Setelah acara akad nikah yang digelar secara sederhana, Dev dan Clara merasa capek. Apalagi Clara yang tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Ia merasa jika harga dirinya sudah tidak ada lagi.
Apalagi Dev yang seharusnya tidak menjadi suaminya, kini malah menjadi pendamping hidupnya. Permainan takdir sungguh kejam. Ia tak bisa menentangnya, karena ini akan membahayakan masa depannya.
"Ra, kenapa diem aja?" tanya Dev.
Ia menatap istrinya penuh teka-teki. Ia merasa bingung dengan gadis yang satu ini. Karena hanya menangis saja sejak tadi.
"Udah nggak usah nangis. Anggap aja lu punya nasib yang beruntung. Karena bisa nikah sama cowok ganteng kayak gue," ujar Dev dengan bangga.
"Kamarnya ada di mana?" tanya Clara.
"Kan ini di kos, Ra. Kamarnya udah jelas di depan lu, soalnya di sini hanya ada satu kamar. Jadi kita tidurnya barengan," kata Dev.
Mereka memutuskan untuk tinggal di rumah kos Dev untuk sementara waktu. Karena mereka masih belum memiliki keberanian untuk pulang ke rumah.
Mereka takut akan tanggapan orang tua. Karena pasti akan ada ribuan pertanyaan yang menanti. Bahkan Clara tidak siap menghadapi kemurkaan kedua orang tuanya yang menaruh harapan besar kepadanya.
"Aku mau ke kamar dulu," pamit Clara.
Tanpa memandang suaminya, ia langsung nyelonong masuk ke dalam rumah berukuran mini itu. Tetapi, kondisinya sangat bersih dan rindang. Karena banyak ditumbuhi bunga-bunga di halaman depan.
"Eh, tinggi dulu!" teriak Dev.
Sudah terlambat, gadis itu sudah masuk ke dalam rumah kosnya. Ia pun hanya bisa membuang napas kasar. Karena gadis bar-bar ini selalu melakukan apa yang dia suka.
Ia pun berjalan masuk menyusul istrinya. Karena pasti ia akan sangat kaget dengan kondisi kamarnya yang berantakan seperti kapal pecah.
"Astaga, gue belum beres-beres," ujarnya.
Ia langsung berlari secepat kilat. Karena meskipun Clara adalah istrinya, ia malu jika dipandang sebagai laki-laki yang jorok. Pasti ia akan mendapat ejekan karena dinilai tidak setampan wajahnya.
"Ra, maafin gue ini kamar emang ...."
Karena melihat istrinya yang membersihkan kamarnya, ia pun terdiam. Memandang gadis itu lekat-lekat. Ternyata ia bukan tipikal istri yang suka ngomel-ngomel masalah kebersihan.
Bukan apa-apa, Dev merasa jika gadis itu memiliki sesuatu yang membuatnya penasaran. Entah apa itu ia sendiri belum tahu. Tapi, ia akan segera mengetahuinya setelah hidup bersama dalam kurun waktu yang lama.
"Kenapa lu yang beres-beres? Gue bisa melakukannya sendiri," ujar Dev mencairkan suasana.
"Nggak papa, ini sudah tugas aku sebagai seorang istri," jawab Clara.
Ia memberikan senyum yang tipis ke arah suami barunya. Ia merasa sedikit bahagia menikah dengan Dev. Setidaknya ia tidak akan menjadi milik laki-laki yang bejat seperti Arya.
"Mendingan lu istirahat aja dulu, biar gue yang lanjutin. Karena gue lihat mata lu bengkak dan merah. Daripada nanti sakit, ntar ngerepotin lagi," suruh Dev.
Clara yang awalnya menata sprei, langsung berbalik dan menatap ke arah sumber suara.
"Aku nggak papa kok, Dev. Kamu aja yang istirahat dulu. Kamu pasti juga capek, kan? Nanti kalau kamu sakit nggak ada yang ngurusin," balas Clara ketus.
"Lu yakin nggak papa? Gue harap lu bukan tipe cewek yang suka nyusahin dan manja," tanya Dev.
"Kamu tenang aja, Dev. Aku bisa melakukan apa-apa sendiri. Karena aku sudah terbiasa mandiri. Jadi kamu nggak perlu repot-repot urusin aku," jelas Clara.
"Dan ya ... pernikahan kita hanya sebatas formalitas. Setelah aku menemukan jalan keluar, kamu bisa menceraikan aku," tambah Clara.
Deg!
Entah mengapa, ketika gadis itu bicara soal perpisahan, ia merasa aneh. Seakan hatinya tidak rela jika harus bercerai. Karena pernikahan bukan untuk mainan.
Pernikahan adalah ibadah kepada Allah. Karena merupakan sesuatu yang sakral dalam setiap hubungan. Karena prinsipnya adalah menikah sekali seumur hidup.
"Gue tahu. Lu tenang aja, gue nggak bakal macem-macem sama lu. Tapi gue harap lu bisa rahasiakan ini dari pacar gue," pinta Dev penuh harap.
"Kamu tenang aja, kamu masih tetap bisa berhubungan sama kekasih kamu. Karena aku nggak punya hak untuk melarangnya," sahut Clara.
"Oke, jadi lu harus janji terlebih dahulu. Karena ini akan menjadi perjanjian pasca nikah buat kita berdua. Lu menjalani kehidupan seperti sebelumnya, begitupun gue. Karena hubungan ini tidak akan bertahan lama," ketus Dev.
"Aku setuju," sahut Clara.
Ia pun melanjutkan aktivitasnya untuk mengganti sarung bantal dengan yang baru. Karena kehidupan yang baru, butuh sesuatu yang baru pula.
Sedangkan Dev, ia hanya komat-kamit nggak jelas. Karena ia merasa menjadi orang asing di rumah kosnya sendiri. Ia sudah menikah, tapi rasanya seperti seorang bujang.
Ia pun berjalan ke luar untuk mencari udara segar. Karena ia merasa suntuk di rumah. Berbicara dengan Clara sama seperti bicara dengan dosen.
Karena ia selalu menggunakan kalimat dan bahasa yang formal. Hal itu membuatnya merasa kurang nyaman.
****
Dev berjalan menyusuri jalanan yang lenggang. Karena ini sudah pukul sepuluh malam. Tentu saja tidak ada orang maupun kendaraan yang berlalu lalang.
"Dev!" teriak seseorang di seberang sana.
Karena sedang melamun, ia sampai tidak sadar jika ada seseorang yang memanggil namanya.
Orang itu pun langsung menghampiri laki-laki yang biasa nongkrong dengannya di warung kopi sebelah.
"Woi, kenapa lu Bro?" tanya Ferdi, ia menepuk bahu Dev dengan keras.
"Lah, ngapain lu di sini?" tanya Dev spontan.
"Heh, harusnya gue yang nanya. Ngapain lu jalan-jalan sambil ngelamun? Awas nanti kesambet!" tukas Ferdi.
Ia menatap temannya penuh pertanyaan. Karena tidak biasanya, Dev memasang muka yang masam. Biasanya ia paling kocak di antara yang lainnya.
Tapi sekarang, situasi sudah berbeda. Ia harus menanggung beban seberat ini. Ia terus memikirkan apa dan bagaimana kelanjutan hubungan yang baru saja ia jalin.
Ia juga berpikir bagaimana hubungannya dengan Fida yang sekarang menyandang gelar sebagai pacarnya.
"Hehe, maaf-maaf," kata Dev.
"Kok lu kayaknya aneh banget hari ini? Lagi ada masalah? Atau ... lu harus putus ya sama Fida ...?" tebak Ferdi.
Ia malah nyengir melihat temannya sedang berduka. Karena ia juga tidak tahu apa yang Dev alami saat ini.
"Hubungan gue sama Fida baik-baik aja. Nggak usah ngadi-ngadi," tukas Dev.
Ia geleng-geleng kepala dengan perkataan temannya satu ini. Karena ia tidak suka jika hubungannya dengan Fida berakhir begitu saja. Apalagi karena sebuah kecelakaan yang melibatkan dirinya.
"Ya kan siapa tahu. Soalnya lu kelihatan galau banget," ujar Ferdi.
Dev mengehentikan langkahnya, kemudian menatap laki-laki di sebelahnya yang juga ikutan berhenti.
"Kenapa? Apa gue salah ngomong?" tanya Ferdi memastikan.
"Sekarang gue butuh waktu buat sendiri, Fer. Apa lu bisa ninggalin gue sekarang?" pinta Dev.
Karena mendapat tatapan tajam dari rekannya, ia pun langsung mengiyakan permintaan Dev. Karena Dev sering mentraktir dirinya makan makanan yang enak.
Jika ia membangkang, pasti namanya akan dicoret dari list friend lelaki itu. Tentu saja ia tidak mau hal itu sampai terjadi.
****
Clara uring-uringan karena Dev tidak ada di rumah. Padahal tadi terkahir kali ia lihat, suaminya itu sedang duduk manis di sofa. Sekarang sudah menghilang seperti benda ghaib saja.
"Ya Allah Dev, kamu ada di mana? Ini sudah hampir larut malam," ujar Clara bermonolog.
Ia terlihat sangat cemas, karena suaminya tidak segera pulang. Padahal sebentar lagi tengah malam. Tentu saja ia merasa khawatir dan takut jika terjadi apa-apa pada lelakinya.
Ia mondar-mandir nggak jelas di teras rumah. Berharap sang suami segera pulang. Karena ia akan merasa sangat bersalah jika Dev merasa tidak betah di rumah karena kehadirannya.
"Ya Allah, lindungi suamiku. Walaupun aku tidak mencintainya, aku merasa khawatir dan peduli kepadanya. Dia adalah orang yang baik," doa Clara dalam hati.
Selang beberapa menit kemudian, laki-laki itu muncul membawa tas kresek di tangan kirinya. Hal itu membuat Clara penasaran.
"Kamu dari mana saja, Dev? Kamu tahu aku khawatir?"
Spontan hal itu mendapat tatapan dingin dari Dev. Ia mengeryitkan dahi bingung dengan perkataan istrinya yang sok peduli.
"Maksud aku ini sudah malam, kenapa kamu baru pulang? Kan kita besok harus kuliah," ujar Clara kikuk.
Ia menunduk, tak berani memperlihatkan wajahnya. Karena setiap kali ia menatap manik mata Dev, ia selalu merasa bersalah dan rendah diri terhadapnya.
Ia sudah membuat laki-laki itu bertanggung jawab atas sesuatu yang sama sekali tidak dia lakukan. Jika saja ia berada di posisi Dev, pasti ia tidak akan melakukannya atas alasan apapun.
"Kenapa lu menundukkan kepala? Gue bukan presiden kali, ketika gue datang lu langsung menunduk. Bersikap biasa aja, sekiranya lu nyaman," pinta Dev.
Baru kali ini, Clara merasa dihargai oleh laki-laki. Padahal Algo yang merupakan kekasihnya, tak pernah berkata manis seperti itu. Karena ia terlalu formal.
"Ini gue beliin makanan untuk kita berdua. Lebih baik sekarang masuk dan makan. Habis itu baru bisa tidur," ujar Dev.
"Kamu baik banget, Dev," kata Clara lirih.
Ia mengukir senyum di bibirnya. Hanya saja mungkin tidak terlihat karena senyum itu sangat tipis.
"Lu mengatakan sesuatu?" tanya Dev.
"Nggak ada, ayo masuk. Biar aku siapkan piringnya," ajak Clara.
Mereka pun masuk ke dalam rumah dan menyantap makanan kesukaan Dev. Ya ... Nasi Padang dengan bumbu yang khas. Selama masa kuliah, ia sering makan Nasi Padang.
Karena selain rasanya yang khas, harganya juga sangat bersahabat dengan kantong. Sangat pas untuk mahasiswa yang ngekos seperti dirinya.