.
.
Aku sedang membawa Yukina menuju ke ruang yang terbuka agar tidak ada benda yang bakal melukai kami akibat gempa ini.
"Ricky, kita mau ke mana?"
"Ke tempat yang aman."
"Mom dan Dad bagaimana?"
Seakan waktu itu berhenti, tubuhku tidak bisa bergerak. Meskipun gempa ini masih terjadi, tubuhku seakan tidak merasakannya.
Bagaimana bisa aku melupakan keberadaan Mom dan Dad?
Bukankah aku yang terburuk?
Tidak perlu berpikir lebih lama lagi, aku kembali meraih tangan Yukina untuk kembali menuju ke rumah Oba. Sepertinya aku sudah berlari cukup jauh, akan tetapi rumah Oba masih belum terlihat.
Gempa ini akhirnya berhenti, aku sangat bersyukur dengan sepenuh hati. Dengan ini aku tidak perlu khawatir dengan keadaan Mom dan Dad.
Terima kasih Tuhan.
Itu adalah kalimat dengan penuh senyuman pada wajah Maverick Satourii, sebelum sesaat merubahnya.
Seharusnya aku tidak pernah mengatakan kata-kata itu, apa yang sudah kau lakukan, Tuhan?
Mataku terbelalak seolah ingin copot dari tempatnya, jantung yang tertanam di dada seakan berhenti berdetak, dan kaki yang menopang tubuh ini seakan tidak bisa berdiri lagi.
Tubuhku roboh, seperti halnya rumah Oba di depan yang sudah roboh.
Yang ada di pikiranku sekarang hanyalah kekosongan, apa yang harus dilakukan? Apa yang sudah terjadi? Semakin bertambahnya detik, pertanyaan-pertanyaan kian mengisi kekosongan di pikiranku.
"Ricky, katakan padaku ini hanya mimpi!!?"
Suara tangis Yukina yang perlahan mengeras membuatku ingin membungkamnya.
"JANGAN BERISIK ADIK SIALAN!!!"
Suaraku menyatu dengan udara di sekitar, membawanya pergi entah ke mana beserta dengan kekesalanku akan takdir yang kini diterima olehku. Air mata yang terakhir kali keluar beberapa tahun yang lalu pun kini kembali.
Aku ingin mati.
Tolong ... bunuh saja di—riku.
Apa kepergian orang-orang terdekatku masih belum memuaskanmu, Tuhan?
Kini aku akan sangat mem—bencimu, Tu—han.
"Mave? You? Itu ka—lian, kan?"
Dalam sekejap, tubuhku melentur, seolah energi yang dibuang tadi telah kembali terserap. Aku mengusap air mata yang terjatuh dan mulai mencari sumber suara itu. Tidak salah lagi, itu adalah suara Mom.
Aku menggandeng tangan Yukina dan mencoba mencari suara di balik reruntuhan rumah itu. Setelah beberapa menit kami menyingkirkan puing-puing reruntuhan, aku bisa melihat Mom dan Dad yang tubuhnya tertimbun kayu besar.
Kondisinya buruk, sangatlah buruk!! Bahkan jika berpikir logis, saat kayunya telah diangkat, aku tidak yakin mereka berdua akan hidup dengan normal.
Bagaimana ini? Sebaiknya jangan menyerah terlebih dahulu, melihat mereka masih hidup sudah cukup meyakinkanku. Apabila mereka tidak bisa hidup normal lagi, aku akan bekerja membiayai mereka.
Tidak akan kubiarkan Tuhan mengambil orang yang kusayangi lebih dari ini lagi.
"Mom!? Dad!? Akan aku angkat kayu ini, Yukina, kau cari bantuan dari tetangga!!" Aku berusaha menarik kayu yang ada di depan, tetapi tidak bergerak sedikit pun.
"You, kembali ke sini!" Suara Dad menghentikan langkah Yukina yang hendak mencari bantuan.
Aku berteriak kesal dengan sikapnya, "Apa-apaan kau, Dad?! Kalian itu butuh bantuan orang lain!!" Aku mendorong Yukina untuk tidak kembali ke sini.
"Mave hentikan!! Jangan coba melawan kata-kata Dad!!" Dad membentakku dengan keras.
"Ta—tapi—" Aku kembali berjongkok untuk mengangkat kayu besar itu.
Tangan Mom berusaha meraih telapak tangaku. "Dengarkan kata-kata ayahmu!"
Aku tidak bisa menahan air mata, kenapa mereka malah mengorbankan waktu yang tersisa hanya untuk bicara? Bukankah akan lebih baik jika meminta bantuan?
"Mave, sekalipun kalian min—ta bantuan pada tetangga, nyawa ka—mi sudah tidak terjamin lagi." Dad mengatakan kalimat itu dengan terbatuk-batuk.
"Apa maksudnya itu?! Meskipun begitu, aku akan bekerja dan merawat kalian, kumohon jangan sia-siakan waktu ini!"
"Kau ti—dak bisa mengetahui kehendak Tuhan, Mave." Mom memegang erat punggung tanganku.
"Sepertinya takdir—kami memang berakhir di sini. Mave jangan pernah—nakal lagi ya dengan You," ucap Dad terbata-bata.
Lagi dan lagi, Tuhan mempermainkan bidaknya. Niatku untuk mengelak dari ketentuan Tuhan malah dirusak oleh orang tuaku sendiri.
Mau tidak mau, aku dan Yukina kembali duduk untuk mendengarkan ucapan orang tua kami yang sekarat.
Hahaha. Sungguh lucu sekali dua anak kecil duduk di saat orang tuanya meringis kesakitan.
Ini kan yang Tuhan inginkan? Benar, ini yang Tuhan inginkan. Dia ingin melihat manusia ciptaannya berekspresi dengan keinginannya.
"You, jangan menangis. Dad tidak akan senang jika kau menangis." Dad sama sekali tidak memiliki kekuatan di balik otot besarnya itu sekarang.
Aku mencoba mengangkat kayu yang menimbun itu kembali, tapi masih tidak bisa. Sepertinya, kayu itu tidak mau berdamai dengan tenaga anak yang berusia 13 tahun dengan berat badan 47 kilogram ini.
Aku melihat ke arah Mom yang sepertinya sedang mengumpulkan tenaga untuk berbicara.
"Mave, kau itu me—mang orang yang baik. Kau itu seperti ayahmu, memikirkan orang lain le—bih penting daripada memikirkan tentang dirimu sendiri." Mom menarik napasnya kembali.
"You jangan me—nangis, ya, Mom akan lebih senang jika kau akur de—ngan Mave. Dia adalah orang yang baik."
Suara Mom sudah tidak terdengar lagi, akan tetapi aku masih bisa melihat senyumannya itu.
"Apakah kau tahu arti dari kata Maverick?" tanya Dad.
Aku hanya menggeleng lesu menahan air mata melihat kondisi mereka.
"Maverick be—rarti orang yang tidak biasa, sosok yang berbeda dengan orang pada umumnya. Dia yang akan se—lalu maju tanpa rasa takut di hatinya, itulah dirimu, Maverick. Uhukk!!"
"Tolong Mom, Dad, aku harus mencari bantuan agar kalian selamat." Aku berusaha membujuk orang tuaku agar mereka mau diselamatkan.
"Lalu You, apakah kau tahu arti dari Yuukiho?"
Suara Mom seolah mengabaikan pernyataanku baru saja dan melanjutkan perkataan Dad tentang arti namaku baru saja.
"Yuuki adalah keberanian, kau adalah orang yang berani melewati dinding di depanmu. Mental orang yang berani—berbeda dengan orang biasa, untuk itu kau adalah orang yang berbeda. Namamu—memiliki arti yang mirip dengan Maverick, kau benar-benar harus akur dengannya."
Aku dan Yukina masih tetap duduk terdiam, apa yang harus dilakukan sekarang? Mereka akan mati jika aku tidak bisa memanggil bantuan. Hening sekali saat ini, aku ingin berbicara kepada mereka tapi hati ini benar-benar tidak sanggup. Ya, aku dan Yukina sedari tadi menangis karena merasa bahwa orang tercinta di depan itu akan segera tiada.
Ding-dong-ding-dong.
Tiba-tiba, suara dari speaker pengumuman terdengar, mengagetkan telinga dan memecah keheningan.
"Harap semua warga sipil segera meninggalkan area pantai dengan radius 4 kilometer, Badan Penanganan Bencana mengatakan bahwa gempa yang baru saja terjadi akan mengakibatkan tsunami."
Hatiku hanya ingin tertawa mendengarnya, bagaimana tidak—orang tuaku sedang diambang kematian, lalu akan terjadi tsunami.
Sungguh baik sekali Tuhan yang selama ini aku anggap ada.
Baik sekali. Sangatlah baik hingga aku ingin terus menyembah Dia.
"Kau dengar itu? Pergilah ber—sama You menuju tempat yang aman." Mom memegang jariku dengan sisa tenaganya.
Sekarang aku akan berbicara dengan sejujurnya. Setelah memegang tangan Mom dengan kedua tanganku, aku lantas mengucapkan hal ini dengan sepenuh hati.
"Lebih baik aku akan mati di sini bersama kalian berdua. Hal itu justru lebih baik daripada pergi seperti pecundang dari sini."
Tentu saja, raut wajah Mom dan Dad sangat terkejut, bahkan suara tangisan Yukina kini kembali terdiam.
"Benar kata Ricky, aku tak akan meninggalkan kalian!!" Yukina menambahkan suaranya.
"Tidak bisa begitu, bukan—kah Mom sudah bilang kau tidak mengetahui takdir dari Tuhan?"
"Sepertinya, kita akan berte—mu di lain waktu, Ma—verick Satourii, Dad akan merindukanmu."
"Huh? Apa maksud kalian?"
Aku jelas kebingungan, tapi itu tidak bertahan lama karena ada suara di belakang kami yang terdengar.
"Apa yang terjadi? Kalian berdua harus pergi dari sini?"
Aku menoleh ke belakang, ada 4 orang yang berdiri di antara reruntuhan rumah. Seolah mendapatkan cahaya kembali, aku kembali berkata dengan girang di dalam hati.
Akhirnya aku bisa menyelamatkan orang tuaku.
"Tolong kami, orang tua kami tertimpa reruntuhan kayu itu. Bisa kalian bantu mengangkatnya!?" Aku berdiri dan berteriak kepada mereka.
Warga itu kini berjalan mendekatiku dan Yukina, tapi mereka malah mengulurkan tangannya kepada kami berdua.
"Tu—tunggu, apa yang kau lakukan?"
Warga itu menarik tanganku dan memaksa tubuh ini untuk berlari meninggalkan tempat Mom dan Dad.
"Tidak ada waktu lagi, tsunami akan terjadi beberapa menit lagi."
Bohong!! Mereka tidak datang menolong?
"Lepaskan aku!!! Mereka adalah orang tuaku, mana mungkin aku meninggalkannya!!"
Aku berusaha melepaskan genggaman pria itu, tapi dia tidak mengizinkan tenaga yang dimiliki olehku untuk melawannya.
Aku melihat ke arah Yukina, wajahnya menatap kosong dunia ini. Dia benar-benar tidak berdaya, pria itu sampai membawanya berlari dengan menggendongnya.
"Mave!! Ini kata terakhir da—ri Dad, kau tidak akan sendirian di dunia ini, selalu ada ka—mi di hatimu!!" Dad berteriak, mungkin untuk tetakhir kalinya.
"Jangan lupa, Mave, jadilah—pahlawan favorit untuk You!!"
Suara dari Mom menggema di telingaku bersama dengan senyuman kedua orang tua tersayangku yang kini tertinggal belakang.
Senyuman itu ... aku ingin melihatnya lagi ....
Kenapa? Bukankah orang-orang ini adalah penjahat?
Bukankah orang-orang ini bisa membawa orang tuaku juga?
Kenapa Dad dan Mom rela untuk ditinggalkan?
Mereka ditinggalkan untuk mati.
Ini hanya sebuah mimpi buruk, semoga saja begitu. Saat aku terbangun nanti, mungkin Mom sudah ada di depanku dengan celemek khasnya.
Benar, Mom pasti akan segera membangunkanku dari mimpi buruk ini. Aku yakin itu.
Setelah itu, aku memutuskan untuk menutup mata dan terbebas dari mimpi buruk ini.
.
.
Aku terbangun dari mimpi buruk.
Itulah yang awalnya kuharapkan, akan tetapi Tuhan kembali menolaknya.
Orang tuaku telah mati, sore ini mereka tertimpa reruntuhan kayu dari rumah Oba yang roboh.
Benar, seorang bocah yang malah melihat orang tuanya meninggal daripada mencari bantuan, itulah aku. Penyesalan selalu berada di akhir, sebagaimana sekarang aku selalu berpikir hal yang lebih masuk akal.
Kenapa aku tidak bisa membantah perintah kedua orang tuaku untuk sekali saja?
Jika kulakukan, tentu saja mereka berdua akan selamat.
Haha. Setelah dipikir-pikir, bukankah aku yang pantas disebut penjahat?
Dari bukit yang tinggi ini, bisa terlihat di depan sana hanya ada reruntuhan dari bangunan-bangunan yang baru saja terkena tsunami.
Malam yang harusnya berwarna gelap, di mataku ini hanyalah ada warna putih. Harusnya tidak akan terjadi hal mengerikan seperti ini.
Kenapa ini terjadi?!
"Itu karena kau, Maverick Satourii."
Suara? Siapa? Aku melihat ke arah You, tapi dia sedang menangis. Siapa yang baru saja bicara??
"Jika saja kau tidak meninggalkan mereka berdua tadi, kau akan bisa menyelamatkan mereka."
"Tidak, siapa kau? Di mana kau? Kenapa kau menyalahkanku?" gumamku kecil.
"Tidakkah kau menyadari bahwa mereka sedang berusaha keluar rumah sebelum sesaat rumah itu runtuh? Mungkin saja mereka sudah memanggilmu berulang kali untuk tidak meninggalkan mereka, tapi kau malah pergi sendiri dengan adikmu."
"Tidak, aku tidak meninggalkan mereka, aku benar-benar lupa. Tolong, tunjukkan dirimu! Aku tidak mungkin gila!!" Aku mulai berdiri dan mencari orang yang berbicara itu.
"Hahaha, aku benar-benar tak menyangka bahwa ayahmu betulan menahan rumah yang roboh seperti ucapannya."
Brakk!!!
Aku membenturkan kepala ke tanah. "Kau tidak berhak tertawa dan mengejek orang tuaku!!??"
"Hei, kau kenapa, Dik?"
Semua ini salah siapa?
Apa benar ini salahku?
Apa benar aku yang membunuh mereka?
Tidak! Itu tidak benar.
Jika saja Yukina tidak mengajak liburan ke pantai, semua ini tidak akan terjadi.
Benar, semua ini salah Yukina.
"Apa yang akan terjadi setelah ini?"
Suara itu—aku sangat membencinya, aku tidak ingin mendengar suara itu lagi.
"DIAM!! KAU MASIH JUGA TIDAK SADAR!?"
Aku berdiri dan berteriak kepada Yukina hingga dia terjatuh karena terkejut.
"Kenapa kau ma—marah padaku?"
"KENAPA!? Jika kau tidak mengajak Mom dan Dad untuk liburan ke pantai, mungkin malam ini aku masih bisa melihat senyuman mereka. Kau masih tidak menyadari kesalahan itu?!!" Aku membentak Yukina dengan keras, melimpahkan semua kejadian ini kepadanya.
Suaraku melemah. "Jika saja ... k—kau tidak mengajak liburan, malam ini aku masih bisa merasakan makan malam bersama mereka."
"TAPI KAU MERUSAKNYA!! KAU MEMBUNUH MEREKA!! KAU BAHKAN AKAN MASUK NERAKA DAN TIDAK AKAN BERTEMU MEREKA LAGI SAAT MATI NANTI!!"
Aku bisa merasakan semua orang yang ada di bukit ini menatapku.
"A—aku juga tidak tahu akan terjadi seperti ini."
Yukina menangis, aku membencinya karena yang bisa dilakukan olehnya hanyalah menangis. Menangis saja hingga kau bisa membunuh Mom dan Dad lagi dengan air itu!!
"Mulai sekarang, kau dan aku akan berjalan ke arah yang berbeda. Aku membencimu Yuukiho Satourii." Dipenuhi tatapan kebencian, aku menatap Yukina beberapa detik.
"Apa ... maksudmu?"
"Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi, aku sangat membencimu. Aku akan pergi dari rumah. Aku tidak sudi hidup dengan seorang pembunuh!"
Aku pergi meninggalkannya, untuk apa tujuan hidupku jika orang tua saja tidak ada di sisi hati yang merasa kosong ini. Sekarang hanya ada satu tujuan di dalam hidupku.
Aku akan hidup bebas di jalanan, setelah itu peluangku untuk mati terbunuh akan semakin tinggi.
Setelah itu, aku akan bertemu kembali dengan orang tuaku, dengan kakek dan nenekku, dengan orang yang menyayangi mereka sebelum ada diriku.
"Tunggu aku, jangan tinggalkan aku sendirian. Kau hanya bercanda kan, Ricky?"
Plakk!!!
Aku menampar Yukina. "Jangan sentuh aku!! Pergilah ke rumah, aku akan mencari tempat tinggal lain. Aku akan kembali jika kebencianku terhadapmu sudah hilang. Semoga kita tidak akan bertemu lagi, pembunuh."
●●●
Sebuah tangan menepuk pipiku berkali-kali yang memaksa mata ini untuk terbangun dari pingsan.
"Waa!!!" Aku berteriak karena baru saja bermimpi buruk.
"Mave, akhirnya kau sadar juga! Kenapa kau berteriak?" You mengkhawatirkanku.
Tadi itu seperti bukan mimpi, melainkan ingatan yang hilang tentang orang tuaku telah kembali. Aku yakin akan hal itu, karena semua ingatan itu berkaitan dengan hidupku saat ini.
"Apakah kita masih di bunker?"
"Iya, kami bertiga bergantian menjagamu takutnya terjadi hal yang buruk padamu."
"You, bisakah kau tinggalkan aku sebentar?"
"Eh?"
You terlihat kaget, tapi dia kembali tersenyum dan mengangguk kepadaku, aku membalasnya dengan senyuman juga.
Hari ini adalah kejadian yang sangat mirip dengan kejadian waktu itu. Apa ini penyebab aku bisa mengingat kejadian itu?
Kesimpulannya, aku mengingat kejadian kematian Mom dan Dad karena kejadian tsunami hari ini menjadi pemicunya? Ya, hari ini akan terjadi tsunami ditambah dengan foto Dad yang membuat sebagian ingatan itu kembali.
Apakah seperti itu? Dugaan awal untuk bisa mengingat ingatan yang hilang itu, aku hanya perlu mencari pemicunya. Sekarang, hanya sosok Libiena dan Miyu yang belum diketahui. Namun ingatan tentang You ... kenapa aku hanya bisa mengingatnya sampai di malam aku meninggalkannya?
Sialan!? Aku hanya ingat sampai kejadian waktu itu, setelahnya hanya beberapa pecahan kaca yang ada di otak ini.
Aku beranjak dari ranjang di ruang kesehatan bunker ini dan berniat menemui ketiga orang mesum di balik pintu ini.
"Wah!? Akhirnya kau sadar juga. Kenapa tiba-tiba pingsan di ruang depan, sih?" Miyu mengomeliku.
"Kau baik-baik saja kan, Rii?"
"Ya, aku hanya sedikit lelah saja."
Aku mendekati mereka yang sedang duduk di bangku koridor bunker dan duduk di sebelah You.
"Aku minta maaf, You."
"Eh? Apa maksudmu?"
Aku menarik napas dan menatap ke arah You, "Aku mengingatnya, kejadian di mana Mom dan Dad meninggalkan kita. Namun bukannya aku berada di dekatmu, malah aku memutuskan hubungan kita. Aku benar-benar minta maaf," lanjutku sembari tersenyum.
"Akhirnya kau mengingat sepotong ingatanmu." You meneteskan air mata, sementara itu Libiena dan Miyu menatapku seolah ingin mengetahui kelanjutannya.
"Waktu itu setelah kau menamparku, aku sangatlah membencimu, Mave. Namun aku bersyukur karena kau kembali ke sisiku."
"Haa?! Rii menampar perempuan?"
"Haa?! Kak Maverick menampar perempuan?"
Kenapa mereka berdua kompak seperti itu?
"Maafkan aku, You, saat itu yang ada di pikiran ini awalnya hanyalah ekspresi senyuman Dad dan Mom yang seolah mereka akan baik-baik saja. Namun setelah kejadian itu, pikiranku hanya dipenuhi oleh kebencian akan dirimu. Sebenarnya seseorang mengatakan bahwa semuanya salahku, tapi aku msngalihkan kesalahanku padamu."
"Aku tidak keberatan jika kau membenciku, semua juga masih salahku, Mave. Sampai saat ini aku masih saja memikirkannya, jika saja—hiks—aku tidak mengajak Mom dan Dad ke pantai, mereka ... tidak akan mati. Lalu, seseorang itu siapa?"
"Entahlah, aku belum ingat siapa dia, lagian ucapannya itu sangat benar dan membuat aku kesal pada diriku sendiri."
"Maaf sebelumnya, bukannya aku ikut campur urusan kalian. Aku hanya akan memberikan saran, bukankah lebih baik kalian itu melihat ke depan saja? Karena dengan melihat ke depan, kalian bisa menjadi orang yang berbeda dengan orang lain." Libiena menuturkan ungkapan hatinya.
"Lalu, orang yang berbeda itu hanya dimiliki oleh orang yang berani melihat ke masa lalu dan menjadikannya sebuah alasan untuk tetap maju." Miyu menambahkan pemikirannya.
Aku tersenyum melihat You yang mulai berhenti menangis. "Benar juga, itulah arti dari nama kami yang diberikan oleh Mom dan Dad. Benarkan You?"
"Iya, mereka pasti senang karena kita bisa menemukan arti dari nama itu."
Blarr!! Plarr!! Bluarr!! Duarr!!
"Apa itu?!" tanyaku sedikit ketakutan.
"Kembang api," jawab Miyu.
"Ha? Tsunami nya?"
Aku melihat ke sekeliling koridor bunker ini, memang tidak ada banyak orang.
"Sepertinya sedang berlibur."
"Seriusan, Miyu!?"
"Tidak ada tsunami, prediksi mereka salah," sambung Libiena.
"Ayo, Rii!!" Libiena menarik tangan ini dan mengajakku berlari.
"Duh—Libiena curang, Mave milikku oi!?"
"Siapa cepat dia yang dapat."
Kami berempat tertawa ria meninggalkan bunker yang sudah tidak berguna lagi untuk saat ini.
Begitulah, akhir dari hari ini dengan segala kejadian pada siang dan sore tadi. Segala lelahku terbayar dengan pemandangan indah—bukan karena 3 wanita, ya, tapi karena di depan sana ada kembang api yang sangat indah. Menaburkan berbagai warna layaknya sebuah pelangi dan meleburkannya ke segala arah tanpa ada masalah.
Lalu, ingatan lama itu juga bisa kembali meskipun hanya ingatan tentang masa kecilku yang kelam, ingatan tentang malam yang seharusnya berwarna hitam menjadi putih. Ingatan yang sangat memedihkan hati dan mata. Selanjutnya, aku harap akan datang ingatan yang indah dan membuat hatiku senang.