Tidur Seranjang

Devaro tersenyum ke arah Clara penuh kasih. Senyuman itu nampak sangat tulus. Walaupun Dev sadar jika tidak mungkin mereka akan terus bersama. Karena pernikahan mereka bisa diibaratkan sebagai pernikahan kontrak.

"Lu istirahat dulu aja, Ra. Pasti capek kan nangis mulu?" goda Dev.

Gadis itu hanya tersenyum kecut. Tak ada lagi kesan indah dalam hidupnya yang kelam. Ia harus belajar untuk bertaut dengan kelam.

Keluar dari zona nyaman memang tidak mudah dilakukan. Terlebih lagi ini perubahan yang sangat drastis. Bagaikan kupu-kupu terluka yang dipaksa untuk terbang mengepakkan sayapnya.

"Terima kasih atas pelukan yang kamu berikan. Aku merasa lebih baik sekarang," kata Clara.

"Iya, sama-sama. Kamu tenang aja, aku akan selalu membantumu dalam situasi sulit," sahut Dev.

Entah sejak kapan Dev manggilnya aku-kamu. Rasanya terkesan aneh, namun mungkin ini adalah awal yang baik bagi hubungan mereka. Apalagi mereka masih harus menjalani hari-hari penuh liku-liku.

"Aku mau kamu tidur di sini, Dev. Aku pikir aku nggak harus menjadikan trauma itu sebagai alasan. Karena di luar dingin," pinta Clara.

"Kamu yakin? Kalau memang kamu nggak bisa tidur seranjang, nggak papa. Aku udah terbiasa. Lagipula aku laki-laki, harus mengalah," balas Dev dengan sikap gentleman.

"Aku yakin, Dev. Jika aku tidak yakin, aku nggak akan memintanya," sanggah Clara.

Ia melukis senyum yang manis. Hal itu membuat Dev merasa deg-degan. Padahal ia tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapnya. Mungkinkah ia menyukai Clara hanya dalam waktu sehari?

"Aku mau keluar sebentar," pamit Dev.

"Kamu mau ke mana? Ini udah malam, Dev," tanya Clara penasaran.

Ia merasa ada yang aneh dengan laki-laki ini. Karena awalnya ia sangat arogan. Tapi sekarang penuh kasih sayang.

"Hanya di teras depan. Kalau kamu udah ngantuk, tidur aja dulu. Nanti aku nyusul."

Tanpa menunggu jawaban gadis itu, ia langsung keluar dari kamarnya. Karena ia takut jika otak mesumnya akan terangsang kapan saja.

Sebagai laki-laki, ia juga bisa merasakan itu. Apalagi ia sudah menikah. Tentu saja timbul rasa ingin melakukannya. Namun, ia sadar jika pernikahan mereka hanya formalitas. Tidak ada cinta maupun rasa saling suka.

"Kenapa sikapnya berubah menjadi aneh?"

Clara langsung membaringkan tubuhnya dan menarik selimut. Ia mencoba menutup matanya. Tapi, ia tidak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari esok.

Juga ... ia bisa melihat sisi lain dari suaminya. Dari tampangnya, ia terlihat seperti seorang playboy dan jahat. Namun, ternyata itu tidak benar.

Dev sangat baik dan penuh perhatian. Ia tidak pernah membuatnya merasa rendah diri. Meskipun ia tahu jika ia menikahi gadis yang sudah tak perawan, ia tidak pernah mengatakan apa-apa soal itu.

"Astaga Clara! Kamu nggak boleh mikirin Dev. Dia udah punya kekasih. Kamu nggak boleh jadi pelakor," ujarnya bermonolog.

Ia menarik napas dalam-dalam untuk merilekskan pikirannya. Ia kembali teringat akan Dev.

"Kira-kira, Dev lagi ngapain ya di depan?"

Karena merasa penasaran, ia pun memutuskan untuk menyusul suaminya. Entah mengapa batinnya selalu mengatakan agar ia selalu berada di dekat laki-laki itu.

****

Clara mengintip suaminya yang sedang duduk termenung sendirian di teras rumah. Ia tak berani untuk menyapa, karena ia merasa canggung. Apalagi setelah kejadian tadi.

"Ngapain berdiri di sana? Mau ngintip?"

Tanpa melihat ke arahnya, Dev bisa merasakan ada aura seseorang yang datang. Ya ... itu adalah Clara Marshita Anjelika.

Sedangkan Clara, ia merasa malu sendiri. Karena persembunyiannya telah tertangkap basah.

"Apakah dia seorang singa? Kenapa tatapan dan feeling-nya sangat kuat?" tanya Clara dalam hati.

Ia pun menampakkan diri menghampiri suaminya. Kemudian, duduk di sebelahnya.

"Kamu tahu aku ada di sini?" tanya Clara basa-basi.

Ia nampak sedikit kikuk. Karena ia merasa sudah mengganggu ketenangan laki-laki itu. Ia terlihat seperti orang yang punya banyak beban pikiran.

"Menurut kamu bagaimana?" tanya Dev balik.

"Ya aku kan nggak tahu, Dev! Makanya aku nanya!" ketus Clara.

Ia mengeryitkan dahi bingung. Karena baru saja menangis, sudah bisa bersikap ketus lagi. Emang kalau dasarnya udah bar-bar, akan tetap seperti itu.

"Nggak usah ngegas, Ra. Gue bukan anak Ospek yang harus lu galakin kayak gitu," protes Dev. Ia geleng-geleng kepala.

"Tadi manggilnya aku-kamu, sekarang lu-gue. Kamu ini memang aneh ya, Dev? Nggak bisa ditebak, kayak teka-teki," sahut Clara sok puitis.

"Bahasa lu ketinggian, gue nggak ngerti. Kalau lu udah ngantuk ya tidur, jangan di sini. Kalau lu kedinginan dan jatuh sakit, gue nggak akan tanggung jawab!"

"Kamu nggak usah mikirin aku. Karena aku bisa menjaga dan merawat diri aku sendiri," tukas Clara.

Angin sepoi-sepoi telah berhasil menembus kulitnya yang halus. Ia memegang kedua lengannya yang mulai merasa dingin. Karena ini sudah pukul dua dini hari.

Dev yang melihat Clara kedinginan, langsung melepas jaketnya dan menyampirkan pada tubuh gadis itu.

"Udah gue bilang di sini dingin, tapi lu ngeyel banget. Pakai ini biar tubuh lu nggak kedinginan. Ntar masuk angin gue yang repot," omel Dev.

"Terima kasih."

Clara memperhatikan raut wajah Dev yang terlihat kesal. Hal itu membuatnya semakin penasaran dengan laki-laki itu. Karena ia sangat berbeda dengan laki-laki pada umumnya.

Dev yang merasa diperhatikan, langsung menatap balik istrinya. Dengan secepat kilat, gadis itu langsung menoleh ke arah lain.

"Apakah dia mulai suka sama gue? Ah ... mana mungkin," gumam Dev dalam hati.

Ia pun juga langsung beralih menatap bulan dan gugusan bintang yang bertebaran di langit malam.

Clara melirik sekilas ke arahnya, ia pun mengikuti arah pandangan Dev. Kini sepasang matanya tertuju pada sebuah bintang yang paling bercahaya di antara yang lainnya.

"Bintangnya sangat indah ya Dev?" tanya Clara.

Ia tersenyum sangat lebar. Senyum yang belum pernah Dev lihat sebelumnya. Beban dalam pikirannya seakan hilang seketika. Benar-benar menghanyutkan. Dan ya ... sangat cantik.

"Lu suka melihat bintang?" tanya Dev.

"Suka bangetttt!"

Dev tersenyum karena bisa menatap bintang bersama seseorang. Biasanya ia dan Fida selalu tidur di bawah langit secara langsung. Karena bisa melihat indahnya langit malam sebelum memejamkan mata.

****

"Kamu nggak boleh melewati batas. Guling ini batas di antara kita. Kalau kamu ngelanggar, harus terima hukuman," tunjuk Clara pada guling pembatas tidur mereka.

"Kita tidur seranjang, tapi nggak pelukan. Rasanya kayak masih bujangan aja," sahut Dev.

"Pokoknya kamu nggak boleh melewati batas. Kamu ngerti?!" tanya Clara dengan nada meninggi.

"Nggak usah ngatur. Jangan-jangan lu kalau tidur kayak walang keket. Muter sana muter sini," tuduh Dev.

Ia geleng-geleng kepala tak mengerti apa isi otak gadis ini hingga harus membuat pagar pembatas. Padahal ranjangnya lumayan kecil. Pergerakan mereka akan sangat terbatas. Terlebih lagi, ada pembatas yang sangat membagongkan.

"Aku nggak kayak gitu ya. Jangan-jangan kamu sendiri lagi," bantah Clara.

Ia memutar kedua bola matanya malas. Karena laki-laki ini sangat cerewet seperti perempuan. Besok harusnya ganti pakai rok saja.

"Mana ada? Sumpah nih ranjang udah sempit malah lu buat lebih sempit lagi. Lu pikir pembatas negara apa?!"

"Udah nggak usah protes. Kalau kamu nggak mau aku tidur di luar. Biar nanti aku jatuh sakit dan ngerepotin kamu," ancam Clara tak main-main.

Dev hanya bisa mengelus dada. Karena punya istri seperti Clara sangat menguji kesabaran dan menggoda iman. Untung saja ia memiliki iman yang kuat.

"Aku udah ngantuk mau tidur, selamat malam, Devaro Mahardika Sanjaya!"

Setelah mengucapkan salam, ia langsung tidur. Sedangkan Dev tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia seperti sedang bersama Fida saja. Tetapi, gadis itu tidak semanis Clara.

"Iya, selamat malam, Ra."

"Eh ... udah tidur!"

Ia mendengus kesal. Belum ada lima menit, gadis itu sudah menuju ke alam mimpi.

"Have a nice dream, Clara Marshita Anjelika!"

Ia tersenyum, kemudian berbaring di samping istrinya. Ia menoleh sekilas menatap wajahnya. Kemudian ia menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah gadis malang itu.