Clara berjalan menyusuri jalanan yang sepi. Tidak biasanya ia pulang lewat jalan pintas seperti ini. Karena ingin sampai lebih cepat, akhirnya ia mencoba untuk memberanikan diri.
Banyak orang berpendapat jika jalanan ini dihuni oleh makhluk-makhluk astral yang tak kasat mata. Tidak sedikit pula yang berpendapat jika banyak laki-laki misterius yang menjadi penunggu jalanan ini.
Ia pun menatap jam tangan yang ia kenakan.
"Wajar saja jalanannya sepi. Ternyata udah hampir tengah malam. Mana masih lumayan jauh lagi," gerutunya.
Ia masih menempuh setengah perjalanan. Karena meskipun lewat jalan pintas, tetap saja ... jaraknya lumayan jauh.
"Kalau aja mobil aku nggak mogok tadi, pasti aku udah rebahan di kasur," omelnya.
Ia berdecak kesal. Karena jam-jam segini enaknya rebahan sambil maraton drama Korea.
"Itu ada apa di sana? Kenapa banyak orang," batinnya.
Karena merasa butuh bantuan seseorang, ia pun berjalan menghampiri segerombolan anak muda yang sedang asik bermain kartu.
Memang benar apa yang dikatakan orang-orang, jika di sana terdapat banyak laki-laki. Namun, pakaian mereka serba hitam.
Saat ia hendak meminta bantuan mereka, tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.
"Bagaimana kalau mereka adalah laki-laki misterius yang dibicarakan orang-orang? Bagaimana kalau mereka melukaiku? Bagaimana kalau ternyata mereka jelmaan iblis? Tidak, sepertinya aku harus lari secepat mungkin dari sini," ujarnya bermonolog.
Pikirannya tak karuan, dahinya berkeringat, serta bulu kuduknya berdiri. Ia merasa merinding. Seperti ada sesuatu yang menembus tubuhnya.
"Satu, dua, tiga ... lariiiiiii!"
Ia berlari sekencang-kencangnya. Karena ia harus selamat sampai rumah bagaimanapun caranya.
"Eits, mau ke mana cantik?"
Tiba-tiba ada dua orang yang menghadang jalannya. Mereka menatap Clara seperti singa yang kelaparan. Hal itu membuat Clara takut. Ia hanya bisa menelan ludahnya pelan.
"Woi, kita kedatangan tamu," ujar salah seorang laki-laki misterius tersebut.
"Pergi, jangan ganggu saya!" tegas Clara.
Meskipun sebenarnya ia sangat takut dan gelisah, ia mencoba tetap tenang di depan mereka.
"Clara, pikirkan sesuatu. Ya Allah lindungi hambamu yang cantik dan cetar membahana ini," pintanya dalam hati.
Laki-laki misterius berjubah hitam itu mendekat ke arah Clara. Pakaiannya yang lebih mirip malaikat maut itu, membuat jantung Clara berpacu kencang.
Ia bukan perempuan penakut, tapi jika dihadapkan dengan laki-laki seperti ini, tentu saja keberaniannya kabur seketika.
"Kamu harus menjadi santapan kami, gadis cantik. Karena sudah berani melewati wilayah kami. Maka kamu harus siap dijadikan makan malam," ujar laki-laki misterius itu.
"Hahahaha, akhirnya malam ini bisa makan enak. Hahahaha!"
Manusia setengah iblis itu tertawa jahat. Bahkan ia tidak pantas disebut sebagai manusia. Psikopat lebih tepatnya. Tapi, jika dilihat-lihat ia jauh lebih berbahaya dan menyeramkan.
"Mama, Papa, tolongin Clara! Clara nggak mau dijadiin santapan iblis, hiks ...."
Tidak ada cara lain selain menangis. Ia berharap mereka para penunggu jalan keramat itu merasa iba dan melepaskannya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Mereka membawa Clara seperti seekor hewan. Sama sekali bukan sifat manusia. Mereka juga mengatakan akan membakar daging Clara dan menyantapnya tanpa sisa.
"Nasib buruk apa yang menimpa aku? Kenapa aku harus lewat jalan terlarang itu? Kenapa aku harus berakhir seperti ini? Aku nggak mau mati!"
Ketika pisau besar itu akan mengenai kepalanya, ia berteriak sekencang mungkin.
"Mamaaaaaaaaaa!"
"Claraaaa!"
Megan langsung terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah-engah seperti seorang atlet yang baru saja berlari kencang.
Ardi yang semula tidur nyenyak juga terbangun mendengar teriakan istrinya yang sangat lantang. Lumayan memekakkan telinga juga.
"Huh ... rupanya hanya mimpi," ujarnya.
"Kamu ini kenapa, Sayang? Bikin orang kaget aja," celetuk Ardi.
Ia menguap dengan lebar. Karena terlalu lelah bekerja membuatnya merasa sangat kantuk.
"Kenapa perasaanku nggak tenang ya, Pa? Aku terus kepikiran Clara dari kemarin. Kenapa dia selalu muncul dalam mimpi aku akhir-akhir ini?" tanya Megan panik.
Firasatnya tak mungkin salah. Ia bisa merasakan jika putrinya sedang memanggil namanya. Clara dalam masalah dan butuh dukungannya.
"Mungkin itu hanya bunga tidur saja, Ma. Nggak usah cemasin anak kita. Dia udah dewasa, bisa menjaga dirinya sendiri," balas Ardi mencoba menenangkan istrinya.
"Tapi kali ini aku yakin jika Clara sedang dalam masalah besar, Pa. Kemarin saja tiba-tiba foto Clara terjatuh saat aku melihat kamarnya. Dia juga terus datang dalam mimpiku. Dan yang lebih membuatku yakin, firasat seorang ibu tak pernah salah," tutur Megan.
Megan terlihat sangat panik. Keringatnya bercucuran di sekujur wajahnya. Bibirnya terus berkomat-kamit memanggil nama putri tunggalnya.
Sedangkan Ardi, ia merasa cemas pula. Karena terakhir kali mereka bertemu dengan Clara adalah satu minggu yang lalu. Tepatnya saat gadis itu marah dan meninggalkan rumah karena bertengkar dengan mereka.
"Pa, aku nggak tenang kalau belum melihat anak kita. Kita harus ke Malang besok," rengek Megan.
"Bagaimana mungkin kita ke sana besok. Jarak antara Bandung ke Malang lumayan jauh, Sayang. Besok kita juga harus menghadiri konferensi, bukan?"
Ardi tak habis pikir dengan istrinya. Hanya karena mimpi, langsung berpikir yang tidak-tidak. Padahal mimpi hanyalah bunga tidur yang tak pernah menjadi nyata, begitu menurutnya.
"Tapi aku sangat cemas dengan kondisi Clara, Pa. Aku rasa dia sedang dalam masalah. Jika tidak, dia tidak akan memanggil-manggil namaku," ujar Megan.
"Apakah kamu yakin dengan keputusan kamu? Apakah kamu ikhlas dengan keputusan di konferensi yang tidak sesuai dengan prinsip kita? Ini sangat berisiko, Sayang. Karena ini juga menyangkut masa depan perusahaan kita, masa depan anak kita juga," sahut Ardi mencoba meyakinkan.
Megan mendengus kesal. Karena di saat batinnya tertekan, suaminya malah memikirkan masalah perusahaan. Padahal anak jauh lebih berharga dari apapun. Sekalipun itu adalah materi.
"Pa, Clara jauh lebih berharga dari apapun. Kalau Papa tidak ingin pergi, aku akan pergi sendiri!" ketusnya.
Ia pun beranjak dari tempat tidurnya. Karena ia harus berkemas untuk menjenguk putrinya di Malang. Sekalian ia ingin pergi ke kota kenangan masa kecilnya.
****
"Mama, Papa, Mama, Papa ...," panggil Clara.
"Clara, Sayang, kamu udah sadar?" tanya Dev sumringah.
Entah kenapa Dev selalu berubah-ubah saat memanggil istrinya. Kadang pakai aku-kamu. Kadang sayang-sayang, kadang lu-gue. Mereka benar-benar pasangan yang random.
"Alhamdulillah ... akhirnya lu siuman juga, Ra."
Devaro segera memencet tombol yang digunakan untuk memanggil dokter dan suster. Ia merasa sangat bahagia bisa melihat manik mata indah milik Clara lagi.
"Ish, kenapa kepalaku pusing sekali?"
Ia mencoba untuk bangun, tapi kepalanya sangat sakit. Hingga ia tidak bisa berdiri dengan benar.
"Jangan banyak gerak, Ra. Lu masih lemah, banyakin istirahat dulu. Gue udah manggis dokter," larang Dev.
"Aku ada di mana, ini? Kenapa semua tampak berbeda? Apakah aku sedang bermimpi?" tanyanya bermonolog.
Ia memegangi kepalanya yang rasanya seperti keliling tujuh kali. Ia merasa kesakitan saat hendak berdiri. Apalagi, luka di pergelangan tangannya sangat sakit.
Bahkan dokter mengatakan jika tulang pergelangan tangan Clara patah. Sehingga ia tidak bisa melakukan aktivitas yang berat-berat.
Ia mencoba untuk mengubah posisinya menjadi duduk.
"Jangan banyak gerak dulu, Ra. Kondisi lu masih lemah, tiduran aja."
Dev membantunya untuk membenarkan posisi. Tatapan mereka saling bertemu. Seakan mengisyaratkan sesuatu yang mendalam.
"Kenapa makin hari kamu makin cantik aja? Ish, apaaan sih, Dev? Sadarrr! Dia cintanya sama Algo."
Ia segera mengalihkan pandangannya. Karena merasa salah tingkah, ia pun hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Awww," pekiknya.
"Kenapa, Ra? Apanya yang sakit? Duh, kenapa dokternya belum muncul-muncul pula?!" kesalnya.
"Tangan aku, Dev. Kenapa sakit banget buat digerakin? Aw," ringisnya.
"Kata dokter, pergelangan tangan kamu patah. Jadi, untuk saat ini kamu nggak bisa banyak melakukan aktivitas. Harus istirahat total," jelas Dev.
"Kenapa gue pakai aku-kamu lagi?" gumam Dev dalam hati.
Raut wajahnya berubah menjadi sedih. Air matanya menetes bersamaan dengan rasa sakit di hatinya yang masih tertancap.
Dev yang merasa bingung dengan perubahan gadisnya semakin takut. Karena ia tak mau jika Clara sampai mengalami depresi karena percobaan bunuh dirinya yang gagal.
"Tenang, Ra, nggak selamanya kok tangan lu sakit. Hanya saja untuk pemulihan butuh waktu dan proses. Nggak usah takut, lu pasti sembuh. Mending, sekarang makan dulu biar gue suapin," ujar Devaro.
Ia menatap suaminya penuh arti. Tidak disangka jika laki-laki itu sangat peduli kepadanya. Padahal ia hanyalah beban bagi Dev. Jika ia berani speak up sejak awal, Dev tidak akan menjadi korban.
"Kenapa kamu harus nyelametin nyawa aku, Dev? Kenapa?! Apakah kamu pikir ini akan membantu?! Tidak. Jika aku tetap hidup, semua orang akan sengsara. Kamu, keluarga kamu, Mama dan Papa aku, sahabat aku. Aku hanya akan menjadi beban untuk mereka. Apakah kamu tidak mengerti akan hal itu?! Hiks ... hiks ...."
Dev diam tak bergeming. Ternyata penderitaan yang dialami oleh gadisnya benar-benar parah. Hingga ia merasa dirinya sama sekali tidak berharga.
Padahal Clara sangat berarti baginya. Karena gadis itu adalah separuh dari nyawanya. Jika ia merasakan sakit, maka yang satunya juga ikut merasakan. Seperti itulah cinta sejati. Hanya saja ... Clara belum menyadari.
"Apakah lu pikir dengan mengakhiri hidup akan menyelesaikan masalah ini? Tidak juga, Ra. Setiap masalah ada jalan keluarnya. Jangan pernah melakukan ini lagi. Karena gue akan sangat marah kalau lu mencoba bunuh diri lagi," marah Dev.
"Setidaknya aku nggak membebani orang lain, Dev. Aku nggak bisa hidup dalam rasa bersalah terus-menerus. Ini lebih menyakitkan dibandingkan kematian," tukas Clara.
"Dan ya, memangnya kamu nggak mau hidup bahagia seperti dulu? Kamu nggak mau bisa berduaan dengan Fida seperti dulu? Karena aku, hubungan kamu pasti nggak bisa semanis dulu. Aku nggak mau menjadi penghalang dalam cinta kamu, Dev. Hiks ...."
"Harusnya kamu biarin aku mati aja, hiks ...!"
Dev langsung memeluk gadis itu. Ia sangat mencintainya bahkan rasa itu makin bertambah jika Clara terus keras kepala. Karena menurutnya ... ia adalah gadis yang unik dan berbeda.
"Kenapa kamu ngelakuin ini? Kamu tahu aku bisa salah paham, Dev. Hiks."
"Lebih baik lu salah paham daripada gue harus kehilangan lu. Karena lu juga penting dalam hidup gue," sahutnya.
Krekkk!
"Ups, apakah Mama mengganggu suami istri yang sedang romantis-romatisan?"
"Yaudah Mama pergi dulu, kalian lanjutin aja," kekehnya.
Farah yang datang tiba-tiba, langsung berbalik arah. Karena mungkin mereka butuh waktu agar semakin dekat satu sama lain.
Sontak, Dev melepaskan pelukannya. Ia merasa kikuk dan sedikit malu. Karena sebelumnya ia tak pernah melakukan ini di depan orang tuanya.
"Tunggu, Ma!"
Sudah terlambat, wanita paruh baya itu sudah menghilang dari sana. Dev dan Clara saling bertatapan. Tatapan Clara seolah memberi kode siapa wanita paruh baya tadi.
"Nggak usah ngelihatin gue kayak gitu. Itu tadi Mama gue. Dia datang jauh-jauh dari Bandung. Karena cuma Mama yang bisa mengerti gue," kata Dev.
"Apa?! Jadi keluarga kamu udah tahu kalau kita udah menikah? Dan keluarga aku?" tunjuk Clara pada dirinya.
Matanya melotot kaget. Karena jika orang tuanya tahu, ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan mereka nantinya. Ia belum siap mengeluarkan segala isi hatinya pada mereka.
"Cuma Mama, dan tenang ... gue belum ngabarin keluarga lu. Tapi, menurut gue lebih baik lu cerita jujur kepada mereka. Karena cepat atau lambat, mereka bakalan tahu."
"Tidak semudah itu, Dev. Aku belum siap bertemu dengan mereka. Aku juga belum siap menatap mata mereka. Itu akan sangat menyakitkan. Apalagi kalau mereka tahu aku hamil di luar nikah. Mereka akan sangat marah," jelas Clara.
Ia tersenyum kecut. Kemudian, tangan Dev terulur untuk menyeka air mata gadis itu.
"Jangan berpikir negatif dulu. Kan lu belum nyoba. Siapa tahu mereka akan menjadi sumber kekuatan buat mental lu. Dan ... jangan pernah mengeluarkannya lagi. Gue nggak suka!" marah Dev.
"Mengeluarkan apa?" tanya Clara tak mengerti.
Ia mengeryitkan dahinya bingung. Tatapan mata Dev begitu hangat dan penuh ketulusan.
"Air mata lu. Gue benci sama air mata. Karena hanya akan membuat lu terlihat lemah dan tak berdaya," tunjuk Dev pada pipi gadisnya.
"Apakah sebaik ini makhluk yang Kau ciptakan, Tuhan? Aku belum pernah melihat laki-laki sebaik ini," batinnya.
Senyum tipis terukir dalam wajahnya. Namun, hampir tidak terlihat karena saking tipisnya.