Dilema Cinta

Caca mencari keberadaan Dev. Karena laki-laki itu harus tahu mengenai kondisi Clara. Sebab, Dev adalah suami sah Clara. Kemarin, ia mendengar percakapan antara Pak Tirta dan Pak Arya.

"Di mana sih, Dev? Perasaan dari tadi nggak nongol-nongol," gerutu Caca.

Ia menendang sesuatu di depannya, hingga botol minuman itu jatuh tepat mengenai kepala seorang laki-laki.

"Sialan!" umpat laki-laki itu penuh kemarahan.

Ia melihat sekeliling, mencoba memahami siapa yang baru saja membuatnya merasa kesal. Sorot matanya terhenti pada seorang gadis yang berjalan dengan santai.

"Woiiii ...!" teriaknya dengan lantang.

Caca sama sekali tidak bergeming. Karena pikirannya terus tertuju untuk mencari sosok laki-laki yang berstatus sebagai suami sahabat sejatinya.

"Sial, tuh cewek kenapa dah ngelamun sambil berjalan?"

Karena merasa kesal tidak dihiraukan, Radit memutuskan untuk menghampirinya. Karena ia harus membuat perhitungan pada gadis yang sudah menendang botol minuman ke arahnya.

"Woi!" Ia menepuk pundak gadis itu ala laki-laki.

"Aw, sakit tahu nggak?! Siapa yang ...."

Ucapannya terhenti ketika melihat seorang pangeran tampan datang secara tiba-tiba. Tentu saja ini bukan suatu kebetulan.

Caca menatapnya penuh arti. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki rupawan ini. Namun, Radit membalasnya dengan tatapan datar.

"Biasa aja kali lihatnya. Gue tahu kalau gue ganteng, tapi nggak usah segitunya kali," ujar Radit dengan sombongnya.

Ekspresi Caca berubah seketika. Mood-nya malah makin hancur bertemu dengan laki-laki yang pedenya tingkat dewa. Memang benar dia ganteng, tapi kalau sikapnya sombong, ya pending dulu. Nggak jadi kagum.

"Cowok modelan lu ternyata masih ada ya di muka bumi ini. Harusnya lu malu, muka doang ganteng, tapi attitude rendah," cerca Caca.

Ia pun berjalan meninggalkan laki-laki yang masih mencerna kata-kata gadis yang baru saja ia temui. Karena ia sangat berbeda dengan yang lain.

Jika biasanya para gadis mengemis-ngemis hanya untuk sekedar mengobrol dengannya, hal itu tidak berlaku dengan Caca. Ia malah mengatainya dan meninggalkan begitu saja.

"Gadis yang aneh, tapi ... cantik," gumamnya dalam hati.

Ia pun menyusul gadis itu, karena merasa sangat penasaran dibuatnya. Ia memiliki daya tarik tersendiri bagi Radit.

"Woi, tunggu!" teriaknya.

Gadis itu mengehentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Ia menatap Radit dengan datar.

"Kenapa manggil gue?" tanya Caca sok cuek.

"Lu kan yang udah ngelempar botol minuman ke kepala gue? Jadi, lu harus minta maaf dan tanggung jawab," kata Radit.

Ia menyeringai ke arah gadis itu. Namun, Caca malah mengeryitkan dahi. Seolah ia tidak mengerti dengan apa yang lelaki ini bicarakan.

"Maksud lu apa? Nggak usah ngadi-ngadi," tegur Caca.

"Lu lihat kepala gue, jadi merah gara-gara ulah lu. Jadi, sebagai gantinya lu harus minta maaf dan menuruti permintaan gue," jelasnya.

"Oh, tadi kena kepala lu? Yaudah gue minta maaf," sahut Caca.

Ia pun kembali melanjutkan langkahnya dengan lebih cepat. Karena ia harus segera menemukan laki-laki itu. Jika tidak ... maka Algo akan mengganggu Clara.

Karena ia merasa jika laki-laki itu memiliki maksud terselubung untuk mendekati Clara lagi. Padahal kemarin ia berkata kasar padanya. Tentu saja ia sangat curiga.

"Woi ... kalau minta maaf yang bener. Main cabut aja. Lu bakal nyesel karena udah bersikap kurang ajar sama gue!" teriak Radit dari kejauhan.

Namun, Caca bisa mendengar suara lantang dari laki-laki tadi. Ia sama sekali tidak peduli dengan ancamannya. Karena ia adalah orang yang bodoamat dengan hal sepele.

"Dasar gadis nggak jelas! Awas nanti jatuh cinta!" tegasnya lagi.

"Jatuh cinta? Nggak akan," gumam Caca dalam hati.

****

Dev sedang duduk manis di sebuah kursi taman kampus. Ia merasa hari-hari yang buruk akan segera dimulai. Karena sepertinya ... ia dilema dengan perasaannya.

Ia tidak mengerti kenapa jantungnya berpacu kencang saat Clara ada di dekatnya. Tapi ia juga cinta sama Fida. Hanya saja ... ia tidak merasakan gejolak yang sama saat bersama.

"Jangan-jangan ... gue suka sama Clara? Tapi mana mungkin, Fida adalah cinta sejati gue. Nggak ... gue nggak boleh suka sama Clara. Pernikahan kami hanya sementara. Setelah itu kita akan cerai," ujar Dev bermonolog.

Ia mengacak-acak rambutnya. Tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Ia meratapi nasibnya yang buruk setelah masuk dunia perkuliahan.

Ia pikir dalam lingkup mahasiswa, hanya ada kebahagiaan dan warna yang indah. Tapi, yang terjadi kepadanya justru sebaliknya. Tidak ada warna maupun kebahagiaan dalam dirinya yang sekarang.

Karena ia harus menikahi gadis yang tidak ia kenal sama sekali. Orang tuanya bahkan tidak tahu jika ia sudah berumah tangga.

Ia pun beranjak dari sana. Karena kelasnya akan dimulai dalam lima belas menit.

"Dev!" panggil seseorang yang suaranya nampak asing di telinganya.

Ia pun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang gadis sedang menatap ke arahnya dengan napas terengah-engah.

"Siapa gadis itu?" Ia mengernyitkan dahinya.

Gadis itu berjalan ke arahnya sambil berlari. Ia nampak sangat asing bagi Dev. Karena sepertinya ia tidak satu fakultas dengannya.

"Lu siapa?" tanya Dev penasaran.

Caca menjabat tangan Dev, kemudian memperkenalkan diri dengan santun.

"Kenalin, gue Caca, temannya Clara. Lu bisa manggil gue Caca aja. Dan ya ... salam kenal, serta selamat menempuh lembaran baru," ujar Caca.

"Maksud lu menempuh hidup baru?" tanya Dev tak mengerti arah pembicaraannya.

"Ya kan lu dan Clara baru saja menikah. Jadi gue ucapkan selamat atas pernikahan kalian," jelas Caca.

Dev melototkan matanya. Ia panik karena sudah ada yang mengetahui mengenai kabar pernikahan palsunya. Karena ia dan Clara sudah berjanji untuk merahasiakan dari siapapun.

"Lu tahu dari mana?" tanya Dev.

"Gue tahu sendiri, kok. Clara nggak cerita apa-apa. Kemarin gue nggak sengaja mendengar percakapan antara Pak Tirta dan Pak Arya tentang pernikahan kalian," terang Caca.

"Apakah lu juga ngasih tahu ke yang lainnya?" tanya Dev penuh selidik.

Ia hanya berharap berita ini tidak meluas hanya karena mulut seseorang yang tidak bisa dijaga.

"Lu tenang aja, gue sahabat Clara. Gue bakalan lindungi martabat dan nama baiknya," balas Caca.

"Gue harap lu bisa selaras sama ucapan lu. Ingat, lu harus tutup mulut! Kalau nggak, lu bakal habis sama gue," ancam Dev.

"Lu ngancem gue?" tanya Caca menunjuk dirinya sendiri.

Dev mengerutkan dahi. Karena sepertinya gadis ini punya maksud lain untuk menemuinya. Karena tidak mungkin dia datang tanpa alasan.

"Langsung to the point aja, ngapain lu nyari gue?" tanya Dev.

Gadis itu mendengus kesal. Karena ternyata laki-laki yang sahabatnya nikahi adalah orang yang cuek dan ngeselin. Karena tidak pernah tersenyum setiap kali berbicara.

"Itu, anu, eh anu ...."

"Anu apa?! Kalau ngomong yang jelas, jangan anu, itu. Nggak guna banget, buang-buang waktu," ketus Dev.

"Clara tadi dikerjai sama antek-antek Anne. Sekarang Algo membawanya ke UKS. Gue pikir lu berhak tahu. Karena lu adalah suami Clara," ujar Caca.

Bukannya merasa panik atau segera berlari menemui istrinya, laki-laki itu malah berjalan ke arah yang berlawanan dengan UKS. Hal itu membuat Caca bingung dan kesal.

Karena ia merasa jika pasti sahabatnya menderita tinggal dengan laki-laki yang angkuh. Ia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi peduli pada Clara yang malang.

"Heh Dev! Arah ke UKS ada di sebelah sana! Kenapa lu malah ke sana?"

Langkahnya terhenti, ia menatap sekilas gadis yang mengaku sahabat istrinya itu. Namun, ia tak berniat untuk menjawabnya. Karena kepergiannya sudah jelas merupakan sebuah jawaban yang seharusnya Caca pahami.

"Dasar laki-laki aneh. Istrinya sakit kok malah pergi. Itupun tanpa menitipkan salam ataupun pesan," omel Caca.

Ia melihat punggung laki-laki itu yang makin menjauh kemudian menghilang. Ia geram sendiri. Karena usahanya untuk sahabatnya tidak berbuah manis.

****

"Bukannya gue nggak peduli sama lu, Ra. Tapi ini keinginan lu untuk jaga jarak saat di kampus. Lagipula gue nggak mau semua orang salah paham dengan hubungan kita," gumam Dev dalam hati.

Tiba-tiba sosok perempuan yang merupakan kekasihnya menghampiri dengan wajah berbinar.

"Halo, baby," sapa Fida dengan wajah sumringah.

"Ngapain kamu ke sini? Kamu bolos ngampus?" tanya Dev.

Fida memang tidak satu kampus dengan kekasihnya. Namun, jarak kampus mereka lumayan dekat. Jadi mereka bisa bertemu setiap hati sepulang dari kampus.

"Kamu nggak seneng aku samperin kamu ke sini? Aku udah bawain kamu makan siang kesukaan kamu, loh," balas Fida.

Wajahnya yang tadinya sumringah, kini berubah menjadi masam. Karena ia merasa jika Dev sedikit berbeda.

Jika biasanya ia terlihat semangat ketika melihatnya, namun kini tatapan matanya sangat berbeda. Di sana tidak terlihat akan rasa cinta yang begitu dalam.

Hanya ada ketakutan dan panik. Padahal mereka tidak sedang dikejar-kejar satpol PP.

"Bukan begitu, Da. Aku mau ada kelas sebentar lagi," jelas Dev dengan tatapan datar.

"Tapi aku merasa kalau kamu sedikit berbeda dari biasanya. Apakah ada masalah? Tatapan mata itu, aku belum pernah lihat sebelumnya. Apakah kamu hilang rasa terhadapku?" tanya Fida penasaran.

"Kenapa kamu menanyakan hal seperti itu? Tentu saja aku masih sama. Perasaan aku juga masih sama, aku masih mencintai kamu sama seperti dulu," terang Dev.

Namun, hatinya sama sekali tidak setuju. Jantungnya juga tidak berdebar-debar seperti dulu. Ia seakan kehilangan hasrat pada Fida. Padahal mereka sudah pacaran hampir dua tahun.

"Aku percaya sama kamu, Dev. Kamu nggak mungkin mengkhianati aku. Kalau gitu ayo makan siang dulu. Aku temenin."

Gadis itu menarik tangan kekasihnya ingin mencari tempat biasa mereka makan bersama. Walaupun hanya lima belas menit, mereka dulu sangat bahagia bisa melewati momen berdua.

"Maafin aku, Da. Harusnya aku jujur mengenai statusku yang sudah menjadi suami orang. Tapi aku nggak bisa melihat kamu menangis. Aku juga nggak bisa ngomong jujur. Karena ini akan sangat melukai hati kamu," ucap Dev dalam hati.