Bunuh Diri

"Dev, kepala aku pusing banget. Hari ini kamu masak sendiri ya? Aku nggak kuat mau berdiri," keluhnya.

"Yaudah lu istirahat aja. Kan lu sedang mengandung. Jangan sampai calon anak kita kenapa-napa," sahut Devaro.

Ia mengelus puncak kepala istrinya dengan penuh kasih sayang. Entah mengapa ia merasa jika anak yang Clara kandung adalah darah dagingnya.

Karena saat melakukan hubungan intim dengannya, Clara dalam masa subur. Jadi, besar kemungkinan jika itu memang anaknya.

"Nanti aku juga nggak ke kampus, tolong kamu bilang ke Caca kalau aku sakit," pesan Clara.

"Lu nggak usah mikirin orang lain. Pikirin kondisi lu sendiri," pinta Dev.

"Iya-iya, bawel banget jadi laki," cercanya.

Lelaki itu hanya memutar kedua bola matanya malas. Karena berdebat dengan gadis keras kepala tidak ada ujungnya.

Ia pun pergi ke dapur untuk memasak. Sedangkan Clara ... ia istirahat.

Setelah suaminya pergi, ia menangis. Karena terlalu sakit, ia sampai tak bersuara.

"Kenapa kamu harus hidup, Ra? Harusnya kamu mati aja, biar nggak nyusahin orang lain."

Tangisnya semakin pecah saat ia melihat foto keluarganya. Ia teringat akan sosok ayah dan ibu yang selalu menyayanginya tanpa batas.

"Ma, Pa, Clara kangen sama kalian. Tapi ... Clara udah nggak pantas lagi untuk hidup," kata Clara.

Terlintas dalam benaknya untuk bunuh diri. Karena itu adalah jalan satu-satunya agar semua masalahnya selesai. Termasuk, ia tak akan menimbulkan aib bagi keluarganya. Juga ... tak lagi menjadi beban bagi suaminya, Devaro.

Ia mencekik lehernya sendiri. Berharap ini berhasil untuk membuat nyawanya melayang.

"Ik ... akh," ringisnya.

Setelah mencoba beberapa kali, tidak ada hasilnya. Ia masih bisa bernapas. Namun, napasnya terengah-engah.

Ia mencoba memikirkan cara lain. Terbesit dalam dirinya untuk melukai dirinya sendiri dengan benda tajam. Ini lebih efektif untuk bunuh diri.

Gadis itu mencari sesuatu untuk melukai dirinya sendiri. Karena ia merasa sudah tak pantas lagi menghirup udara bebas.

"Maafkan aku Mama, Papa, dan kamu ... Devaro Mahardika Sanjaya. Sebelum aku pergi, aku ingin kalian semua tahu, kalau aku tidak pernah ingin menyusahkan kalian. Aku ingin mengakhiri penderitaan ini. Aku harap, kepergianku membawa kebahagiaan untuk semua orang," batinnya.

"Aku mencintai kamu, Dev."

Dengan memjamkan kedua matanya, ia menyilet tangannya sendiri dengan pisau.

Darah segar keluar dari pergelangan tangannya. Ia hampir saja memotong pergelangan tangannya sendiri. Namun, ia langsung jatuh pingsan.

Darah itu terus mengalir hingga ke lantai. Tidak ada yang tahu mengenai tindakan nekat gadis keras kepala seperti Clara. Ia tidak pernah munafik dengan perkataannya.

Jika ia bilang ingin mengakhiri hidupnya, maka itu yang akan terjadi. Ia tak pernah mendengar nasihat orang.

"Ra, makanannya udah siap. Yuk makan!" teriak Dev dari ruang makan.

"Ke mana gadis keras kepala itu? Biasanya aja pagi-pagi udah bikin telinga orang bengkak," lirihnya.

"Claraaaa! Cepetan makan, kalau nggak gue habisin sendiri!" teriaknya lagi.

Karena tak kunjung mendapat respon, ia memutuskan untuk melihat istrinya di kamar. Karena tadi, ia sempat mengeluh jika kepalanya pusing tujuh keliling.

Krekkk ....

"Claraaaa!"

Ia membuka mulutnya lebar-lebar. Tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat.

"Claraaa! Apa yang udah lu lakuin? Gadis bodoh!" umpatnya.

Betapa terkejutnya ia saat melihat tubuh gadisnya yang terbaring dengan lumuran darah di lantai.

Tanpa basa-basi, ia langsung membopong tubuh gadis itu ke rumah sakit. Wajahnya menunjukkan jika ia sangat cemas dengan kondisi istrinya.

****

"Suami macam apa lu, Dev? Istri lu itu hanya pura-pura baik-baik aja. Kenapa lu nggak peka?!"

Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Dalam pikirannya hanya ada penyesalan dan kekhawatiran yang amat dalam.

"Laki-laki sialan itu adalah biang kerok dari semua masalah. Tunggu pembalasan gue. Bakal gue buat laki-laki tak bermoral itu bertekuk lutut di pengadilan," janji Dev.

"Pak Devaro!" panggil Dokter Galih.

Ia pun langsung beranjak. Berharap istrinya bisa selamat.

"Bagaimana kondisi istri saya, Dok? Apakah dia baik-baik aja?" tanyanya dengan wajah panik.

"Pendarahan di pergelangan tangannya membuat pasien kehilangan banyak darah. Kami harus mengambil tindakan operasi. Tolong segera setujui berkasnya, agar kami segera melakukan operasi," jelas Dokter Galih.

"Apakah istri saya akan selamat, Dok?" tanyanya penuh harap.

"Saya tidak bisa memastikan akan hal itu. Tapi, setidaknya ini yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan nyawa pasien," jawab sang dokter.

Tanpa berpikir panjang, Devaro langsung menandatangani berkas administrasi. Ia merasa sangat bersalah, karena merasa tidak becus menjadi seorang suami.

"Tolong lakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa istri saya, Dok."

"Pasti kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien. Berdoa saja agar operasi berjalan dengan lancar," pinta Dokter Galih.

Sang dokter menepuk bahu Dev. Air matanya bercucuran. Ini adalah kali pertama ia meneteskan air mata. Ia sangat takut kehilangan istri yang ia cintai.

"Gue harus menghubungi orang tua Clara. Mereka harus tahu kondisi putrinya," gumamnya.

"Tidak, bagaimana kalau mereka malah membuat mental Clara down? Gue harus cari cara lain," ujarnya bermonolog.

****

Drt ... drt ... drt ....

Devaro is calling ....

Wajah wanita paruh baya itu nampak sumringah. Karena setelah sekian lama, putra sulungnya menghubunginya.

["Halo, Sayang!"] sapa Farah dari sambungan telepon.

Dev menutup mulutnya, ia tak bisa mengatakan yang sebenarnya. Namun, hanya mamanya orang yang paling bisa diajak bicara.

["Halo, Devaro!"]

Ia mencoba untuk kuat. Ia menarik napas pelan dan berusaha jujur dengan mamanya.

["Ma, Dev sedang dalam masalah. Apakah Mama bisa bantu?"] tanyanya.

["Kamu ada masalah apa, Sayang? Apakah uang kamu sudah habis? Kan Mama udah bilang kalau kebutuhan kamu masih tanggung jawab kami. Tapi kamu ngeyel untuk kerja,"] omel Farah.

["Bukan itu, Ma, tapi ini masalah yang lebih serius."]

["Masalah yang lebih serius? Kamu kenapa? Jangan bilang kamu di keluarkan dari kampus?"] tebak Farah.

["Devaro udah nikah, Ma. Dan sekarang istri Dev ada di rumah sakit. Ia mencoba mengakhiri hidupnya,"] jelas Dev.

Perlahan ... air matanya turun. Namun, ia segera menyekanya. Karena seorang laki-laki nggak boleh cengeng.

["Maksud kamu apa, Dev? Menikah? Bunuh diri? Apa yang sebenarnya terjadi?!"] tanya Farah dengan nada meninggi.

["Ceritanya panjang, Ma. Pokoknya sekarang Dev minta Mama buat datang ke sini. Devaro butuh Mama,"] pintanya.

Ia menutup sambungan telepon sepihak. Ia sudah tak kuat mendengar suara mamanya. Ia merasa sangat bersalah pada mereka.

["Halo, Dev. Halo!"]

"Kenapa kamu matiin teleponnya, Dev? Mama belum selesai ngomong," kesal Farah.

Ia pun langsung mengambil tasnya dan berangkat ke Malang. Ia harus meminta penjelasan sejelas-jelasnya pada putra sulungnya.

Karena ini sangat menyangkut nama baik keluarga. Juga ... Dev sudah melanggar aturan inti di keluarga mereka.

****

Setelah tiga jam di ruang operasi, sang dokter keluar. Dev pun langsung beranjak untuk mengetahui kondisi istrinya.

"Bagaimana istri saya, Dok? Apakah dia bisa diselamatkan?" tanya Dev.

"Alhamdulillah, operasi berjalan dengan lancar. Mungkin, dua jam lagi istri Anda akan siuman. Hanya saja ...."

Dokter Galih menjeda kalimatnya.

"Hanya saja kenapa, Dok?" tanya Dev penasaran.

Ia nampak panik dan takut. Karena ia tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada orang yang ia sayangi.

"Kami tidak bisa mempertahankan janin yang ada di dalam rahim pasien. Karena pendarahan yang berlebihan, membuat pasien lemas dan berimbas pada bayinya."

Dev bertekuk lutut. Harapannya untuk menjadi seorang ayah pupus sudah. Terlebih ia yakin jika bayi itu adalah miliknya.

"Yang sabar, Pak. Anda harus lebih kuat demi istri Anda," pesan Dokter Galih.

Ia hanya menatap tanpa ekspresi. Sulit dijelaskan, ia telah kehilangan peluang. Ia pikir hidupnya akan bahagia dan lengkap setelah kehadiran sang malaikat kecil.

Tapi ... Tuhan lebih sayang dengan janin itu. Ia hanya bisa pasrah dan mengikhlaskan kepergiannya.

"Kenapa ya Allah? Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Kenapa?!"

"Aaaaaaaaaaarggh!"

Ia berteriak tanpa memedulikan jika dirinya sedang di rumah sakit.