Ardi memegangi kepalanya. Ia merasa frustasi dengan kejadian naas yang menimpa putri tercintanya. Anak yang ia besarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang harus berakhir kehilangan kehormatannya sebagai perempuan.
"Udah, Pa. Nggak ada gunanya kita menyesali semuanya. Karena yang terjadi tidak bisa diulang. Nasi sudah menjadi bubur," kata Megan.
"Apa kamu tahu bagaimana rasanya jadi aku? Anak yang sangat aku banggakan dan menjadi calon masa depan untuk kita, kini dia tidak bisa menjaga kehormatan keluarga kita," sesalnya.
Megan mencoba untuk tenang. Karena yang putrinya butuhkan bukan penghakiman, melainkan dorongan dan kekuatan. Agar ia bisa menjalani kehidupan dengan penuh keberanian.
"Tapi ini juga bukan salah anak kita, Pa. Dia dijebak oleh dosen mesumnya. Kita tidak bisa menyalahkan Clara, Pa," bela Megan tak terima.
Ardi pun menatap istrinya. Ia berusaha keras untuk menahan amarahnya. Tapi, rasanya ingin meledak saja.
"Kamu memang benar. Apa yang terjadi pada anak kita bukan kesalahan Clara. Tapi bagaimana dengan tanggapan orang-orang? Mereka selalu menyalahkan pihak perempuan. Kita tidak bisa menyangkal hal itu," tegas Ardi.
Ia mengembuskan napas gusar. Pikirannya campur aduk tak karuan. Ingin rasanya ia membunuh laki-laki bejat yang sudah berani menyentuh putrinya.
Sedangkan Megan, ia terdiam seribu bahasa. Apa yang suaminya katakan memang benar. Masyarakat selalu beranggapan jika pelecehan yang dialami seorang perempuan hanyalah fiksi.
Mereka selalu berpendapat jika pihak perempuan adalah penyebab kejadian kotor yang memalukan itu. Tak peduli dengan fakta yang sebenarnya.
"Maafin aku, aku hanya terbawa emosi saja."
Ardi langsung memeluk istrinya yang matanya berkaca-kaca. Ia tak tega melihatnya sedih seperti itu.
"Hiks ... hiks ... hiks ...."
Megan menangis dalam pelukan suaminya.
"Kalau begitu nanti saja. Aku nggak enak ganggu mereka," lirihnya.
Farah yang melihatnya pun mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan mereka. Karena sepertinya ini bukan saat yang tepat mengganggu suami istri yang sedang pelukan.
"Bu Farah," panggil Megan.
Langkahnya terhenti, ia pun berbalik menghadap sumber suara.
"Maaf, sepertinya saya datang di waktu yang tidak tepat," kata Farah.
Ia segera menghapus air matanya dan melepaskan pelukan suaminya setelah melihat wanita paruh baya itu. Meskipun usianya hampir setengah abad, kecantikannya masih murni dan terpancar.
"Tidak kok, Bu. Maaf saya tadi nggak menyadari kedatangan Anda," ujar Megan. Ia pun tersenyum ramah ke arah besannya itu.
"Oh iya, apakah ada yang ingin kamu katakan?" tanya Megan.
Farah mengambil napas pelan. Sejujurnya ini waktu yang kurang tepat untuk membicarakan masalah ini. Tapi ia harus, agar semua tidak menjadi salah paham dan segera menemukan titik terang.
"Saya ingin membicarakan masalah Devaro dan Clara. Mungkin ini saat yang kurang tepat. Tapi saya rasa ini harus segera dibahas," jelas Farah dengan tatapan serius.
Mereka pun duduk di ruang tunggu. Sedangkan Ardi, ia memilih untuk pergi dari sana. Karena ia butuh waktu untuk menerima kenyataan yang begitu pahit dan mencekam ini.
"Kamu mau ke mana, Pa?" tanya Megan.
Ardi hanya menoleh sekilas ke arah istrinya. Ia menatapnya penuh arti.
"Maaf, aku tidak bisa membahasnya sekarang. Kalian ngobrol aja dulu. Aku akan menenangkan pikiran dulu," tuturnya lembut.
"Aku harap kamu tidak gegabah, Pa. Karena masalah ini menyangkut anak kita dan harga diri keluarga kita," ujar Megan penuh harap.
"Harga diri apa yang kamu bicarakan, Sayang? Jangan katakan itu lagi. Karena harga diri itu, kini sudah tidak ada lagi. Anak kita sudah menodainya dengan kejadian yang memalukan."
Megan terdiam. Ia tak bisa menjawab suaminya lagi. Karena apa yang ia katakan memang benar. Harga diri yang mereka jaga selama ini, telah ternoda hanya dalam hitungan detik.
****
"Dev, apakah Papa akan selamanya marah sama aku? Aku nggak pernah melihat tatapan mata itu sebelumnya," ucap Clara.
Ia tersenyum kecut. Sikap papanya yang berbeda, membuatnya terus kepikiran. Jika biasanya Ardi memperlakukannya seperti tuan putri, kini perhatian itu tidak berlaku lagi.
"Jangan ngomong yang nggak-nggak. Aku yakin, kemarahan Papa kamu hanya sesaat. Jika ia marah, itu tandanya ia sayang sama kamu," balas Devaro.
"Tapi kali ini berbeda, Dev. Aku bisa merasakan kekecewaan Papa terhadap aku. Aku bisa merasakan penyesalan dan kemarahan dari matanya," tutur Clara.
"Tapi memang semua ini salahku. Harusnya aku dengerin kata-kata mereka untuk tidak ke Malang waktu itu. Harusnya aku tidak keras kepala," tambahnya.
Matanya berkaca-kaca. Dengan sekuat hatinya, ia membendung air mata itu agar tidak jatuh lagi. Karena ia sudah menangis cukup lama. Hingga tidak ada hari-hari tanpa air mata.
"Maksud kamu apa?" tanya Dev penasaran. Ia mengernyitkan dahinya tak paham.
Devaro menatap istrinya penuh pertanyaan. Ia tidak mengerti dengan maksud perkataannya. Karena gadis itu belum pernah cerita.
"Maaf, harusnya aku udah cerita ini sama kamu. Tapi waktu itu, aku belum siap," bebernya.
Ia menarik napas pelan. Ia menutup kedua matanya sejenak dan memikirkan sesuatu yang akan ia katakan.
"Sejujurnya waktu itu aku kabur dari rumah, Dev. Karena Mama dan Papa tidak merestui hubunganku dengan Algo. Karena kami berbeda keyakinan. Tapi karena keras kepalaku, aku malah membentak mereka. Dan akhirnya aku kembali ke Malang, setelah itu, aku ... hiks ...."
Suara isakan itu langsung menarik perhatian Devaro. Ia memegang tangan istrinya sebagai sumber kekuatan.
"Udah, Ra, cukup. Nggak usah dilanjutin lagi. Maafin aku, harusnya aku tidak bertanya. Aku benar-benar minta maaf," ucap Dev penuh penyesalan.
Ia pun menghapus air mata di pipi Clara. Kemudian tersenyum kepadanya. Mereka saling menatap dengan penuh perasaan.
Devaro mendekatkan wajahnya, kemudian ....
"Tidak sekarang, Dev," kata Clara.
Laki-laki itu langsung memalingkan muka. Ia nampak salah tingkah karena harusnya ia tidak melakukannya di saat-saat seperti ini.
"Kita masih memiliki banyak waktu untuk itu," sambung Clara.
"Maaf, aku nggak sengaja," ujar Devaro.
Clara bisa melihat raut wajah suaminya yang nampak salting. Pipinya memerah seperti kepiting rebus. Padahal ia sedang tidak memakai blush on.
"Kalau begitu aku akan mencarikan makanan untuk kamu," pamit Devaro.
Clara menatap suaminya bingung. Karena ia baru saja selesai makan. Sepertinya Dev sedang mencari celah untuk menghindarinya setelah kejadian barusan.
"Apa kamu sedang bercanda? Aku habis makan dua piring, Dev. Apa kamu ingin aku terlihat lebih gemuk?" tanya Clara tak habis pikir.
Dev kicep. Karena alasannya sangat konyol. Ia memang tidak pandai berbohong. Jadi, kesannya malah cringe.
"Oh iya ya, aku lupa." Ia memukul keningnya sendiri. Clara pun terkekeh karena menurutnya suaminya ini sangat lucu saat salah tingkah.
"Kamu ini ada-ada aja, Dev. Hehe," kekehnya.
Devaro tersenyum kikuk dan mengangguk tengkuknya yang tidak gatal. Benar-benar memalukan.