan waktu yang lumayan lama untuk membentuk sebuah barisan.
Aku mulai mengangkat kembali megafon di tanganku mendekati mulut. Waktunya aku berbicara.
"Baiklah, saya ucapkan selamat kepada adik tingkat semua yang telah melewati Ospek pada hari ini!!!"
"Wuuhh!!! Yeah!!!" Suara riuh terdengar dari gerombolan di depanku.
Mereka senang atau kesal?
"Selanjutnya, kita akan bertemu lagi pada malam keakraban satu bulan ke depan. Saya mengharapkan kalian semua bisa beradaptasi dengan para mahasiswa di fakultas lain!!"
Dingin. Diam. Tidak ada suara dan respon apa pun.
Angin yang perlahan meresap ke dalam tulang di tubuhku, beserta dengan itu beberapa suara bisikan terdengar di telingaku—"Ketua Komdis itu keren banget, bakal aku jadikan gebetan habis ini." "Hei itu milikku, ayo kita bersaing untuk mendapatkannya," membuatku menekan sedikit pikiran untuk mencerna ucapannya.
Apa yang mereka bicarakan?
"Baiklah, mari kita ke acara penutupan yang detailnya akan disampaikan oleh teman kami, Libiena."
Aku turun dari podium dan mengulurkan megafon kepada Libiena. Tunggu—dia tidak menerima megafon ini. Apa yang dia lakukan? Dia melewatiku begitu saja. Marah?? Kejadian di kamar mandi itu membuatnya marah??
"Hei Libiena, jangan buat aku malu. Kau tidak mungkin akan teriak-teriak, kan? Ambil megafon ini!" Aku berbalik ke arahnya dan mengulurkan megafon di tanganku.
Libiena menoleh ke arahku dan mengambil megafon itu. Setelahnya, Libiena menaiki podium layaknya ingin berpidato pasal agama.
"Hal yang ingin kusampaikan pertama kali, aku bukan teman seperti yang dikatakannya barusan. Aku adalah pacarnya!!!"
Gila. Brutal sekali!!
Wanita ini sangat tidak waras. Pikiran apa yang tertanam pada Libiena itu? Aku mengubur wajah di dalam tangan ini, rasa panas di wajah ini sudah tidak terelakkan lagi. Di depan pun, adik tingkat itu terdiam bak tidak memiliki mulut lagi untuk berbicara.
"Kemudian, sore ini kita akan memulai sebuah acara penutupan!!" Libiena menaikkan kedua tangannya seolah memberi jaminan kesenangan kepada para adik tingkat.
"Yeah!!! Yeey!!!" Suara keheningan dipecahkan oleh teriakan riuh adik tingkat.
"Ayo kita mulai saja!!" "Lebih cepat lebih baik, ayo kita lakukan!!" Suara itu terdengar dalam riuh yang diciptakannya.
Libiena kembali menekan tombol pada megafon itu yang menyebabkan beberapa desibel suara keluar dari alat itu.
"Sekarang, kalian cari pasangan untuk memulai acara ini. Jika kalian tidak menemukan lawan jenis, cari yang sesama jenis. Jika ada yang tidak memiliki pasangan, dia akan diberi hukuman. Tenang, hukumannya tidak berat, hanya membaca puisi yang diciptakan secara spontan di tempat ini!"
Tidak berat apanya!? Mana mungkin orang akan menjadi pujangga dalam beberapa menit saja, kan? Lagi pun, tidak ada diskusi siang tadi yang mengatakan akan ada hukuman. Libiena ... kau sungguh wanita yang aneh.
Suara derap kaki yang bertubrukan mulai bisa membuat sebuah alunan drum. Adik tingkat itu mulai mencari pasangannya masing- masing. Lalu dalam pikiran terbesit sosok You, apakah dia bisa menemukan pasangannya?
Aku kembali naik ke podium mendekati Libiena dan mulai mencari keberadaan You di dalam hiruk-pikuk yang sedang terjadi. Di mana You ... itu dia, eh—dia sudah menemukan pasangannya.
Seorang wanita ... aku seperti mengenalinya—oh ya, dia adalah sosok yang aku tolong di tangga tadi siang. Huh ... dia sudah sembuh?! Aneh sekali.
"Baiklah, jika semua sudah mendapatkan pasangan. Aku akan menjelaskan aturan dari acara penutupan ini!!"
Seiring dengan Libiena berbicara mengenai permainan yang akan dilakukan, aku menutup kedua mata. Rasa riuh yang dihasilkan ratusan orang di depan itu perlahan meluruh secara misterius.
Tenang. Diam. Sejuk.
Aku membuka kembali mata, tapi—di depanku tidak ada siapa pun. Hanya satu sosok yang berada di depan sedang menghadap ke tubuh ini.
Siapa dia?! Di mana semua orang?
"Mave, siapkan keteguhan hatimu. Aku akan membantumu mengingat siapa dirimu." Wanita itu tersenyum dan perlahan menghilang menjadi kabut.
Seketika mataku kembali terbuka menuju dunia yang asli. Ratusan orang di depan masih ada beserta dengan suara berisiknya. Aku menoleh ke arah Libiena, tetapi dia menatapku sedih. Apa yang terjadi?
Rupanya ini ... aku meneteskan air mata yang tidak disadari oleh diriku sendiri.
"Aku tidak apa-apa, lanjutkan saja acaranya. Biarkan aku menyendiri sebentar."
Libiena mengangguk, "Baiklah, sebentar lagi akan aku mulai acaranya!?" tegasnya.
Aku berjalan turun dari podium dan menjauh dari acara setelah berbicara kepada anggota Komdis. Ketenangan sangat berarti untukku. Sebuah keheningan itu diperlukan untuk tubuh agar bisa beradaptasi dengan hilang ingatan sialan ini!!
Setelah mendapatkan tempat yang sepi, tepatnya di belakang sebuah gedung. Rumput hijau yang terhampar membuatku ingin tidur di atasnya.
Brughh.
Aku merebahkan tubuh ini di atas rumput hijau itu. Padahal ini bukan kasur, akan tetapi sangat nyaman untuk tidur di sini. Aku memutuskan untuk menatap langin dan mengosongkan pikiran.
Siapa sosok yang kutemui baru saja? Setelah dipikir-pikir, dia bukannya sosok yang dua hari ini pernah kutemui, ya? Dia juga sedikit mirip dengan You ... kurasa.
Eh—Tunggu, aku baru saja berpikiran sosok itu mirip You? Benar juga ya, dia memanggilku dengan nama Mave. Apakah ada yang memanggilku dengan sebutan itu selain You?
Ah sialan!! Bikin pusing saja dunia ini!!!
Sudah seperti permainan petualangan saja yang harus menyelesaikan misi sebelumnya agar bisa melanjutkan petualangan itu.
♦
DI ALAM MIMPI
♦
"Di mana ini?"
Aku mengusap kedua mata dan mulai memperhatikan keadaan sekitar.
"Rupanya masih di kampus."
Aku berdiri dan mulai menuju ke tempat acara penutupan Ospek. Namun, sesampainya di sana, indra penglihatan ini tidak menangkap gambaran akan siapa pun terkecuali satu sosok wanita yang sedang membelai sebuah bunga di taman dekat lapangan.
Aku mendekati wanita tersebut. "Apakah acaranya sudah selesai?"
Wanita itu menoleh kepadaku. "Apa maksudmu, Mave? Apakah ada acara yang terjadi baru saja?"
Dia ... dia adalah sosok yang sering kutemui akhir-akhir ini!
"Hei, siapa kau??"
"Pada akhirnya, kau juga akan mengenaliku."
"Jangan bercanda, kenapa kau selalu datang di waktu yang aneh kepadaku?"
Wanita itu tersenyum kecil. "Setelah matahari sudah terbenam, aku akan kembali membantumu."
Apa yang wanita ini bicarakan? Bukankah kisahku ini cukup rumit dan malah lebih merujuk ke sebuah teka-teki?
"Tersenyumlah, Mave! Tidak semua malam itu gelap, malam juga bisa berwarna seperti bunga ini." Wanita itu tersenyum dan mengulurkan sebuah bunga semanggi putih kepadaku.
Sesaat setelah aku menerimanya, pandanganku kembali kabur dan akhirnya kembali menghitam. Tidak ada yang bisa kulakukan dan kurasakan setelah itu, sebelum sebuah cubitan di pipi membawaku kembali ke realitas.