Now, We are Breaking Up

Caca duduk termenung di perpustakaan kampus. Ia bingung ingin melakukan apa. Karena sejak Clara sakit, ia malas bersosialisasi dengan orang baru.

"Kapan si Clara bisa masuk kampus? Rindu banget sama tuh bocah," lirihnya.

Ia pun beranjak dan memilih-milih buku yang menarik untuk dibaca. Sekalian untuk membuat mood-nya baik.

"Kenapa di sini nggak ada novel? Perpustakaan doang yang gede, tapi isinya cuma buku pelajaran. Ah ... membosankan."

Ting!

"Pasti dosen mesum itu. Emang minta digeplak tuh dosen," pikirnya.

Satu notifikasi berhasil mengalihkan perhatiannya. Ia langsung mengambil benda pipih itu dari saku almamater yang ia kenakan.

Ia pun mengusap layar ponselnya dan mendapatkan berita yang mengejutkan.

"What? Apa lagi ini? Algo? Bentar, masak iya ini Algo, mantan Clara?"

Ia mengezoom foto yang yang dishare oleh akun lambe turah Universitas Manura.

"Astaga! Gila banget!" teriaknya spontan.

Semua pasang mata memperhatikan dirinya. Mereka menatap seperti ingin menelannya hidup-hidup. Ia pun jadi malu sendiri.

"Maaf, Mbak, kalau di perpustakaan jangan teriak-teriak. Saya jadi kehilangan fokus," semprot salah seorang mahasiswi yang tidak ia kenal.

"Hehe, iya Kak. Maaf ya," balas Caca dengan santun.

Mahasiswi tadi hanya geleng-geleng kepala dan membenarkan posisi kacamatanya. Ya ... ia adalah salah satu kutu buku di Universitas Manura, yang tak lain adalah Bunga Anjasmara.

"Astaga, malu banget," gumam Caca dalam hati.

"Yaudah kalau gitu saya duluan ya, Kak," pamitnya.

Namun, si Bunga tak bergeming ataupun berniat untuk membalas. Ia pun langsung berdecak dan merasa sebal dengan mahasiswi pintar, tapi minim sosialisasi.

"Dasar kutu buku. Pasti cowoknya merasa tersakiti, masak orang ngomong nggak dijawab. Dasar!"

"Maaf, Mbak, kamu sedang bicara sama siapa?" tanya Intan, adik angkatannya yang baru saja muncul.

"Eh, ngagetin aja. Ini aku lagi ngomong sama orang bisu," kesalnya.

Wajahnya memerah, karena ia paling tidak suka dengan gadis yang sok cuek. Apalagi dia sombong. Udah nggak good looking, bad attitude pula. Serasa paket lengkap untuk digusur.

"Ngomong sama orang bisu? Emangnya bisa?" tanya Intan dengan polosnya.

Caca yang berusaha untuk tidak marah dengan adik angkatannya yang lemot ini, hanya bisa tersenyum sambil menahan emosi.

"Ya nggak bisa dong, Sayang. Pokoknya kamu hati-hati aja, nggak usah bikin onar kalau di perpustakaan. Karena di sini ada pawangnya," pesan Caca.

Ia menepuk bahu Intan, kemudian tersenyum ke arahnya. Ia pun meninggalkan tempat itu.

"Ngomong sama orang bisu, di perpustakaan ada pawangnya. Apa sih maksudnya Mbak Caca? Ah ... sudahlah, otakku nggak nutut buat mikir," ujarnya bermonolog.

Ia pun memutuskan untuk mencari buku sejarah untuk mengerjakan tugas kuliah. Namun, perhatiannya tertuju pada sosok gadis berkacamata yang nampak serius membaca.

"Halo, Mbak," sapa Intan dengan ramah.

Namun, Bunga sama sekali tak peduli. Ia tetap menunduk dan fokus pada buku yang ia pegang.

"Astaga nih orang bisu apa? Udah disapa, eh ... dikacangin. Emang di mana-mana kacang mahal," gerutunya.

Ia pun teringat akan kata-kata Caca barusan, "Oh ... jadi ini yang dimaksud sama Mbak Caca. Ish, ngeri kali."

Ia bergidik ngeri, karena di sana banyak orang. Tapi, Bunga hanya sendirian. Ia seperti gadis cupu yang sering dibuli oleh kakak kelas. Mirip seperti di sinetron.

"Untung aku nggak kayak gitu. Walaupun agak lemot, tapi masih bisa berbaur sama orang lain. Hadeh ...."

****

Devaro mencari keberadaan sahabat istrinya, Caca. Karena sebelum berangkat ke kampus, ia berjanji akan mengajak Caca ke rumah.

"Tuh cewek mana lagi? Kalau dicariin nggak nongol-nongol, kalau nggak dicariin muncul mulu kayak ketombe," kesal Devaro.

"Dev," panggil seseorang di belakang.

"Suaranya ... terdengar tidak asing," gumam Dev dalam hati.

Ia pun berbalik dan mendapati sosok Fida, kekasihnya yang belum ia putuskan. Namun, hubungan mereka nggak jelas mau dibawa ke mana.

"Dev, ini aku ... Fida."

Gadis bernama Fida itu langsung memeluk Devaro. Namun, dengan cepat Devaro berjalan mundur. Karena ia tidak pantas melakukannya. Statusnya sekarang sudah suami orang, bukan bujang lagi.

"Maaf, bukan mahram," ucap Devaro.

Fida terdiam, ia menatap manik mata laki-laki itu dengan tajam. Ini pertama kalinya, Dev menolak pelukan hangat darinya.

"Bukan mahram? Sok suci banget ya kamu sekarang. Apa kamu lupa kalau kita masih pacaran? Kamu masih milik aku, Dev," kata Fida.

"Sorry, Fid. Tapi situasinya sekarang udah nggak sama. Kita nggak boleh punya hubungan, karena aku udah punya perempuan lain," terang Devaro.

Mata Fida langsung berkaca-kaca. Ia memang tidak terkejut dengan pernyataan laki-laki itu. Karena ia sudah punya firasat jika Dev memang berselingkuh dengan perempuan lain.

"Aku nggak ada niatan buat nyakitin kamu, Fid. Semua terjadi karena kehendak takdir. Aku hanya pemeran di dalamnya."

"Oke, fine. Aku bisa terima kalau kamu punya perempuan lain sekarang. Tapi kenapa kamu lakuin itu saat kamu masih punya aku? Apa kamu nggak mikirin perasaan aku?" tanya Fida.

"Fida, aku ...."

Perkataan Devaro terpotong karena Fida menunjuk ke arahnya dengan tatapan penuh amarah.

"Aku belum selesai ngomong. Kamu itu sama aja sama laki-laki lain, tukang selingkuh! Aku nggak papa kalau kita LDR dan sering lost contact. Tapi kamu mikir dong, aku ini perempuan, Dev! Aku selalu memakai perasaan," sambung Fida.

Ia menyeka air matanya yang menetes. Karena air mata sudah tidak ada gunanya lagi. Semua pesan rindu yang lelaki itu kirimkan, palsu. Hanya sekedar fantasi yang bersatu dengan ilusi.

"Kamu jangan salah paham, Fid. Aku nggak pernah selingkuh dari kamu. Aku juga nggak pernah menduakan cinta kita. Aku menikah karena keadaan yang sangat memaksa," bebernya.

"Maaf, Dev. Tapi aku nggak percaya sama semua kebohongan kamu. Kemarin-kemarin kamu bilang kalau kamu sedang sibuk, apakah maksud sibuk di sini, kamu sibuk selingkuh?"

"Berapa lama kamu sudah selingkuhin aku? Apakah satu bulan? Dua bulan? Atau ... diam-diam kamu juga punya cadangan lain?" tuduh Fida.

Tangan Devaro terangkat, ingin menampar mulut gadis yang masih berstatus pacarnya itu.

"Kenapa berhenti? Ayo tampar! Tampar Dev kalau semua itu bohong! Tapi, kamu harus ingat satu hal. Orang yang selingkuh, hubungannya nggak akan langgeng, aku pastikan itu," ujar Fida.

Devaro pun mengurungkan niatnya. Ia mengembuskan napas pelan. Karena ia tak boleh memakai kekerasan terhadap perempuan.

"Lain kali kalau punya mulut dijaga. Kalau nggak tahu apa-apa, nggak usah berlagak sok tahu. Awalnya aku ingin memperbaiki hubungan kita, tapi ... sekarang aku berubah pikiran. Now, we are breaking up!" tegas Devaro.

"YOU AND ME, END!" imbuhnya penuh penekanan.

Sontak, Fida langsung menyiramkan air mineral ke wajah Devaro. Karena laki-laki itu tak pantas disebut sebagai laki-laki sejati.

"Kamu bilang kita putus, kan? Oke, kita putus! Aku nyesel pernah memiliki hubungan sama orang kayak kamu. Dan ya ... aku menyesal pernah mencintai orang brengsek seperti kamu, Tuan Devaro Mahardika Sanjaya yang terhormat!"

Devaro mengusap wajahnya yang basah. Ia sama sekali tak punya niat untuk membalas perlakuan Fida. Karena di sini, ia lah yang paling tersakiti.

Meskipun gadis itu juga salah, tapi ia jauh lebih salah. Karena tidak memberikan kepastian dan menggantung hubungan mereka.

Fida berbalik meninggalkan laki-laki yang sekarang sudah berstatus mantan. Namun, langkahnya terhenti karena ia ingin mengatakan sesuatu.

Ia berbalik ke arah Devaro yang masih menatapnya dari belakang.

"Ingat, Dev, hukum karma itu ada. Tunggu aja sampai kamu mendapatkan hukuman yang setimpal!"

Ia pun melanjutkan langkahnya sembari mengusap pipinya yang dipenuhi air mata.

"Kamu bukan Fida yang aku kenal dulu. Kamu orang lain," lirih Devaro.