First Kiss

Dev membopong tubuh istrinya ke kamar. Karena ulahnya yang kebablasan, ia sampai membuat Clara jatuh pingsan. Sepertinya gadis itu sangat kaget dengan ulahnya yang berlebihan.

"Duh Dev, apa yang ada di pikiran lu, sampai buat anak orang pingsan," kata Dev bermonolog.

Ia menatap wajah istrinya yang nampak sayu. Tubuhnya terasa sangat enteng, karena berat badannya tidak sampi setengah kwintal.

"Maafin gue, Ra. Harusnya gue bisa menahan nafsu gue. Gue benar-benar nggak sengaja," ujar Dev.

Ia meletakkan tubuh Clara dengan hati-hati. Kemudian, ia mengambil segelas air hangat untuk membuat istrinya sadar. Tak lupa, ia mencari minyak kayu putih untuk merangsang Indra penciumannya.

Saat Dev mendekatkan minyak kayu putih ke hidung istrinya, ia nampak mengendusnya. Mungkin sebentar lagi Clara akan segera siuman.

"Aw," ringis Clara yang masih setengah sadar.

Ia memegang kepalanya yang dirasa sedikit pusing. Padahal tidak terbentur, tapi entah mengapa rasanya pusing tujuh keliling. Ia juga tak punya penyakit bawaan. Jadi sangat aneh.

"Alhamdulillah, akhirnya lu sadar juga."

Dev menjauhkan minyak kayu putih dari wajah Clara. Kemudian meletakkan di meja yang terletak di dekatnya.

Saat matanya terbuka dengan sempurna, ia langsung tekejut karena ada sosok yang membuatnya pingsan duduk tepat di depannya.

"Aaaaaaaa ...!"

Clara berteriak seolah-olah dirinya akan diapakan oleh suaminya sendiri. Apalagi efek kecupan yang laki-laki itu berikan masih belum hilang dari ingatannya.

Seandainya saja bisa, ia ingin amnesia pada satu kejadian itu saja. Karena ia merasa aneh setiap kali Dev menatapnya dengan intens.

Dev meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Hal itu memberikan isyarat agar istrinya diam. Karena ini sudah malam dan bisa membangunkan tetangga.

"Jangan teriak-teriak, Ra! Nanti kalau ada tetangga yang denger bagaimana? Dikira aku mau melakukan kekerasan dalam rumah tangga," pinta Dev.

"Satu kampung akan bangun semua kalau suara kamu menggelegar seperti itu. Mengalahkan suara petir tahu," tambahnya.

"Ngapain kamu masih di sini? Pasti kamu mau macam-macam," tuduh Clara.

Dev mengelus dada pelan. Mencoba menahan amarahnya. Karena menghadapi istri yang agresif harus dengan cara yang lembut.

"Tadi kamu pingsan, Sayang. Makanya aku bawa ke sini. Bukannya bilang terima kasih, eh ... ini malah nuduh yang nggak-nggak," protes Dev.

Wait, sejak kapan Dev manggilnya jadi sayang? Bukankah ia sama sekali tidak mencintai Clara? Mengenalnya saja tidak. Rasanya sangat aneh. Tapi, sepertinya Dev tidak sadar sudah membuat anak orang melayang hingga terbang.

"Kenapa Dev manggil sayang? Kan aku jadi bimbang kalau kayak gini," gerutu Clara dalam hati.

Ia menatapnya penuh teka-teki. Jujur saja ia masih tidak mengerti dengan tujuan laki-laki itu membuatnya baper. Padahal ini masih belum ada sehari mereka menjalani bahtera rumah tangga.

"Kenapa ngelihatin gue kayak gitu? Pasti lu naksir ya sama gue? Wajarlah, secara kan gue ganteng maksimal. Semua cewek juga akan klepek-klepek sama gue," ujar Dev dengan bangganya.

"Dih, nih orang makin ke sini makin kepedean aja. Kan aku jadi batal baper," gumam Clara dalam hati.

Ia pun mencoba untuk tidak berkata-kata dan membiarkan laki-laki itu berkata sesukanya. Karena ia tidak mau bertengkar di tengah malam seperti ini.

Besok masih banyak yang harus ia hadapi. Mulai dari cemoohan warga kampus, sampai makian dari pacarnya, Algo. Mentalnya perlu disiapkan dari sekarang.

"Ra, kok lu diam aja? Lu marah sama gue karena kejadian tadi? Yaudah deh, gue minta maaf. Nggak punya maksud sedikit pun untuk menodai bibir manis kamu, ups ...."

"Astaga Dev, apa yang udah lo katakan? Minta dijahit mulut lu ini," kata Dev dalam batin.

Dengan cepat Dev langsung membungkam mulutnya sendiri dengan tangannya. Karena dengan pedenya ia mengatakan jika bibir Clara rasanya manis. Sangat tidak sopan.

"Apa kamu bilang? Coba bilang sekali lagi? Aku mau denger," pinta Clara dengan tatapan yang tajam.

Nampaknya, ia sedang menahan amarahnya. Sejak tadi, laki-laki ini sudah membuatnya naik darah. Mulai dari membuatnya merasa bersalah, khawatir, hingga baper namun tak berujung.

"Kan aku udah bilang kalau bibir kamu rasanya manis, Sayang!" tegas Dev.

Splassssh!

Sontak, Clara langsung menampar wajah mulus bin tampan milik suaminya itu. Karena dirasa tidak sopan dan kurang ajar.

"Kamu ini kurang ajar banget ya, Dev. Kamu udah merenggut kesucian bibir aku. Kamu tahu, ini aku jaga selama sembilan belas tahun untuk orang yang aku cintai," marah Clara.

Ia menatap Dev penuh amarah. Ia sudah tak bisa menahannya lagi. Karena sudah keterlaluan. Mereka sudah sepakat untuk tidak melakukan apapun dan hanya formalitas. Tapi Dev sudah melanggarnya dengan mudah.

"Apa kamu nggak ingat sama perjanjian kita? Pernikahan kita hanya formalitas saja. Kamu nggak bisa melakukan itu sama aku. Karena aku bukan orang yang layak untuk kamu!" tegas Clara.

Ia menjatuhkan air mata yang sedari tadi ia tahan. Karena ia tidak mau membuat Dev merasa menyesal telah menyentuh perempuan kotor seperti dirinya.

"Aku ini udah nggak suci lagi, Dev. Aku kotor, kamu akan merasa ilfeel sama aku. Kamu tahu, aku nggak pantas untuk siapapun. Hiks ... hiks ...."

Melihat kepedihan yang gadis itu rasakan, Dev merasa prihatin. Karena sepertinya Clara masih memiliki trauma hingga ia merasa jijik disentuh oleh laki-laki lain.

Spontan ... Dev langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ia bisa merasakan kesedihan dalam hatinya, hingga ia merasa jika dirinya tidak pantas dimiliki oleh siapapun.

"Lu nggak perlu mikirin hal yang sudah terjadi. Karena ini bukan salah lu, Ra. Lu juga nggak mau berada di posisi sulit ini. Jadi, jangan pernah merasa rendah. Karena bagi gue, lu adalah perempuan yang kuat dan tangguh," terang Dev.

Hiks ... hiks ... hiks ....

Hanya ada suara isakan dari gadis itu. Suara isakan itu terdengar sangat berat. Jangan sampai hal ini membuat Clara kehilangan semangat untuk memperjuangkan haknya.

Dev mengusap lembut punggung gadisnya. Ia tidak menyangka jika efek yang ditimbulkannya sangat dalam untuk istrinya. Ia pikir hal itu sudah biasa. Ternyata malah sebaliknya.

"Kalau dengan menangis bisa membuat lu merasa lebih tenang, maka menangislah sampai lu benar-benar bisa tenang. Gue nggak tahu gimana cara buat meredakan rasa sakitnya, tapi mungkin ... pelukan hangat dari gue bisa membantu."

Dev semakin mempererat pelukannya. Rasanya tidak adil bagi seorang perempuan. Padahal laki-laki yang salah, namun perempuan selalu menjadi korban.

Padahal perempuan adalah sosok makhluk yang harus dihargai dan dijunjung tinggi martabatnya. Laki-laki yang sudah dengan tega merendahkan perempuan, akan mendapat balasan yang lebih mengerikan.

"Kenapa kamu melakukan ini sama aku, Dev? Harusnya kamu ambil nyawa aku aja. Karena aku, kamu pasti malu banget. Hiks ... hiks ...," tanya Clara.

Ia merasa nyaman dalam pelukan Dev. Karena rasanya sangat hangat dan mampu membuat pikirannya lebih baik.

Awalnya ia ingin bunuh diri saja. Karena sudah tak punya tujuan hidup lagi. Tapi Dev, orang yang asing baginya, datang mengulurkan tangan seperti seorang malaikat.

"Gue nggak tahu kenapa? Tapi hati gue nggak pernah merasa menyesal menikahi lu. Padahal kita tidak saling mengenal. Mungkin ini sudah takdir," balas Dev lembut.

"Mungkin saat ini gue belum bisa mencintai lu seperti gue mencintai Fida. Karena hubungan kita sangat tiba-tiba dan tidak terduga, Ra," sambungnya.

Ia menghembuskan napas kasar. Ia tak mengerti dengan apa yang ia rasakan sekarang. Sejak kecupan pertamanya dengan Clara, ia merasakan gejolak yang berbeda. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan ketika bersama Fida.

Ia tidak mengerti apakah ini perasaan cinta atau iba. Karena keduanya seakan menyatu menjadi satu. Sekarang ia bimbang dengan perasaannya sendiri. Ia takut jika sewaktu bisa mengkhianati kekasihnya yang menaruh harapan padanya.

"Aku nggak pernah menyangka jika kamu orang yang baik, Dev. Aku tidak menyesal memberikan kecupan pertamaku padamu. Mungkin ini adalah sesuatu yang bisa aku berikan sebagai seorang istri yang tidak sempurna."

Ia melepaskan pelukan hangat itu. Kemudian menghapus air matanya. Karena menangis ... hanya akan membuatnya terlihat lemah. Ia tak ingin menjadi sosok seperti itu.