Kepolisian Singapura
Faris berjalan menuju keluar Kantor Kepolisian Singapura ditemanin Dalas. Dia dibebaskan dari tuduhan, sebab tidak terbukti melakukan Penculikan berdarah itu dengan bukti-bukti dan berjam di Introgasi Polisi. Semua ini sudah di atur Asmir tentunya. Selain Asmir berhasil membuka Six Sense, berhasil pula mendapatkan kembali kekayaannya yang diambil Armanto.
Jadi Dia punya Dana kuat untuk menjalankan semua kejadian dalam Penculikan Armatia.
Faris dan Dalas sampai di salah satu Mobil Asmir, lalu tanpa curiga naik ke dalam mobil.
"Tuan." Faris merasa heran sebab Dalas tidak ikut naik ke mobil. "Anda tidak ikut bersamaku menemui Tuan Asmir?"
"Aku masih ada urusan," sahut Dalas tersenyum, "Tidak mengapa Kamu saja yang menemui Tuan Asmir."
"Baik. Terima kasih sudah membebaskanku."
"Sama-sama." Dalas tersenyum, namun sorot matanya menyiratkan satu kelicikan, "Ujo!" dipanggil Ujo Driver Mobil ini, "Lekas bawa Faris ke Tuan Asmir."
"Baik Tuan." Ujo paham, lalu menyalakan Mesin mobil, dilajukannya meninggalkan Kepolisian Singapura.
Dalas lalu mengeluarkan Ponsel dari Saku depan Celana panjangnya, mengetik pesan singkat, baru tersenyum licik memandang ke arah Mobil yang sudah pergi jauh dari Kepolisian ini.
+++
Armanto setengah berlari saat ini ditemanin Asgar. Tadi Dia ditelpon Asmir, dimana mengabarin Cantini meninggal Dunia karena bunuh diri di salah satu Kamar Hotel. Armanto langsung ke Lokasi ditemanin Asgar.
"Tuan." Dalas menyambut Armanto dan Asgar.
"Mana Cantini?" tanya Armanto panik, "Bagaimana bisa Dia meninggal? Kenapa Dia di sini?"
"Masuklah Tuan, di dalam ada Tuan Asmir yang akan menjelaskan."
Armanto segera masuk ke dalam kamar yang Pintunya terbuka lebar. Asgar segera menyusul.
"Tini!" Armanto melihat Cantini terkulai tidak bernyawa dipangkuan Asmir. Asmir tampak menangisin Cantini. Lalu di salah satu sudut dinding kamar ini, ada Perempuan muda yang meringkuk ketakutan, dimana beberapa bagian pakaian seksinya terkoyak. "Tini!" jeritnya segera mengambil Cantini, dipangkunya, "Tini! Tini bangun." Dia tepuk-tepuk pipi adik semata wayangnya ini, "Tini, kenapa?" Dia shock adiknya tidak merespon sedikit pun, "Mir kenapa semua ini?" ditanyanya Asmir asli yang wajahnya sudah basah air mata.
"Maafin Gue, Ar." Asmir bicara dengan gemetaran, "Ternyata Tini nekat mendatangin Imel." Ditunjuk Perempuan yang meringkuk di Dinding, "Tini mengira Gue selingkuh sama Imel. Padahal sudah Gue jelaskan semua itu tidak benar adanya."
"Loe bukannya masih di Kepolisian?" tanya Asgar yang sudah bersama Mereka.
"Dalas menjemput Gue, sebab Dia mendapat Laporan dari Mbok Ami bahwa Tini meninggalkan Penthouse untuk bikin perhitungan sama Imel. Imel bekerja di Hotel ini, dan memang pernah melayanin Gue. Tapi bukan untuk Ranjang."
"Tidak mungkin." Armanto merasa Asmir berbohong, "Loe bohong kan? Loe yang membunuh Cantini?" dituduh lagi Asmir.
"Ar, mana mungkin Gue membunuh Tini? Tini istri gue, sekaligus adik sepupu Gue yang Gue sayangin. Hal lain saat kejadian, Gue di Kepolisian."
+++
Marlia segera mengisi Tabung Syringe* dengan cairan obat sebanyak 2.5 ml, lalu cepat dibuang botol obat ke dalam plastik berwarna hitam. Setelah itu dibawanya beberapa alat Medis, segera mendekati Armatia yang tidur pulas di Spring Bed milik Lydia, duduk di hadapan gadis kecil ini.
'Maafkan Tante, Sayang,' bisik hatinya sambil memandangin Armatia yang wajahnya masih sembab air mata, 'Dengan cara ini, Tante bisa membawamu lari dari Pade Asmir Kamu itu. Kamu lebih baik hidup bersamaku, dan kelak kita bersama menghancurkan Pade Kamu itu.' Lalu dia segera meraih tangan mungil Armatia, diamati permukaan pergelangan dalam tangan anak itu, lalu mengusap satu titik dengan Kapas yang sudah dibasahin dengan cairan NaCl, baru cepat disuntikan cairan obat ke dalam nadi vena Armatia.
Baru setelah itu Dia segera bergegas merapihkan semua peralatan Medis itu, disimpan ke dalam Travel Bagnya, kemudian ditelponnya seseorang,
"Hallo." Disapa Orang itu saat panggilan telponnya dijawab, "Gimana? Sudah siap semua kan? Bagus. Jangan sampai terjadi kesalahan sedikit pun. Bagus. Oke, Aku segera ke sana." Lalu diakhiri Panggilan di Ponselnya, kemudian duduk dihadapan Armatia. Diamatin Armatia, ingin melihat apakah ada reaksi di badan anak malang ini setelah disuntikan cairan obat.
Tidak lama, Armatia kejang-kejang. Marlia segera meraba kening Armatia, terasa sangat panas, lalu tersenyum puas. Dia pun segera berteriak panik..
"Tolong! Tolong!"
Tidak lama Lydia, Fogu Assistennya, dan Kasmir Ajudannya.
"Ada apa, Nyonya?" tanya Fogu.
"Ini kenapa Armatia kejang-kejang?" Marlia menunjuk Armatia yang masih kejang-kejang, apalagi kedua mata bocah malang ini terbuka namun terbelalak ke atas.
"Astaga!" Fogu kaget melihat ini, segera ambil sendok, dimasukan ke dalam mulut Armatia, agar Armatia tidak menggigit lidah, cepat pula dimiringkan tubuh Armatia. "Nyonya, kenapa Non cilik seperti ini? Tadi Dia baik saja. Lalu juga dengan suhu badannya sangat panas?"
"Saya tidak tahu, Fogu." Marlia mulai melelehkan air mata palsunya, "Tapi tadi saya sempat memberinya Paracetamol, sebab Dia mengeluh dingin. Mungkin masuk angin sedari dibawa Mas Asmir dari rumah Mas Armanto. Lalu Dia tidur pulas. Tahu-tahu begini."
Fogu cepat menggendong Armatia yang masih kejang-kejang,
"Kita ke Cakra Hospital, Nyonya."
+++
Armanto duduk terpekur di depan Makam Cantini. Dia ditemanin Asgar, sebab Tiara tidak mau meninggalkan Artito sedetik pun. Tiara takut ada kaki tangan Asmir yang nekat menghabisi nyawa Artito.
Disisi lain Makam, Asmir duduk terpekur juga. 'Maafkan Aku Cantini,' desaunya, 'Andai Kamu mendukungku, nyawamu masih selamat, dan kita hidup bahagia bersama Rina putri kita yang baru kamu lahirkan. Tapi sekarang Aku hanya punya Marlia dan Helena. Marlia mengasuh Armatia, dan Helena mengasuh Rina.
Pelan Dalas mendekati Asmir, berbisik sesuatu di telinga Asmir. Asmir terdiam, pelan melihat ke Dalas. Dalas menghela nafas. Asmir pelan mengepalkan tangannya, tampak geram..
+++
Cakra Hospital
Tiara mengusapin pelan kepala Artito. Putranya ini masih koma, namun seluruh Peluru berhasil dikeluarkan dari badan sang putra. Harapan mereka tinggal di Artito, sebab Artito saksi kunci Penculikan Berdarah itu. Bisa membuat Mereka mengadilin dan menghukum berat Asmir.
Asmir saat ini berhasil lolos dari tuntutan hukum. Namun Tiara tidak menyerah begitu saja. Hal lain Alwin mengerahkan semua Tentara, dan orang-orang yang bekerja untuk Keluarga Satyawan mencari Armatia, termasuk ke Rumah Marlia. Namun Asmir sudah lebih dulu memindahkan Marlia dan Lydia ke tempat lain.
Di lain tempat Asmir tergesa menuju ICU Perinatologi tempat Armatia saat ini dirawat oleh dokter Asmo. Begitu sampai, dia langsung menarik Marlia menjauh, ditampar wajah Marlia, lalu dicengkram dagu Marlia, ditatapnya sengit.
"Kamu apakan anakku itu?" tanya Asmir tajam, "Katakan!" dia feeling Marlia memberikan racun ke Armatia.
"Mas!" Marlia menahan sakit sebab tangan Asmir menjepit kuat Dagunya, "Aku tidak apa-apain Armatia. Kamu yang bikin Dia demam tinggi."
"Aku? Ngawur Kamu. Lekas katakan yang sebenernya, atau kupatahkan lehermu!" Asmir kini mencengkram leher Marlia.
"Mas, Aku bicara sebenernya." Marlia megep-megep kena cekikan Asmir, "Mas membawa Armatia malam hari tanpa Jaket. Lalu Armatia sudah dalam keadaan Pingsan. Anak itu saat siuman mengeluh dingin. Aku memberinya Paracetamol. Lalu dia tidur. Tahu-tahu kejang."
"Bohong Kamu!" Asmir tahu Marlia berbohong, "Kamu pikir Aku anak kemarin sore mengenalmu? Lekas katakan Kamu mencekokin anakku itu dengan apa? Apa kamu inginkan Dia mati? Kalo sampai dia mati, kubunuh Kamu depan Lydia. Kucincang tubuhmu. Kulempar cincangan tubuhmu ke Buaya-buaya peliharaanku."
"Mas," Marlia terkesiap mendengar ini, tahu Asmir tidak main-main dengan perkataannya. "Aku tidak bohong. Kamu bisa tanyakan ke Asmo yang menanganin Armatia." Ditunjuk ICU depan mereka, "Dia masih di dalam untuk menanganin Armatia."
Asmir melepas cekikannya dari leher Marlia, "Awas kalo kamu bohong. Ingat kubunuh dan kucincang tubuhmu." Dia segera masuk ke dalam ICU, "Asmo!" Dia menemukan dokter Asmo yang masih memantau Armatia yang tidak lagi kejang, namun tidak sadarkan diri, "Apa yang terjadi sama anakku?"
Asmir berulang kali menyebut Armatia adalah anaknya.
"Ada pembuluh darah di kepalanya pecah." Sahut dokter Asmo mengarang cerita medis palsu, "Apa Kamu memukul kepalanya?"
"Dalas hanya menampar keras wajah anakku."
"Apa saat ditampar, anak ini meronta atau apa?"
"Iya."
"Berarti tamparan itu tidak semata mengenai wajah anak ini."
"Astaga!" desau Asmir, "Lakukan apa pun, Asmo!" jeritnya sambil mencengkram depan Jas dokter di badan dokter Asmo, "Aku mau dia tetap hidup! Lakukan penyelamatan ke Dia!"
"dokter!" terdengar seruan seorang Suster ke dokter Asmo,"Detak Jantung Non cilik semakin melemah." Ditunjuk Monitor pemantau detak Jantung dan lainnya saat dokter Asmo melihat ke Dia.
Dokter Asmo segera melepaskan cengkraman Asmir, bergegas melihat ke Monitor. Di cek pula nadi ditangan Armatia.
"Astaga!" serunya panik, "Suster!" jeritnya ke Suster, "Lekas ambil obat pemacu detak jantung!" jeritnya memberi instruksi, lalu kedua tangannya diletakan ke dada Armatia, ditekan-tekan untuk memompa jantung anak malang ini yang diberi racun oleh Marlia agar berkondisi seperti ini. "Ayo sayang, berdenyut lagi jantungmu lebih kuat!" desaunya merasa panik, takut beneran Armatia meninggal gegara racun itu yang dari Dia.
Asmir melihat ini semakin panik. Kalo Armatia meninggal, sia-sia usahanya menculik Armatia dari Armanto.
Sementara di ICU Remaja, Tiara menyemburkan darah dari mulutnya. Lalu,
"Astaga!" desaunya setelah muntah darah, "Siapa yang tega meracunin Tia?"