Pelaku Sebenarnya

Pak Tirta, selaku dosen biologi di Universitas Manura, menghubungi orang tua Clara dan Devaro. Orang tua mereka harus tahu bagaimana kelakuan anaknya sewaktu di kampus.

"Pak saya mohon, jangan hubungi orang tua saya. Mereka akan marah dan malu karena hal ini, Pak!"

Namun, dosen biologi itu tidak menghiraukan permintaan Clara, meskipun dirinya sudah berderai air mata.

"Perbuatan kamu ini sangat memalukan, Clara! Kamu sudah mencoreng nama baik kampus. Seharusnya kamu berpikir dulu sebelum bertindak nekat seperti ini!"

Kali ini Arya Mahendra yang bersuara. Biang kerok yang menjadi sumber masalah. Bisa-bisanya ia mengatakan seolah-olah dirinya tidak bersalah. Padahal kenyataannya ... ia bukan dosen yang baik. Jangankan dosen, dirinya tidak pantas disebut binatang.

'Kenapa Bapak tega melakukan ini kepada saya. Apa salah saya, hingga Bapak harus merenggut kegadisan saya? Bahkan Anda bertingkah seolah-olah tidak bersalah. Tapi aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Karena semua orang tidak akan percaya' gumamnya.

Ia diam seribu bahasa. Dosennya ini memang lihai dalam berakting. Gelar aktor sangat pantas diberikan padanya.

"Bapak ini sok suci banget. Saya tahu apa yang sudah Bapak lakukan. Menjijikkan!"

Dev menatap Arya seperti orang yang meremehkan. Pasalnya ia sudah memutar balik fakta dengan bersembunyi di balik kebaikannya. Benar-benar tidak bisa dipercaya, dosen tampan dan pintar itu ternyata nggak punya otak.

Sedangkan Pak Tirta, sedari tadi mencoba menghubungi orang tua mereka. Namun tidak ada jawaban sama sekali.

"Devaro, Clara, kenapa orang tua kalian tidak bisa dihubungi? Apakah mereka benar-benar sibuk sampai tidak menjawab telepon saya?" tanya Pak Tirta. Ia menatap keduanya dengan intens.

"Papa sama Mama saya sangat sibuk. Mereka mungkin ke kantor," jawabnya.

Suaranya yang terdengar dingin, membuat Tirta ingin menonjok kepalanya. Dia pikir sedang bicara sama teman sebaya apa? Tidak sopan.

"Bagaimana dengan orang tua kamu Clara?"

Ia tak bergeming, hanya menunduk malu. Tak berani menatap siapa pun. Bahkan ia tak berani menatap manik mata Dev yang telah dituduh menodainya.

Ia meremas roknya kuat-kuat. Takut dan bingung harus berkata apa. Karena ia tadi memberikan nomor palsu ke Pak Tirta. Ia tak berani menatap kepedihan orang tuanya nanti.

"Clara! Kenapa diam saja? Saya sedang bicara sama kamu!" seru Pak Tirta. Rasanya ingin meledak saja kepalanya. Masalah kemarin belum selesai, ini malah ditambah lagi. Mana masalahnya sangat berbobot.

"Hiks ... hiks ... hiks ...."

Tidak ada pilihan lain selain menangis. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Hidupnya sudah hancur, begitu pun dengan impiannya untuk menjadi dokter.

"Kok malah nangis, sih. Kamu ini salah Clara, jadi harus mempertanggung jawabkan kesalahan kamu!"

Pak Tirta tak habis pikir dengan mahasiswinya satu ini. Tadi aja berani enak-enak di gudang. Sekarang malah menangis seolah-olah menyesali perbuatan hinanya.

"Nih cewek udah nyeret gue ke masalah besar pakai nangis segala. Dasar cewek nggak punya harga diri. Salah sendiri mau di boxing sama dosen omes," gumam Dev dalam hati.

Sebenarnya ia ingin mencaci maki gadis itu, tapi niat itu ia urungkan. Karena ia merasa iba dengan tangisan Clara. Ia seperti korban yang pelakunya tidak mau bertanggung jawab.

"Karena orang tua kalian tidak bisa dihubungi, maka kalian yang harus memutuskan ...."

Pak Tirta menggantung kalimatnya dan nampak sedang berpikir keras.

"Sekarang kalian harus menikah! Saya tidak mau tahu, jika kalian ingin tetap kuliah di sini, maka ikuti permintaan saya. Nikahi Clara, dan pertanggung jawabkan perbuatan kamu, Dev. Buktikan jika kamu memang laki-laki sejati!"

"Apa? Nikah sama dia? Saya aja nggak kenal sama nih cewek, Pak. Kita beda fakultas. Bagaimana bisa saya menikahi gadis yang sudah tak perawan?!"

Tangis Clara pecah seketika. Pernyataan Dev barusan membuatnya semakin terpukul. Tapi memang benar, laki-laki mana yang mau menikah dengan gadis hina seperti dirinya? Bahkan mendekati saja akan membuatnya merasa jijik.

"Kamu ini yang merenggut kesucian Clara, jadi kamu juga yang harus menikahi dia. Kamu ini jangan lari dari kesalahan, Dev!" bentak Pak Tirta.

"Tapi bukan saya pelakunya. Saya sama sekali tidak pernah menyentuh gadis ini. Kenal saja tidak, bagaimana kami bisa melakukan hubungan terlarang seperti itu?"

Hidupnya benar-benar terkutuk. Hanya karena kebodohannya, ia harus menanggung beban yang berat. Ia sudah memiliki kekasih, bagaimana bisa ia menikah dengan gadis lain? Itu pun karena paksaan.

"Kalau begitu saya akan membuat keputusan, kalau kalian dikeluarkan dari kampus."

Pak Tirta nampak menatap keduanya secara bergantian. Ia sangat tidak percaya, mahasiswi kedokteran bisa melakukan hal sehina ini. Padahal ia berasal dari keluarga terpandang.

"Ma-maafkan aku, Dev."

Meskipun sangat lirih, Dev bisa mendengar suara itu. Permintaan maaf itu terdengar sangat tulus. Ia sepertinya menyadari akan sesuatu tentang gadis itu.

"Izinkan saya bicara empat mata dengan gadis ini. Setelah itu akan saya putuskan, apa yang harus saya lakukan," pinta Dev.

"Baiklah, saya beri kalian waktu lima belas menit. Jangan aneh-aneh lagi!"

Ia pun langsung menarik tangan mulus Clara dengan kasar. Gadis itu pun menurut saja. Karena dirinya sudah tak ada artinya lagi.

****

"Lu harus jujur sama gue, gimana kejadian sebenarnya? Kenapa lu diam saja saat semua orang menuduh gue melakukan hal memalukan sama lu? Apa lu nggak mikirin masa depan gue?"

Clara menggerakkan bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi bingung mau mulai dari mana. Semua telah berakhir, begitu pun dengan impiannya menjadi dokter.

"Kenapa diam saja? Gue bicara sama lu! Please, jangan seret gue ke dalam masalah lu. Kalau emang Pak Arya yang sudah melakukan itu, ya jujur aja. Jangan nyuruh gue buat tanggung jawab. Gue udah punya pacar," jelasnya.

"A-aku min-minta maaf, De-dev," lirihnya.

Jiwa berani dan percaya diri dalam dirinya hilang sudah. Diterpa gugusan angin yang menyapu rambut panjangnya. Terurai indah dan memanjakan mata. Wajar saja jika Pak Arya tergoda akan pesonanya.

Ia menghela napas berat. Air matanya tak mau berhenti sedari tadi. Ia tak bisa berkata-kata. Apalagi menyangkut kejadian tadi pagi.

"Heh, kenapa diem aja? Jangan bikin gue kehilangan kesabaran!" tegas Dev penuh penekanan.

"Baiklah, sebenarnya aku tidak menginginkan hal ini. Aku korban, Dev. Hiks ... hiks ... hiks ... Pak Arya jahat banget sama aku. Dia sudah menggauli aku dan merenggut paksa kesucianku, hiks ... hiks ... hiks ...."

"Jadi benar Arya pelakunya? Kenapa nggak speak up, sih? Harusnya lu langsung ngomong kalau bukan gue yang lakuin itu. Kan repot jadinya kalau begini. Reputasi gue bisa hancur, tahu nggak!"

"Maafkan aku, Dev. Aku nggak berdaya. Aku sangat sedih karena kesucian yang aku jaga untuk suamiku nanti, telah sirna oleh laki-laki yang nggak aku cintai. Aku benci diriku sendiri, hiks ... hiks ...."

Dev langsung menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Ia sangat prihatin dengan tragedi yang menimpa gadis ini. Siapa pun yang berada di posisi Clara pasti juga akan melakukan hal yang sama. Karena tidak ada perempuan yang mau memberikan barang berharga dalam dirinya secara cuma-cuma.

"Kenapa kamu ngelakuin ini ke aku? Harusnya kamu bunuh aku saja sekarang! Aku udah nggak ada artinya lagi. Nggak ada yang bisa dibanggakan dari gadis kotor seperti aku. Hiks ... hiks ...."

Ia menangis dalam pelukan Dev. Sangat nyaman, namun ia sadar diri jika dirinya tidak pantas menerima kebaikan dari laki-laki itu. Karena kebungkamannya, Dev harus dituduh sebagai laki-laki tak bermoral.

Ia segera menjauhkan tubuhnya dari laki-laki itu. Kemudian menyeka air matanya yang membasahi pipi.

"Baiklah, kalau begitu aku akan mengakui yang sebenarnya. Aku nggak mau orang yang tidak bersalah dihukum dalam hal ini. Bukan kamu yang seharusnya tanggung jawab. Tapi Pak Arya. Dia lah pelaku yang sebenarnya."

Ia mencoba untuk mengehentikan cairan bening itu mengalir. Ia harus kuat. Haknya harus diperjuangkan tanpa menyeret orang lain ke dalam lingkup api.

"Sudah terlambat Clara! Lagi pula, memang mereka akan percaya? Nggak! Tidak semudah itu," tukas Dev.

Clara menatapnya penuh arti. Apa yang dibilang memang benar adanya. Tidak akan ada yang percaya dengan air matanya. Karena mereka hanya percaya dengan apa yang mereka lihat, bukan yang mereka dengar. Mereka tidak butuh penjelasan, tapi bukti. Sedangkan ia sama sekali tak memiliki bukti apa pun.