Martha dan Serly mendapati kawan segengnya yang nampak berlutut di bawah pohon. Tentu saja mereka bingung dengan rekannya itu. Mereka pun langsung menghampirinya.
"An, ngapain lu bertekuk lutut kayak gitu? Kerasukan?!" tanya Martha penasaran.
"Ternyata Algo yang terkenal dengan sikapnya yang baik hanyalah topeng. Karena ia tidak lebih dari laki-laki yang buruk. Tidak bertanggung jawab!" tegas Anne.
Martha dan Serly saling menatap, mereka tidak mengerti dengan arah pembicaraan Anne.
Martha seakan memberikan kode jika ia tidak mengerti apa yang terjadi. Sedangkan Serly, ia hanya mengangkat bahunya. Hal itu menandakan jika ia juga tidak tahu.
"Maksud lu apa, An? Kenapa tiba-tiba lu ngomong kayak gitu? Bukankah kalian udah jadian ya?" tanya Serly tak mengerti.
Gadis itu menghapus air matanya dengan cepat. Ia tidak boleh terlihat lemah di depan teman-temannya. Mereka bisa saja menertawakan.
"Gue sama dia hanya pura-pura. Tapi gue beneran cinta sama Algo. Kalian tahu hal itu, bukan?" jujurnya.
"Whatttt?!" kaget Martha.
Serly langsung menyenggol bahunya. Karena saat ini Anne butuh penghibur. Ia pun memberikan kode agar gadis itu diam.
"Giliran situ aja nggak papa? Dasar cewek aneh," ketusnya dalam hati.
Anne berdiri dengan tegap. Ia terlihat seperti seseorang yang bangkit setelah dilukai begitu dalam. Ia pun menatap ke arah kedua temannya.
"Gue harap kalian bisa tutup mulut mengenai kabar putusnya gue sama Algo. Karena gue akan bikin perhitungan sama dia. Kalau gue menyerah, itu bukan seorang Anne."
Ia tersenyum miring. Raut wajahnya yang menyedihkan, kini berubah seperti seekor harimau yang ingin menerkam mangsanya.
Martha dan Serly hanya bisa bergidik ngeri. Karena sosok Anne memang tidak akan pernah menyerah sebelum apa yang ia inginkan tercapai.
Ia juga gadis yang nekat. Ia bisa saja menghancurkan semua dinding penghalang yang akan menghentikan tujuannya.
"Kalian ingat itu baik-baik, ngerti?!" tanyanya dengan nada meninggi.
Kedua gadis itu hanya mengangguk mengiyakan. Karena jika mereka melawan, akan berakibat buruk. Karena Anne memiliki kartu as mereka yang sangat rahasia.
"Kalau bukan karena lu tahu rahasia besar keluarga gue, nggak akan sudi gue jadi babu lu kayak gini," batin Serly.
"Yaudah kalau gitu mendingan kita ke kampus. Karena sebentar lagi kelas akan dimulai. Pasti kalian lupa kan kalau hari ini ada tugas ekonomi?" ujar Martha yang terkenal paling cerdas di antara circle-nya.
Serly menatap Martha dengan tatapan bingung. Karena seingatnya tidak ada tugas. Tapi ... mungkin ia lupa. Karena setiap ada tugas, ia selalu minta contekan pada teman baiknya.
"Lah, emang ada tugas hari ini? Nyontek dong, Mar? Gue belum ngerjain, nih," rengek Serly.
"Nggak usah dikerjain juga nggak papa. Lagian gue bakal tetep lulus dengan nilai tinggi," sombong Anne.
"Udah nggak usah mikirin tugas. Mendingan kita ke cafe aja, karena otak gue butuh refreshing," lanjutnya.
"Mungkin kalau lu bisa nyantai, secara kan lu bisa nyogok pakai uang. Sedangkan mahasiswi kayak kita gini, walaupun orang tau kami mampu, mereka nggak mau kalau kami kuliah karena mengandalkan jalur orang dalam aja. Karena itu lebih menyedihkan dibandingkan tertolak tes berulang kali," jelas Martha.
"Terserah kalian, kalau gitu gue cabut dulu. Bye."
Jalur orang dalam emang beda. Sekalipun tidak mengerjakan tugas, ia akan tetap dapat nilai dengan IPK di atas tiga. Hal itulah yang bisa dirasakan oleh sosok Anne.
Karena orang tuanya memiliki relasi di kampus itu, ia jadi bisa masuk dan lulus lewat orang dalam. Tanpa harus berpikir keras ataupun berjuang. Yang penting ada money.
Mereka hanya memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh. Kemudian, mereka berjalan ke arah kampus untuk mengikuti kelas sore.
****
Ardi dan Megan telah sampai di sebuah penginapan. Mereka pun turun dari sana.
"Pasti Clara masih tidur. Karena kan ini sudah selesai kuliah," kata Megan.
Wajahnya berbinar, karena ia akan bertemu dengan tuan putri yang sangat ia rindukan. Semarah apapun dirinya pada Clara, ia tak pernah punya niat yang buruk.
Karena ia sangat menyayangi anak gadisnya melebihi apapun, bahkan melebihi dirinya sendiri.
"Ma, kenapa kelihatannya tidak ada orang ya. Lihat saja lantainya sangat kotor. Tempat ini seperti ditinggal oleh penghuninya selama beberapa hari," ujar Ardi.
"Iya juga ya, Pa. Anak kita kan nggak suka tempat yang kumuh. Apakah dia sedang liburan?" tanya Megan penasaran.
Caca yang baru saja turun dari mobil terlihat panik bukan main. Karena ia bingung harus menjawab apa mengenai kondisi sahabatnya yang sejujurnya.
Tok! Tok! Tok!
"Clara, Sayang, ini Mama dan Papa, Nak!" panggil Megan.
Tidak ada jawaban apapun dari dalam. Karena gadis itu memang sudah tidak tinggal di sana selama kurang lebih dua Minggu. Karena ia harus tinggal satu atap dengan suaminya.
"Nyari siapa, Mbak?" tanya tetangga sebelah Clara.
"Saya mencari Clara, putri saya. Kenapa pintunya terkunci ya? Kondisi rumahnya juga kotor. Apakah Clara sedang berpergian atau pindah penginapan?" tanya Megan cemas.
"Neng Claranya memang sudah tidak tinggal di sini, Mbak. Dia sudah pindah sejak dua minggu yang lalu," terang ibu-ibu itu.
"Apa? Pindah? Kira-kira pindah ke mana ya, Bu? Soalnya ia tidak bilang apa-apa ke saya dan suami," tanya Megan.
Ia nampak begitu cemas. Karena sepertinya firasat dan mimpinya semalam memang benar. Gadis itu membutuhkan dirinya untuk selalu di sampingnya.
"Kalau masalah pindah ke mana, saya kurang tahu, Mbak. Karena ia pindah malam-malam. Jadi, waktu itu saya hanya melihat sekilas dari balik jendela. Yang saya ingat, Neng Clara dibantu oleh laki-laki muda yang tampan," jelasnya.
****
"Dev, aku rindu sama mereka," ujar Clara.
Wajahnya layu seperti tidak ada gairah maupun semangat untuk sehat kembali. Namun, dengan telaten Devaro menyuapinya makan agar ia segera pulih.
"Gue tahu apa yang lu rasain. Pasti lu kangen banget sama Mama dan Papa lu, kan? Makannya apa gue bilang, mendingan kita jujur sama mereka. Apapun reaksi mereka nantinya, pikir belakangan," sahut Devaro.
Ia menyuapkan sesendok bubur ke mulut istrinya penuh perhatian.
"Buka mulut lu! Nih bubur nggak akan sampai ke perut kalau lu nggak buka mulut," ketusnya.
Clara pun menurut saja. Ia membuka mulutnya lebar-lebar untuk menerima makanan yang disuapi oleh suami tercinta.
"Perhatian banget sih Devaro. Nggak nyangka, di balik sifatnya yang dingin, ternyata dia perhatian juga. Jadi cinta kalau begini," gumamnya dalam hati.
Ia menatap suaminya penuh arti. Belum pernah ia menjumpai tipe laki-laki seperti Devaro. Jika dibandingkan dengan Algo, ia jauh lebih baik.
Karena Algo adalah laki-laki pemarah dan posesif. Hanya saja ia selalu menunjukkan sifat yang baik di depan orang-orang. Karena ia adalah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang bermuka dua.
"Kalau aja aku kenal kamu lebih dulu, mungkin aku akan lebih memilih kamu dibandingkan Algo. Tapi ... aku juga masih cinta sama dia."