"Ra, kapan lu bangun? Apa nggak capek tidur mulu? Kalau emang hobi rebahan, ya nggak gini juga caranya," ucap Dev.
Ia meraih telapak tangan istrinya dan menyatukan dengan telapak tangannya. Kemudian, ia menciumnya dengan sayang.
"Nggak tahu kenapa, gue bisa setakut ini kehilangan lu. Padahal awalnya gue pikir ... lu adalah mimpi buruk bagi gue. Ternyata, lu adalah belahan jiwa gue," lanjutnya.
Ia meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya ia menangisi seorang perempuan. Entah mengapa, gadis ini benar-benar unik. Karena ia mampu membuat Dev jatuh cinta hanya dalam hitungan hari.
'Ternyata belum siap aku kehilangan dirimu. Belum sanggup untuk jauh darimu ... yang masih selalu ada dalam hatiku ....'
Dering ponsel dengan lagu 'Belum Siap Kehilangan' itu membuat perhatian Dev teralihkan. Ia mengambil benda pipih berwarna monokrom itu dari sakunya.
Fida is calling ....
"Kenapa dia nelpon gue?" tanyanya dalam hati.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung menggeser tombol hijau di layar ponselnya tersebut. Mereka pun tersambung jaringan telepon.
["Halo,"] sapa seseorang di seberang sana.
["Ada apa, Fid? Kenapa jam segini nelpon?"] tanya Dev datar.
["Kamu bilang kenapa? Aku ini pacar kamu, Dev. Wajar kalau aku nelpon kamu. Dan ya ... kenapa panggilan kamu ke aku berubah?"] tanya Fida.
Raut wajahnya langsung berubah setelah perkataan Dev barusan. Karena biasanya laki-laki itu selalu bersikap manis padanya. Entah itu di telpon ataupun di real life.
["Maaf, maksud aku bukan gitu, Fid, eh ... Sayang."] Dev menjitak kepalanya sendiri. Karena selalu salah memanggil Fida sejak ia menikah.
["Kayaknya kamu emang udah berubah, Dev. Apakah kamu punya perempuan lain di luar sana? Atau ... kamu sudah bosen dengan aku? Harusnya aku sadar diri, karena kita emang nggak selevel. Tapi karena rasa cintaku yang begitu besar, aku selalu memaksa kamu untuk selalu bersamaku,"] tutur Fida.
Tak disadari cairan bening itu keluar begitu deras dari mata Fida. Secepat mungkin ia segera menyekanya. Karena menangis hanya akan membuatnya terlihat lemah.
["Kamu salah paham, Sayang. Aku nggak pernah punya perempuan lain."]
Ia menjeda kalimatnya dan menatap sendu ke arah istrinya yang terbaring koma.
["Aku hanya butuh waktu untuk sendiri saat ini. Karena banyak hal yang harus aku tata kembali. Aku harap kamu mengerti,"] beber Devaro.
"Maafin aku, Fida. Harusnya aku berkata jujur. Tapi entah kenapa rasanya sangat berat. Aku tidak tahu kepada siapa aku harus memberikan cinta ini. Karena rasaku padamu sedikit memudar," batinnya.
Ia merasa bersalah karena sudah mempermainkan perasaan Fida. Tapi mau bagaimana lagi? Semua ini juga bukan atas kehendaknya. Semua terjadi begitu cepat dan tiba-tiba.
["Kurang pengertian apa aku ke kamu, Dev? Kamu capek dan marah-marah, aku bujuk. Kamu kesal aku selalu ada untuk menghibur. Kamu punya banyak tugas kuliah, aku juga bantu. Kamu sakit aku selalu ada di samping kamu. Kamu nggak pernah ngabarin ... aku selalu sabar untuk menunggu pesan singkat dari kamu? Apakah semua itu masih kurang? Apakah aku tidak cukup peka, hingga kamu mengatakan hal itu?!"]
Skakmat!
Dev terdiam seribu bahasa. Ia tak tahu harus menjawab apa lagi. Karena apa yang kekasihnya beberkan memang fakta.
Fida adalah tipe gadis yang mudah peka. Dia juga tidak pernah menuntut macam-macam dari kekasihnya. Hanya satu yang ia minta, yaitu kejujuran.
Karena ia tidak suka perkataan dusta. Apalagi mengenai perasaan. Ia ingin dicintai, bukan dikasihani.
Drt ... drt ... drt ....
["Halo ... halo, halo Dev!"]
Karena tidak ingin berdebat dan membuat semuanya makin kacau, Dev pun mematikan sambungan telepon sepihak.
"Aku tahu kalau kamu memang tidak mencintai aku seperti dulu lagi. Tapi apakah salah jika aku meminta kamu untuk selalu ada? Apakah aku salah jika menelponmu di saat aku rindu? Mungkin rasa itu sudah berubah, bahkan lenyap. Tapi percayalah ... sampai kapan pun, aku akan selalu ada di saat kamu butuh," batin Fida.
"Hiks ... hiks ... hiks ...."
Ia sudah tak kuat membendungnya lagi. Akhirnya ia meluapkan semua perasaannya dengan menangis. Meksipun ini tidak menyelesaikan masalah, setidaknya ia bisa meluapkan emosinya.
"Kenapa kamu berubah, Dev? Hiks ... hiks ... aku rindu kamu yang dulu, hiks ...."
Ia menangis hingga sesenggukan. Hanya berteman angin malam yang sunyi. Disertai kalutan rindu yang terus menggebu dalam hatinya.
Ia hanya bisa memandang kekasihnya dari foto di galleri ponselnya. Karena laki-laki itu sudah berubah dan tidak peka seperti dulu. Ia sering merasa kesepian akhir-akhir ini.
Karena orang yang ia cintai, kini telah memiliki perempuan lain. Meskipun Dev tidak mengatakan apapun, ia bisa merasakan dari tatapan mata kekasihnya itu.
****
"Sayang, kamu sudah pulang," kata perempuan paruh baya itu.
"Loh, itu kenapa muka kamu lebam semua? Kamu habis berantem di kampus? Sini, biar Mama obatin," tawar Nindi, mama tiri Algo.
Ia menyentuh wajah putra tirinya. Namun dengan cepat, laki-laki kepala batu itu menampiknya.
"Nggak usah sok peduli sama gue. Karena lu bukan Mama gue, ngerti?!" ketusnya.
"Dan ya ... gue tahu niat busuk lu nikahin Papa. Dan mungkin lu bisa bodohin Papa, tapi tidak dengan gue!" tambahnya.
"Kamu salah paham, Sayang. Mama nggak seperti itu. Asal kamu tahu ...."
Belum sempat Nindi melanjutkan ucapannya, Algo langsung memotongnya.
"Nggak usah manggil gue Sayang. Gue jijik tahu nggak. Dasar wanita murahan!" cerca Algo. Ia menatap mama tirinya dengan tatapan meremehkan.
Ia berjalan melewati mama tirinya dengan angkuh. Karena wanita itu, mamanya harus menjadi seorang janda.
Nindi hanya bisa mengelus dada menghadapi sikap Algo yang keras. Ia sudah biasa menerima cacian dan makian dari putra tirinya sejak menikah dengan Adam, ayah Algo.
"Sampai kapan kamu akan membenci aku, Nak. Asal kamu tahu ... Mama kamu itu sudah selingkuh dan menelantarkan kamu sejak kecil. Kenapa kamu tidak bisa membuka hati sedikit saja untuk aku?" ujar Nindi bermonolog.
Ia mencoba tetap tersenyum. Karena menikah dengan pria duda, berarti ia harus menerima anaknya juga. Ini sudah menjadi konsekuensinya. Hanya lapang dada yang bisa ia lakukan. Serta ... hati yang sekuat baja.
Ia pun melanjutkan pekerjaannya untuk mengepel lantai. Meski di rumahnya ada asisten rumah tangga, ia ingin tetap melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
"Sudah Nyonya biar saya saja. Nanti kalau Tuan sampai tahu, bisa-bisa saya dipecat," celetuk Bi Inem yang datang dari dapur.
"Udah nggak papa, Bi. Saya senang kok melakukannya. Ini juga sudah tugas saya sebagai ibu rumah tangga. Bibi nggak perlu khawatir. Nanti biar saya bicara sama suami saya," balasnya ramah.
Senyum di bibirnya selalu mengembang meskipun suasana hatinya sedang buruk. Karena menurutnya senyum adalah salah satu perekat dalam suatu hubungan.
"Bisa-bisanya Den Algo benci punya Mama yang baik seperti Nyonya. Kalau saja ia tahu yang sebenarnya, mungkin Nyonya tidak akan dibenci seperti ini," tutur Bi Inem turut prihatin.
"Nggak papa kok, Bi. Saya sudah biasa dan ikhlas. Saya ingin Algo bisa menerima saya sebagai Mamanya bukan karena ia tahu sifat asli Mama kandungnya. Tapi saya ingin dia bisa merasakan ketulusan saya sebagai seorang ibu," sahut Nindi tersenyum kecut.
"Nyonya yang sabar, mudah-mudahan Den Algo segera dapat hidayah dari Allah," ucap Bi Inem.
"Aminnn."
"Kalau begitu saya lanjutkan tugas saya di dapur, Nyonya," pamitnya.
Nindi hanya mengangguk mengiyakan. Ia pun melanjutkan aktivitas mengepelnya lagi.
****
"Dev, kamu kenapa melamun terus, Sayang?" tanya Farah.
"Devaro bingung dan sedih, Mam. Dev bingung dengan perasaan Dev sekarang. Karena perasaan Dev ke Fida udah nggak sama seperti dulu. Tapi Dev nggak bisa menyakiti Fida seperti ini," jelas Devaro.
"Kalau boleh jujur, Mama juga kurang setuju dengan hubungan kamu sama Fida. Karena jika kamu dan dia terus bersama, hal itu hanya akan menyakiti kalian berdua. Kamu tahu sendiri kan kalau di dalam silsilah keluarga kita, tidak boleh menikah dengan gadis sembarangan," tutur Farah.
"Meskipun Clara memiliki masa lalu yang kurang baik, Mama lebih setuju jika kamu tetap mempertahankan rumah tangga kamu," smabungnya.
Dev terus menatap istrinya yang masih belum siuman. Sudah hampir empat puluh delapan jam, gadis itu tidak membuka matanya.
Ia takut jika terjadi sesuatu yang buruk dengan Clara. Karena ia masih yakin jika bayi yang Clara kandung adalah anaknya. Karena saat kejadian menjijikkan itu, Clara tidak dalam masa subur. Sedangkan saat berhubungan dengannya, ia dalam masa subur.
"Tapi Dev yakin jika Clara itu mengandung anak Dev, Mam," ujarnya.
"Kamu tidak bisa seyakin itu, Dev. Karena ia pertama kali melakukannya dengan dosen tidak bermoral itu. Tapi ada baiknya juga ia keguguran, karena keluarga kita tidak akan menerima perempuan yang hamil di luar nikah," beber Farah.
Dev mengembuskan napas kasar. Karena mamanya selalu saja membicarakan dan menyangkut pautkan segala hal dengan peraturan konyol di keluarganya.
"Bisa nggak sih, sekali aja Mama nggak bicara mengenai aturan nggak masuk akal itu? Dev capek, Ma, setiap hari selalu mendengarkan ceramah mengenai peraturan yang begitu konyol. Jika semua tetap seperti ini, bisa-bisa Dev jadi perjaka tua," kesal Devaro.
"Ini sudah menjadi tradisi di keluarga kita, Sayang. Kamu nggak boleh seenaknya. Karena semua ada makna yang sakral."
"Terserah apa kata Mama. Jika Mama tetap seperti ini, bisa-bisa Dev jadi gila dadakan. Mama mau punya anak yang depresi karena aturan yang sangat membagongkan itu?!" ketusnya.
Ia menatap mamanya dengan wajah kesal. Jujur saja ia merasa muak dengan aturan-aturan yang membuatnya bisa gila. Karena kedua orangtuanya terlalu menganut tradisi leluhur.
Mereka tidak menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Padahal ini sudah era modern. Tapi mereka tetap mempertahankan tahayul-tahayul yang membuatnya ingin mati berdiri.
"Mendingan Dev keluar dulu cari angin. Dev minta tolong jagain Clara sebentar. Kalau dia udah siuman, telpon aja. Maaf, kalau perkataan Dev menyinggung hati Mama."
Krekkk ....
Ia keluar dengan wajah yang masam. Pikirannya tak karuan ditambah dengan peraturan keluarga konglomerat, membuatnya ingin menghilang saja dari bumi.