Hamil di Luar Nikah

"Jadi ini istrinya Devaro, cantik juga, manis lagi. Kumis-kumis tipis," gumam Galang dalam hati.

"Woi, kenapa lu malah bengong. Lu jadi meriksa istri gue nggak?" celetuk Dev.

Galang pun langsung terperangah kaget. Karena ia sibuk menghayal istri orang, yang tak lain adalah istri teman masa kecilnya.

"Kok kalian kayak orang yang udah saling kenal," ujar Clara menatap keduanya secara bergantian.

"Dia ini Galang, teman masa kecil gue. Sekarang dia udah sukses jadi dokter. Jadi, Dokter Galang yang akan meriksa lu," kata Dev.

Mata Clara langsung melotot sempurna. Keringat dinginnya bercucuran. Bulu kuduknya berdiri, ia merasa merinding saat suaminya mengatakan kata dokter.

"Udah lu nggak usah takut. Karena Galang nggak akan makan lu hidup-hidup," kata Dev mencoba meyakinkan istrinya.

Ia mengusap lembut puncak kepala istrinya. Hal itu membuat Galang seperti obat nyamuk saja. Padahal ia seorang tamu yang harus dilayani. Tapi, malah melayani pasien.

Untung saja pasiennya cantik. Kalau nggak ... mungkin langsung pergi.

"He'hem," dehamnya.

"Ini gue mau meriksa istri lu. Tapi kenapa malah disuguhi pemandangan yang bikin jiwa jomlo gue meronta-ronta," sindirnya.

Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Karena sepertinya tidak ada yang merespon.

"Aku nggak mau disuntik, Dok," tolak Clara.

"Saya kan belum memeriksa kamu, Nona. Kenapa langsung bicara suntik. Kan kamu hanya diperiksa, bukan disuntik. Jadi nggak perlu risau," jelas Dokter Galang.

"Dokter nggak bohong, kan? Soalnya saya takut sama jarum suntik," tanya Clara memastikan.

Dokter itu tersenyum ke arah Clara. Hal itu membuat Dev merasa sedikit panas. Entah mengapa ia seolah tidak rela jika istrinya membalas senyuman laki-laki lain.

"Jangan bilang gue cemburu. Ah ... nggak mungkin," batinnya.

Ia menepuk-nepuk pipinya untuk sadar diri.

"Kamu kenapa, Dev?" tanya Clara tiba-tiba.

"Ha? Gue nggak papa. Emangnya kenapa gue? Udah, lu harus mau diperiksa. Karena gue nggak mau kalau lu sakit parah," balasnya.

Sang dokter pun langsung memeriksa denyut nadi gadis cantik itu. Ia mengeluarkan stetoskop miliknya. Karena kemana pun ia pergi, ia selalu membawanya.

"Apakah ada sesuatu yang perlu dicemaskan?" tanya Dev mulai panik.

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Istri lu sedang berbadan dua," jawab Galang.

Dev yang berusaha mencerna kalimat sang dokter merasa bingung tanpa ekspresi.

"Maksud Dokter saya hamil?" tanya Clara penasaran.

Sang dokter tersenyum sembari berkata, "Iya, kamu sedang mengandung. Usianya masih sangat muda dan rentan."

"Selamat ya atas buah hati pertama kalian. Semoga bayinya sehat sampai masa persalinan."

"Makasih, Bro."

Bukannya merasa bahagia, justru Clara merasa sedih. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia merasa cemas dan takut jika bayi yang ia kandung adalah bukan bayi suaminya.

"Ra, kenapa lu kelihatan sedih? Lu nggak bahagia? Sebentar lagi kita jadi orang tua, Ra. Harusnya lu bahagia," tanya Dev bingung. Ia mengeryitkan dahinya.

"Kamu benar, seharusnya aku bahagia. Tapi apakah aku harus bahagai dengan kehamilan di luar nikah seperti ini? Apakah kamu pikir aku bisa bahagia menyambut anak yang tidak aku harapkan?" tanya Clara.

Air matanya turun. Tangisnya pecah karena ia merasa tidak pantas untuk hidup lagi.

Karena daripada harus menanggung malu, ia memilih untuk mati. Jika perlu ia ingin mengakhiri segalanya sekarang juga. Termasuk nyawanya.

"What? Jadi, lu sama Clara udah pernah melakukan itu sebelum nikah?" tanya Galang. Ia terkejut dengan pengakuan gadis cantik ini.

"Bukan Dev yang sudah menghamili aku. Tapi orang lain yang nggak bertanggung jawab. Dev dijebak oleh laki-laki bejat itu, hiks ...."

"Semua salahku. Harusnya aku nggak diam aja. Harusnya aku berani speak up. Jika saja saat itu aku nggak ceroboh, mungkin hal ini nggak akan terjadi. Dan mungkin ...."

Belum selesai ia menyelesaikan kalimatnya, Dev langsung memeluknya dengan erat. Tak lupa, ia mencium kening perempuan yang sudah berhasil membuatnya merasa nyaman.

"Hiks ... hiks ... hiks ...."

Hanya ada suara isakan tangis. Hatinya yang mulai tenang, kini mulai rapuh kembali. Pikiran bunuh diri terus terlintas dalam pikirannya.

"Lu nggak boleh ngomong gitu, Ra. Karena belum tentu lu hamil di luar nikah," kata Dev.

"Nggak ada jaminan kalau aku hamil anak kamu, Dev. Karena aku melakukannya pertama kali dengan laki-laki sialan itu, hiks ...."

Galang menatap pasangan baru ini bingung. Ia tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karena sepertinya masalah yang gadis itu hadapi sangat serius.

"Kalau gitu mendingan gue cabut dulu. Gue harap masalah kalian segera menemui titik terang," pamit Galang.

"Makasih, Bro. Kapan-kapan gue ceritain. Untuk sekarang gue harap lu ngerti," sahut Dev.

Laki-laki itu hanya menanggapi dengan kedua jempolnya. Kemudian, ia pergi dari sana dengan perasaan tidak enak.

"Cantik-cantik kok hamil duluan," batin Galang.

****

"Maksud lu apa ngatain orang tua gue kayak gitu? Lu pikir siapa diri lu? Presiden? Menteri? Departemen kehakiman? Atau ... lu hanya cewek yang nggak punya moral dan etika?!"

Splassssh!

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Fida. Pipinya berubah memerah karena tamparan yang begitu keras.

"Lu itu cuma anak beasiswa di sini. Jadi nggak usah berlagak seolah-olah lu paling cantik! Lu pikir tampang pas-pasan lu ini bakalan bisa menggoda cowok sekampus?! Ngaca dulu say!" ejek Selin.

Selin dan antek-anteknya memang sangat julid dengan mahasiswi beasiswa. Karena dinilai tidak selevel dengan mereka. Juga ... ia tidak suka dengan orang miskin.

"Gue emang anak beasiswa. Tapi setidaknya gue masih punya sopan santun sama orang. Nggak kayak lu, sukanya nindas orang miskin. Saat orang tau lu jatuh bangkrut, baru tahu rasa!" tegas Fida tak mau kalah.

Meskipun berhadapan dengan orang-orang kaya, ia sama sekali tidak minder. Karena setiap orang punya hak yang sama. Setiap mahasiswa juga punya hak yang sama di kampus.

"Berani lu sama gue?! Apakah lu mau gue bilang sama Papa gue buat cabut beasiswa lu di sini. Habis itu, lu jadi gelandangan yang ngemis-ngemis. Ish-ish ... kasihan banget sih nasib orang susah," hina Selin.

Hahahaha ...!

Ia dan antek-anteknya tertawa puas. Karena jika sudah ia mengeluarkan kelemahan Fida, pasti gadis itu akan diam seribu bahasa.

Karena ia bisa kuliah di sini atas beasiswa yang orang tuanya berikan. Hal itu dilakukan karena orang tua Fida pernah membantu mamanya saat hampir tertabrak mobil.

"Kalian ini orang-orang kaya. Nggak usah sombong. Karena yang di atas nggak akan selalu di atas! Dan yang di bawah nggak selalu menginjak tanah. Camkan itu!" tegasnya.

Splassssh!

Selin menampar gadis itu lagi. Karena ia selalu membuatnya kesal dan marah.

"Enak ditampar? Kenapa diam aja? Lu takut kan sama gue?" sombong Selin.

Ia menendang Fida hingga gadis itu tersungkur ke lantai. Teman-temannya ikut menendang juga. Karena ini adalah salah satu cara mereka untuk mencari kesenangan. Yaitu dengan membuli para mahasiswi miskin.

"Argh," erangnya.

Karena terbentur lantai, lutut Fida berdarah. Namun, hal itu tak membuat Selin merasa iba. Ia malah bahagia jika melihat gadis itu menderita.

Karena selain membenci gadis miskin, ia juga sangat benci jika orang yang ia cintai berpaling ke orang lain.

Ya ... ia menyukai Pandhu. Kakak kelasnya yang merupakan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ia menyukai laki-laki itu sejak semester pertama, namun ... Fida datang dan membuat segalanya hancur.

"Sakit ya lututnya? Itu belum seberapa dari apa yang udah lu lakuin ke gue! Mungkin ini karma buat gadis sok polos kayak lu. Makanya nggak usah nyari gara-gara sama gue!"

"Emangnya gue salah apa, Sel? Bukannya kita dulu berteman baik?" tanya Fida penasaran.

"Cih, lu nggak usah sok amnesia. Sikap sok polos lu ini yang bikin gue makin benci sama lu. Lu pikir lu lebih cantik dari gue?! Ngaca dulu dong. Awas aja kalau lu sampai deketin Kak Pandhu lagi. Gue nggak akan segan-segan buat habisin lu dengan tangan gue sendiri!" ancam Selin tak main-main.

Ia meninggalkan Fida yang masih terduduk memegangi lututnya. Bahkan, Selin masih menendangnya. Karena rasa kesalnya sudah tak bisa dikontrol.

"Kenapa lu bisa sebenci ini sama gue, Sel? Padahal lu tahu sendiri kalau gue udah punya pacar. Tapi kenapa lu menuduh gue yang deketin Kak Pandhu?"