Sahabat Sejati

Langkahnya terhenti ketika manik mata menatap ke arahnya dengan tatapan sendu. Clara menatapnya penuh arti. Mereka saling menatap, namun tak bersuara satu sama lain.

"Apakah kamu juga akan membenci aku seperti orang-orang?" tanya Clara.

Matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar saat membuka suara. Hatinya merasa hancur bak dihujam seribu pisau. Karena sahabatnya, Caca, tidak menghubunginya setelah kejadian kemarin.

Tanpa berkata-kata, Caca langsung berjalan dan memeluk gadis itu penuh kehangatan.

"Maafin aku, Ra. Harusnya aku ada di samping kamu saat kamu sedang dalam masalah. Aku benar-benar menyesal, Ra."

Clara membalas pelukan itu dengan mata berkaca-kaca. Namun ia terharu, karena ternyata masih ada seseorang yang mau menjadi temannya, yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri.

"Aku pikir kamu akan mengolok-olok aku dan menghakimi aku seperti orang lain. Tapi ternyata kamu tetap mau berteman sama aku. Kenapa, Ca? Apa kamu nggak mau punya teman seperti aku?" tanya Clara dengan muka masam.

Sesegera mungkin, Caca menghapus air matanya. Karena ia tak mau Clara akan semakin sedih jika ia tidak tersenyum. Ia pun melepaskan pelukan hangat itu dan menatap sahabatnya dengan senyuman.

"Kamu pikir aku ini bukan sahabat kamu yang dulu? Meskipun kamu dalam masalah yang besar, aku akan selalu seperti ini. Kita sudah lama berteman, Ra. Tentu saja aku tahu bagaimana kamu. Karena aku yakin kalau kamu dijebak oleh dosen nggak tahu diri itu," cerca Caca.

Tangannya mengepal karena ia sangat marah akan apa yang menimpa sahabatnya.

Sejujurnya ia sudah menduga jika Pak Arya mungkin punya maksud terselubung. Karena permintaannya sungguh aneh dan tidak realistis. Mana ada dosen yang menyuruh mahasiswanya untuk menemui di gudang secara diam-diam?

Kalaupun ada ... maka dia adalah dosen paling aneh dan kurang ajar. Tapi mau bagaimana lagi? Semua sudah terlanjur. Hanya support yang bisa Caca berikan pada sahabatnya yang malang.

"Aku takut kalau kamu juga akan benci sama aku, Ca. Karena kamu tahu sendiri bagaimana pendapat orang-orang tentang aku. Mereka memandang aku sebelah mata. Padahal aku bukan gadis seperti itu, percayalah! Hiks ... hiks ...."

Caca memeluk sahabatnya untuk memberikan ketenangan. Setidaknya ini yang bisa ia lakukan sekarang.

"Kamu yang tenang, Ra. Nggak usah menangis hanya karena ulah dosen nggak bermoral itu. Dia pikir siapa dirinya? Fuck!"

"Aku malu sama orang-orang, Ca. Apalagi sama Dev. Karena aku hanya menjadi beban dalam hidupnya, hiks ...."

"Kamu jangan berpikir seperti itu. Kamu harus kuat. Karena jika kamu lemah, orang-orang akan lebih menginjak-injak harga diri kamu. Ingat, jadilah Clara yang bar-bar, agar orang lain tidak bersikap semena-mena!" tegas Caca.

Entah mengapa jiwa murka Caca semakin meronta-ronta. Rasanya ia ingin menjambak dan mempermalukan dosen mesum seperti Arya.

Karena sebagai tenaga kependidikan, ia sama sekali tak punya rasa malu. Bahkan ... sikapnya sama sekali tidak mencerminkan lima sila dalam Pancasila.

"Orang seperti Arya harusnya diberi pelajaran, Ra. Karena sama saja ia sudah merendahkan martabat seorang perempuan. Dia bisa saja dilaporkan atas kasus penyiksaan terhadap perempuan. Juga ... ia sudah melanggar hak asasi manusia," jelas Caca.

Sahabatnya yang mengalami kesulitan, tapi ia gregetan sendiri. Karena orang seperti Arya harusnya membusuk di penjara seumur hidupnya. Kalau perlu disiksa setiap hari dalam sel. Agar ia berpikir ribuan kali jika ingin merendahkan perempuan.

"Tapi kita nggak punya bukti, Ca. Kalaupun bukti sudah ditemukan, itu tidak akan merubah kenyataan jika aku sudah tidak perawan. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari diriku, hiks ... hiks ...."

"Udah nggak usah nangis lagi. Kamu nggak boleh cengeng. Clara yang aku kenal nggak pernah nangis. Dia adalah gadis paling bar-bar dan pemberani," ujar Caca.

Ia mengusap punggung Clara dengan penuh kasih sayang. Jika saja ia berada di posisinya, mungkin ia akan melakukan hal yang sama. Diam dan menerima kenyataan yang begitu kejam.

Apalagi sekarang tidak ada bukti untuk menjebloskan laki-laki tak beradab itu ke dalam penjara.

"Yaudah hapus dulu air matanya. Lihat tuh, bedak kamu luntur semua. Kan cantiknya jadi berkurang."

Caca menyeka air mata sahabatnya seperti sosok kekasih. Tak lupa ia melempar senyum yang hangat agar Clara merasa lebih baik.

"Makasih, Ca," kata Clara.

"Makasih buat apa?" tanya Caca.

Ia menatap bingung sahabatnya. Namun, kemudian ia tersenyum.

"Terima kasih karena kamu sudah menjadi sahabat dan pendengar yang baik buat aku. Terima kasih karena kamu masih mau berteman dengan aku, terima kasih juga untuk pelukannya," terang Clara.

"Aku melakukan itu karena aku menyayangimu lebih dari seorang sahabat. Karena bagiku ... kamu sudah seperti saudara aku sendiri."

Byurrrr ....

Anne mengguyurkan air comberan ke tubuh Clara. Hal itu membuat baju Clara basah kuyup dan kotor. Ditambah lagi baunya yang tidak sedap.

"Anne! Lu itu kenapa sih cari gara-gara mulu sama Clara?!" teriak Caca tak terima.

"Ups ... ada yang marah, Gengs."

Ia beserta antek-anteknya tersenyum penuh kemenangan. Karena bisa mengerjai cewek paling bar-bar di kampus ini.

"Lu nggak usah deh berteman sama cewek kayak dia. Emangnya lu mau kalau hidup lu bakal suram kayak dia. Jalang ini hanya pembawa sial!" cerca Anne.

Ia tersenyum miring. Karena melihat orang yang biasanya berteriak kepadanya, kini hanya diam membisu dan meneteskan air mata.

"Bisa nggak sih lu kalau ngomong dijaga! Mulut pedes lu itu hanya akan membuat lu jatuh ke dalam bingkai kegelapan. Nggak usah sok keras kalau nggak ngerti apa-apa!" tegas Caca membela sahabatnya.

"Udah ayo, Ra, kita pergi dari sini. Daripada melihat muka nenek lampir ini, lebih baik kita pergi dan membersihkan diri lu," ajak Caca.

Ia menarik tangan gadis itu. Ia sama sekali tidak peduli dengan omongan Anne yang berusaha memprovokasi dirinya.

Namun, saat Clara melangkahkan kakinya. Tiba-tiba ia jatuh tersungkur ke lantai.

Bugh!

Kaki Martha menghalangi jalannya. Ia menjegal kaki Clara agar gadis itu jatuh tersungkur.

"Sorry, gue sengaja."

"Makanya kalau jalan tuh lihat-lihat. Udah buta kali ya, makanya matanya minus," cerca Serly.

Ketiga sejoli itu menertawakan Clara. Karena mereka merasa puas bisa membuli cewek paling cantik di kampus.

"Aw," ringisnya.

Clara memegangi pelipisnya yang berdarah. Rasanya sakit seperti ditusuk pisau. Bukan pelipisnya, tapi hatinya.

"Martha! Lu juga ikut-ikutan sama Anne? Sejak kapan lu jadi antek-antek cewek jahat kayak dia?! Lu nggak kasihan sama Clara? Dia itu udah sangat baik sama lu!" tegas Caca tak habis pikir.

"Dan lu Serly! Gue pikir lu teman yang baik, tapi nyatanya lu nggak jauh berbeda sama mereka. Gue nyesel mengakui lu sebagai sepupu gue!"

Tiba-tiba, laki-laki dengan tubuh tegap itu menghampiri mereka. Ya ... dia adalah Algo, kekasih Clara.

"Ada apa ini ribut-ribut?" tanyanya dengan wajah yang datar.

Anne pun diam seribu bahasa. Karena ia suka sama Algo sejak SMA. Namun, mata Algo selalu tertuju pada Clara.

"Nggak ada apa-apa, kok. Kamu ngapain ke sini, Al?" tanya Anne sok polos.

Algo pun mengeryitkan dahinya. Tatapan matanya tertuju pada seorang gadis yang tersungkur di lantai dengan darah di pelipisnya.

Ia pun menghampiri gadisnya dan mengangkat tubuhnya. Clara pun terkejut dengan perlakuan Algo secara tiba-tiba. Namun, ia tak bisa berucap lagi. Karena ia merasa sangat malu pada laki-laki itu.

"Kalau lu berani nyentuh cewek gue lagi, gue nggak segan-segan buat bersikap kasar sama lu! Ingat ini baik-baik!" tukas Algo.

Ia menatap Anne dengan tajam. Tatapannya yang setajam silet itu, membuatnya semakin membenci Clara. Karena selalu menang darinya.

Anne mengepalkan tangannya. Hatinya teriris setiap kali Algo membela Clara. Bukan hanya sekali, tapi sudah berkali-kali laki-laki itu menolak dan mengabaikan dirinya.

Padahal ia juga tidak kalah cantik dari Clara. Orang tuanya juga seorang CEO. Tapi perhatian Dev selalu untuk gadis yang paling ia benci.

"Yaudah Al, lebih baik lu bawa Clara ke UKS. Gue mau menemui seseorang dulu," saran Caca.

Tatapan Algo dan Clara saling bertemu. Mereka nampak saling merindukan satu sama lain. Tatapan yang selalu Clara rindukan. Kini ia bisa melihatnya lagi.

Ia pun berjalan ke arah UKS dengan Clara dalam gendongannya. Semua pasang mata tertuju kepada mereka.

Anne yang melihat punggung tegap laki-laki itu semakin menjauh. Seperti halnya perhatian Algo. Ia tak pernah mencoba membuka hatinya untuk Anne.

"Lu nggak papa kan, An?" tanya Martha.

"Udah nggak usah dilihat, lebih baik kita ke kantin aja sekarang," ajak Serly.

Anne meneteskan air mata, namun dengan cepat ia menghapusnya. Karena seorang Anne tidak boleh menangis hanya karena laki-laki.

"Gue nggak bakalan diem aja. Tunggu saja tanggal mainnya, gue akan merebut Algo dari jalang itu! Dasar cewek murahan. Nggak tahu diri!"

Martha dan Serly menatap Anne dengan tatapan ngeri. Karena temannya satu ini sangat ambisius dalam segala hal. Ia tidak akan membiarkan siapapun menang darinya.

Apalagi Clara, gadis yang selalu menjadi saingannya sejak SMA. Dulu saja setiap kali Anne menyukai seseorang, orang itu malah menyukai Clara.

Hal itu masih berlanjut hingga perguruan tinggi. Hal itulah yang membuat Anne semakin benci pada gadis murahan itu.