Perempuan Jalang

Megan dan Ardi kini telah tiba di Malang. Mereka segera menuju ke penginapan putrinya. Tak lupa mereka membawakan makanan khas Bandung kesukaan putri mereka.

"Pa, kira-kira Clara baik-baik aja nggak ya? Kenapa firasat Mama tidak enak sejak mimpi semalam," cemas Megan.

Ardi yang sedang fokus menyetir pun mengalihkan pandangannya ke arah istr tercinta. Kemudian ia meraih tangannya dan menyatukan tangan mereka sebagai simbol kekuatan.

"Jangan cemas berlebihan seperti itu. Kamu harus yakin jika mimpi buruk kemarin hanya sebuah angin halu," sahutnya.

"Bagaimana Mama nggak cemas? Clara anak kita satu-satunya, bagaimana mungkin aku bisa tenang?" desisnya.

"Clara gadis yang kuat dan mandiri. Dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Sekarang kita harus berdoa untuk putri kita. Hilangkan pikiran negatif, dan berpikir positif," saran Ardi.

Mereka saling melempar senyum. Meskipun rumah tangga mereka sudah berjalan dua puluh tahun lebih, tidak mengurangi keharmonisan dalam hubungan.

"Aaaaaaaaa ...!"

Sheeetttttt

Ardi menghentikan mobilnya secara mendadak. Karena ia hampir saja menabrak seorang gadis. Ia dan istrinya pun terpental ke depan karena mengerem mendadak.

Namun, mereka baik-baik saja karena menggunakan sabuk pengaman.

Untung saja ia tepat waktu. Jika tidak, mungkin ia akan membuat orang lain terluka karena kurang fokus menyetir.

"Ya Allah, Pa, untung saja gadis itu tidak tertabrak," kata Megan. Ia mengembuskan napas pelan.

"Ayo kita lihat, pasti gadis itu sangat terkejut," ajaknya.

Mereka pun turun dari mobil. Sedangkan posisi gadis itu masih berdiri dengan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Apakah gue masih hidup?" tanyanya dalam hati.

"Dek, kamu tidak apa-apa? Maaf, saya tadi tidak melihat kalau ada orang yang menyebrang."

Gadis itu membuka matanya perlahan. Berharap ia bisa melihat dunia, meskipun terkadang dunia begitu sangat kejam. Saat ia membuka mata, bertapa terkejutnya ia melihat dua orang paruh baya yang sangat familiar.

"Caca!" panggil Megan.

"Om nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini," sahut Ardi.

Megan langsung memeluk gadis itu. Karena ia sudah menganggap seperti putri kandungnya sendiri.

"Tente Megan, apa kabar?" tanyanya.

Mereka saling mencurahkan kerinduan satu sama lain. Tentu saja Caca bahagia, karena sejak kecil ... ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.

Megan melepaskan pelukannya dan menatap gadis itu lekat-lekat sembari tersenyum bahagia. Ardi hanya melihat kedekatan mereka layaknya ibu dan anak kandung.

"Tante baik, sangat baik. Tante kangen banget sama kamu dan Clara."

Deg!

Saat wanita paruh baya menyebutkan nama Clara, ia merasa gelagapan. Karena pasti Megan akan bertanya banyak mengenai gadis itu.

Sedangkan dirinya tidak punya jawaban untuk itu. Ia bahagia bisa bertemu Megan setelah enam bulan tak berjumpa, tapi ... ia belum siap membicarakan mengenai sahabatnya itu.

"Kamu kenapa, Ca? Kenapa malah bengong? Clara baik-baik aja, kan?" tanya Megan memastikan.

"Halo, Caca!"

Megan melambaikan tangannya di depan wajah gadis yang sedang melamunkan sesuatu.

"Eh iya, Tante. Clara baik-baik aja, kok. Dia sangat merindukan kalian berdua. Ia juga susah tidur setiap malam," jelasnya.

Senyum di wajah Megan mengembang sempurna. Ia merasa lega karena ternyata firasatnya salah. Tapi lebih baik salah, daripada hal yang ia takutkan menjadi kenyataan.

Itu akan jauh menyakitkan daripada sakitnya tertusuk jarum jahit.

"Oh iya, kamu mau ke mana? Kenapa jalan kaki? Clara mana? Bukankah kalian seperti perekat, ke mana-mana selalu nempel?" tanya Megan penasaran.

"Eh, anu, eeee ... anu."

"Duh Caca, kenapa malah jadi bego, sih? Ya Tuhan Caca harus jawab apa ini? Rasanya nggak tega bohong sama mereka," batinnya.

"Anu apa, Sayang?" tanya Megan.

Menatap manik mata Megan, membuat Caca tidak tega. Jika saja ia bisa terus berbohong, maka ia memiliki untuk berkata dusta. Karena terkadang kejujuran itu sangat menyakitkan.

"Yaudah, kalau gitu kamu naik mobil Tante saja. Sekalian kita ke penginapan Clara," ajak Megan.

Ia pun menurut saja. Karena ia tak berani menolak ajakan wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.

"Yaudah ayo cepetan ke mobil. Sebelum klakson orang-orang berdering dengan nyaring," ujar Ardi.

"Terima kasih, Om, Tante," ucap Caca.

"Sama-sama, Sayang." Mereka saling tersenyum satu sama lain.

****

"Apakah kamu pikir hubungan ini hanya permainan? Kamu pikir aku barang yang kapan saja bisa kamu ambil, setelah itu kamu buang setelah bosan?! Di mana hati kamu, Al?!"

"Kan gue udah pernah bilang, kalau gue sama lu itu cuma pura-pura pacaran. Kenapa lu nganggep serius? Kan salah sendiri, lu aja yang baperan!" bela Algo tak mau kalah.

Sejak ia putus dengan Clara, ia menjalin kasih dengan teman kampusnya, Anne. Tapi hanya untuk membuat Clara panas. Hanya saja ... Clara terlihat tidak peduli.

"Tapi kamu udah janji sama aku, Al. Apakah kamu lupa?" tanyanya.

Tangisnya pecah. Tak kuat lagi ia membendung air mata itu. Hatinya terasa sakit. Orang yang sangat ia cintai, malah mempermainkan perasaannya seperti boneka.

"Pokoknya, sekarang ... kita putus. Lu gue udah nggak ada hubungan lagi, ngerti?!" ketus Algo.

"Udahlah, lu nggak usah pakai acara nangis-nangis segala. Gue tahu siapa lu. Karena air mata lu ini hanya pura-pura, akting!" cercanya.

"Kamu pikir aku pura-pura, ha?! Kamu pikir cintaku tidak tulus? Aku sangat tulus mencintai kamu, Al. Aku mencintai kamu sepenuh hati. Tapi sayang, kamu mencintai aku setengah hati," tuturnya.

Ia menatap laki-laki tampan itu lekat-lekat. Dari tatapan matanya ia memang terlihat sangat tulus. Juga ... ia memang sudah mengincar Algo untuk menjadi pasangannya sejak lama.

Bahkan, sebelum Clara hadir dalam hidupnya. Karena gadis itu, ia kehilangan kesempatan untuk mendekati Algo. Sebab itulah ia sangat membencinya.

"Oke-oke, please, nggak usah lihatin gue kayak gitu. Gue minta maaf karena udah nyakitin perasaan lu. Tapi cinta nggak bisa dipaksa, An. Gue nggak bisa bohong sama hati gue, kalau hanya Clara yang terukir di dalamnya," jujurnya.

"Clara! Clara! Clara lagi! Kenapa semua orang begitu suka dengan jalang kotor itu? Apa sih istimewanya dia? Apakah dia lebih cantik dari aku? Apakah dia begitu menarik hingga banyak yang melirik?! Dia itu cuma manfaatin kamu, Al!" tunjuk Anne pada dada bidangnya.

Splassssh

Satu tamparan telah mendarat di pipi kanan gadis cantik itu. Ia mengaga dan memegangi pipinya yang terasa perih. Kemudian, ia menatap laki-laki yang baru saja bermain tangan dengannya.

"Kenapa? Ayo tampar lagi! Tampar sepuas kamu, Al! Jika memang dengan tamparan akan membuat kamu sadar bahwa hanya aku yang selalu setia menunggu kamu," ujar Anne.

Ia memang bodoh. Laki-laki seperti Algo tidak pantas mendapatkan cinta siapapun. Karena ia ringan tangan dan mudah emosi.

"Jangan pernah ngatain Clara lagi. Karena hanya gue ... yang berhak mengatakannya. Camkan!"

Ia tersenyum miring. Meremehkan gadis di depannya. Karena ia juga tahu jika Anne bukanlah gadis masih suci.

"Harusnya lu instrospeksi diri, Jalang! Apa lu lupa kalau lu pernah nyerahin tubuh lu ke gue? Dan perlu lu ingat kembali, gue nggak pernah minta. Lu sendiri yang datang ngemis-ngemis buat ditidurin sama gue. Dasar munafik!" makinya.

Ia menatap laki-laki di depannya dengan tajam. Karena sudah membongkar aibnya. Untung saja mereka sedang di tempat yang sepi.

"Kamu!" tunjuk Anne pada wajah Algo.

"Apa? Masih mau ngelak? Harusnya lu sadar diri, An, karena lu nggak lebih dari gadis murahan. Gue yakin kalau bukan hanya gue yang pernah nikmatin tubuh lu. Menjijikkan!"

"Lu itu harusnya jadi perempuan penghibur aja. Pasti banyak yang order. Secara kan ... lu lihai di atas ranjang."

"Kamu jahat, Al. Aku nggak seperti itu."

Algo memiringkan senyum. Kemudian ia membenarkan posisi tasnya dan meninggalkan Anne yang masih mencerna setiap kalimat yang terlontar dari mulut pedasnya.

Ia terduduk malu. Kesalahan terbesar dalam hidupnya adalah mencintai Algo secara berlebihan. Ia sampai merelakan mahkotanya untuk laki-laki tak berperasaan seperti Algo.

"Aaaaaaaaah!" teriaknya frustasi.