Pernikahan yang Tak Diinginkan

Pak Tirta sudah kelihatan tidak sabar ingin mengeksekusi mereka berdua. Karena waktu yang ia berikan tidak mereka penuhi tepat waktu. Sudah hampir lima belas menit, namun kedua sejoli itu tak menampakkan batang hidungnya.

"Pak Arya, kenapa mereka berdua lama sekali? Apakah mereka akan melakukan hal aneh-aneh lagi?" tanyanya.

Ia menggerak-gerakkan jari-jari kakinya. Ia tidak suka menunggu. Apalagi menunggu sesuatu yang menjengkelkan. Karena hanya akan membuang waktu yang sangat berharga.

"Apakah perlu saya menyusul mereka, Pak? Takutnya mereka malah kabur lagi," tawarnya.

Sikapnya yang sok nggak bersalah itu, membuat siapapun yang mendengarnya muak. Karena ia memang pandai berakting. Lihat saja dirinya, bahkan ia bisa tersenyum menang atas piala yang ia menangkan. Meskipun sangat memalukan jika terpublikasi.

"Tidak perlu," sahut laki-laki bertubu tegap penuh penekanan. Ya ... dia adalah Devaro Mahardika Sanjaya.

"Saya akan menuruti apa kata Bapak. Saya akan menikahi Clara dan bertanggung jawab. Karena saya adalah laki-laki sejati. Meskipun bukan saya pelakunya, dan semoga pelaku sebenarnya segera terkuak," tegasnya.

Ia menatap ke arah Arya dengan tatapan meremehkan. Terkesan seperti sebuah tembakan untuknya kelak. Karena ia tidak akan tinggal diam jika harga dirinya diinjak-injak.

"Kenapa dia menatapku seperti itu? Apakah laki-laki itu akan menghancurkan rencana yang aku buat?" tanyanya dalam hati.

Jujur saja, ia merasa sedikit takut saat Dev mengatakan jika pelaku sebenarnya akan terungkap. Ia takut jika suatu saat, rencananya akan berbalik menyerang dirinya sendiri. Sama saja seperti senjata makan tuan.

"Bagus, Dev. Kalau kamu setuju, maka sekarang kalian akan menikah. Saya yang akan menjadi saksi pernikahan kalian. Untuk orang tua kalian, itu urusan kalian nanti. Saya tidak mau ikut campur," ucap Pak Tirta.

Apa? Menikah sekarang? Bahkan untuk pacaran saja ia masih belum katam. Ia masih belum siap jika harus menjalani yang namanya berumah tangga. Apalagi dengan orang asing yang sama sekali tidak ia kenal.

Kalaupun ingin menikah, ia ingin menikah dengan adat Jawa, seperti pernikahan orang tuanya. Namun, impian itu telah hancur lebur. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang, selain menyerah.

"Clara, kenapa kamu diam saja? Apakah kamu siap? Tapi ... siap nggak siap, kamu harus siap. Karena ini adalah suatu keharusan yang kamu pertanggung jawabkan. Jadi, bersikaplah yang normal jika tidak mau hal ini terjadi," tutur Pak Tirta.

"Jujur saja, saya sangat menyayangkan tindakan receh kalian. Apalagi kamu, Clara! Kamu ini mahasiswi berprestasi di kampus ini. Kamu masih muda, masih cantik, tapi kenapa malah menghancurkan masa depan kamu sendiri?"

"Hiks ... hiks ... hiks ...."

"Lah, kok malah nangis lagi to, cah ayu. Saya ini sebagai orang yang lebih tua, merasa malu."

Kali ini Pak Agung, guru yang selalu membuat kelucuan di saat mengajar. Ia merupakan salah satu dosen yang paling disukai para mahasiswa dan mahasiswi di Universitas Manura.

Karena stand up comedy-nya, ia dikenal dengan Bapak Komedian. Sebutan itu sangat layak diberikan. Karena beliau sangat energik, meskipun usia sudah setengah abad. Pandai melucu dan membuat perut orang sakit karena tingkah lucunya.

"Lu bisa nggak sih nggak usah nangis-nangis kayak gitu. Kan udah gue bilang, gue bakal bantu lu ngadepin masalah ini. Jadi lu nggak akan sendirian," lirih Dev.

Ia hanya mangguk-mangguk paham. Hanya saja ia masih belum bisa menerima kenyataan jika dirinya sudah tak suci lagi. Apalagi di usianya yang masih belia.

Banyak impian yang belum tergapai. Banyak hal yang ingin ia lakukan di hidupnya. Bahkan ... ia masih memiliki tanggung jawab besar untuk membahagiakan orang tuanya.

"Baiklah kalau begitu, mari kita semua ke KUA (Kantor Urusan Agama. Dan kamu Dev, bantu calon istrimu untuk bersiap!"

"Baik, Pak."

Ia membawa gadis itu ke kamar mandi. Wajahnya harus dibersihkan terlebih dahulu. Karena sudah penuh dengan air mata dan terlihat tidak segar.

Apalagi karena air matanya, matanya terlihat sembab seperti mata panda. Hal itu membuat Dev merasa khawatir. Bukan karena khawatir saat menikah nanti. Melainkan, ia khawatir jika gadis ini akan mengalami gangguan mental.

Karena tragedi yang ia alami sangat berat. Jika tidak memiliki iman yang kuat, bukan tidak mungkin jika ia akan mencoba bunuh diri, atau ... malah gila.

"Astaga Dev, apa yang lu pikirkan? Nggak usah mikir begituan, deh," ucapnya dalam hati.

"Ayo, Clara! Nggak usah nangis lagi. Aku ada di sini," ucapnya lembut.

Entah sejak kapan panggilan mereka berubah menjadi aku-kamu. Sepertinya ... Dev mulai tertarik dengan pesona yang gadis itu pancarkan. Sangat natural dan bersahaja.

****

"Baiklah Mas Devaro, silakan jabat dan ulangi kata-kata saya."

"Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudari Clara Marshita Anjelika binti Ardi Faturrahman dengan mas kawin dan uang satu juta rupiah dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Clara Marshita Anjelika binti Ardi Faturrahman dengan mas kawin dan uang sebesar satu juta rupiah dibayar tunai."

Kata-kata yang tegas dan lancar itu, membuat hati Clara campur aduk tak karuan. Ia meremas roknya kuat-kuat. Namun, ia berusaha menahan agar cairan bening itu tidak jatuh.

Jujur saja, ia sangat gugup sekaligus takut. Karena ia menikah tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ia bingung bagaimana menjelaskan pada mereka nanti.

Karena cepat atau lambat, mereka akan tahu yang sebenarnya. Tidak mungkin ia menutupi hal ini selamanya.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah," jawab mereka serentak.

Kemudian, mereka semua menengadahkan tangan untuk berdoa atas hubungan sakral yang telah terjalin. Tidak ada senyum dalam wajah keduanya. Karena mereka sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini.

Karena mereka berdua sama-sama memiliki kekasih yang sangat dicintai. Hanya saja, kejadian ini membuat takdir keduanya menjadi berubah. Bahkan orang asing bertemu orang asing bisa menjalin ikatan yang suci.

"Ya Allah ... aku nggak tahu apakah ini keputusan terbaik atau bukan. Tapi ... aku berharap, pernikahan ini bisa langgeng selamanya. Karena meskipun aku tidak mencintai laki-laki pilihanmu, aku hanya ingin menikah sekali saja dalam seumur hidup."

Ia berdoa dengan khusyuk. Sampai-sampai, air mata yang ia bendung keluar juga. Ia memang tidak bahagia atas pernikahan yang terpaksa seperti ini.

Tapi, ia juga terkesan dengan kebaikan Dev yang akan membantu kasusnya kelak. Ia merasa tenang saat laki-laki itu memeluknya tadi. Terasa belum pernah ia rasakan.

Pelukan hangat antara Dev dan Algo sangat berbeda. Entah mengapa, perasaannya lebih tenang dalam pelukan laki-laki asing yang sudah sah menjadi suaminya.

"Baiklah, Mas Devaro dan Mbak Clara, sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri. Silakan Mbak Jihan mencium tangan suaminya," ucap Bapak Penghulu dengan wajah sumringah.

Kemudian Clara melakukan apa yang penghulu itu arahkan. Ia mencium punggung telapak tangan suaminya. Rasanya benar-benar berbeda. Seperti ada getaran yang masuk ke dalam kalbu.

Tanpa aba-aba, Dev mengecup kening istri sahnya. Hal itu membuat Clara merasa canggung. Karena hubungan mereka hanya formalitas, bukan atas dasar cinta ... ataupun kemauan.

"Selamat Dev, Clara. Bapak sekarang merasa lega. Jadi kalian kalau mau enak-enak lagi nggak akan dosa. Karena sekarang sudah sah secara agama dan negara. Jadi, kalian juga bisa melanjutkan kuliah lagi," ujar Pak Tirta.

Ia terlihat bahagia atas pernikahan mahasiswa dan mahasiswi paling berprestasi di kampus yang ia ajar. Ini merupakan jalan satu-satunya yang harus dilakukan demi kenyamanan bersama.

"Terima kasih, Pak," jawab Dev. Gadis itu hanya bungkam. Ia meratapi nasibnya yang kurang beruntung.