Fakta di Balik Pelecehan Clara

Caca bisa melihat interaksi keduanya dari jarak jauh. Mereka nampak seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

Saat Fida menjauh dari Devaro, ia pun langsung bergegas menghampiri laki-laki itu untuk mencari tahu kebenarannya.

"Devaro!" seru Caca. Ia menepuk bahu lelaki itu cukup keras.

Sontak, Dev kaget. Karena tiba-tiba ada yang menyentuh organ tubuhnya. Ia pun langsung menoleh ke arah gadis itu dan menatapnya kosong.

"Kenapa lihatin gue kayak gitu? Biasa aja kali, Dev," ujar Caca.

Dev bingung ingin berkata apa, karena ia takut jika gadis bar-bar ini melihat saat ia dan Fida bertengkar tadi.

"Ngapain lu ke sini? Bukannya kita nggak satu fakultas?" tanya Dev penasaran.

Ia menaikkan sebelah alisnya. Karena Caca menatapnya dengan mata menyipit.

"Emangnya gue nggak boleh jalan-jalan ke fakultas hukum? Hak asasi dong!" sahutnya.

"Terserah lu, deh. Bye, gue cabut duluan."

Ia berbalik dan meninggalkan gadis itu sendiri. Dalam hati, Caca melontarkan sumpah serapah mengenai tingkah Devaro yang tidak seperti biasanya.

"Lu ngehindar dari gue?" tanya Caca.

Pertanyaan Caca barusan sama sekali tidak digubris oleh Dev. Ia tetap berjalan menjauhi gadis itu.

"Apa karena perempuan tadi?!" teriak Caca.

Langkah Devaro terhenti. Ia berbalik ke arah Caca dan menatapnya penuh pertanyaan. Caca pun mendekati laki-laki yang berstatus suami sahabatnya itu.

"Kenapa Dev? Apakah lu terkejut? Kenapa?! Takut kalau Clara sampai tahu lu selingkuh?"

"Lu nggak tahu apa-apa, Ca. Please, nggak usah ikut campur urusan gue," jawab Devaro dengan tatapan dingin.

"Apa? Gue nggak salah denger, Dev? Lu itu udah selingkuh sama cewek lain. Masih mau ngelak?!" bentak Caca tak terima.

"Ck, gue nggak selingkuh, Ca! Apa yang sebenarnya terjadi nggak seperti yang lu lihat barusan. Dan ya ... lu nggak ada urusan sama gue. Jadi, lebih baik nggak usah ikut campur urusan rumah tangga gue!" bela Devaro tak mau kalah.

Caca memiringkan senyumnya. Ia sama sekali tak percaya dengan ucapan laki-laki seperti Devaro. Bisa saja ia sok cupu, padahal aslinya suhu.

"Please ya, Dev, lu denger baik-baik. Maaf, biasanya gue selalu sopan, tapi tidak kali ini. Dan apa yang lu bilang tadi? Gue ikut campur urusan lu?! Hellooooo ... gue juga punya kesibukan lain kali, Dev. Gue cuma nggak mau kalau sampai Clara tersakiti untuk yang kedua kalinya. Dia sahabat gue, udah pasti ini jadi urusan gue juga!" jelasnya panjang lebar.

"Cuma sahabatnya, bukan? Bukan nyokapnya? Ngaca sana! Nggak usah sok baik sama Clara. Gue tahu kalau lu itu cuma pura-pura baik sama Clara. Karena aslinya ... itu hanya topeng buat nutupin kebusukan lu!" tuduh Devaro.

Ia menatap Caca dengan tatapan remeh. Karena ia tahu mengenai rahasia gadis ini. Kartu as Caca ada di tangan Dev.

Splassssh!

Caca menampar laki-laki itu dengan sangat keras dan penuh amarah. Karena perkataan Dev barusan sangat menyakiti hatinya.

"Maksud lu apa, Dev? Gue tulus berteman dengan Clara. Gue juga tulus membantu dia. Bahkan gue udah nganggep dia seperti adik gue sendiri," ucap Caca.

"Dan ya ... tuduhan lu itu sama sekali nggak berbobot. Lu orang baru yang masuk ke kehidupan Clara. Tahu apa lu tentang gue? Kita baru kenal," smabungnya.

Plok! Plok! Plok!

Devaro tepuk tangan atas akting mengesankan yang Caca lakukan. Ia bukan laki-laki bodoh yang diam saja akan kebusukan yang gadis ini lakukan.

"Tulus lu bilang? Lu lupa kali ya mengenai kejadian yang menimpa orang yang lu anggap sahabat itu? Lu lupa bagaimana hal itu bisa terjadi? Penyebabnya adalah lu! Sahabatnya sendiri!" tunjuk Dev pada gadis itu.

Deg!

Caca terdiam seribu bahasa. Matanya melotot serasa ingin keluar. Jantungnya berdetak sangat cepat. Sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat, akhirnya terkuak.

Niatnya untuk menangkap basah Devaro yang selingkuh, malah menjadi ketakutan bagi dirinya sendiri. Ia tak tahu harus melakukan apa. Karena ternyata ada orang yang mengetahui rahasia besar yang ia sembunyikan.

"Kenapa, Ca? Lu kaget? Hahahaha. Harusnya lu itu malu sama diri lu sendiri. Ngakunya sahabat, tapi malah nusuk dari belakang. Gue aja malu ngakuin lu sebagai perempuan. Karena lu lebih pantas disebut jalang!" lontar Devaro.

Tangan Caca mengepal. Ia memang iri dengan sahabatnya, Clara. Karena ia adalah salah satu cewek famous di kampus. Juga ... ia mempunyai orang tua dan keluarga yang utuh.

Hal itu mengundang rasa dengki dalam dirinya. Hingga ia berniat bekerja sama dengan dosen tak bermoral seperti Arya untuk menjebak Clara.

"Dan satu lagi, lu pasti penasaran siapa perempuan tadi? Dia pacar gue sebelum gue nikah sama Clara. Dan kita udah putus barusan. Jadi, lebih baik lu lari aja sejauh-jauhnya dari kenyataan. Karena hukum akan menghukum siapapun yang bersalah. Ngerti!" ujar Devaro penuh penekanan.

****

"Katanya kamu bawa Caca ke rumah. Tapi kenapa sampai sekarang dia belum datang?" tanya Clara.

Wajahnya nampak lesu dan tidak bersemangat. Karena ia sangat merindukan sahabatnya itu.

"Maafin aku, Ra. Tadi aku udah bilang kok sama dia. Tapi ... katanya dia ada tugas kelompok. Jadi nggak bisa datang hari ini," bohong Dev.

"Aneh. Nggak biasanya Caca bersikap kayak gini. Dia nggak pernah nolak kalau sama aku. Bahkan ... dia juga nggak terlalu peduli dengan tugas kelompok," batin Clara.

"Ra, kenapa bengong?" tanya Devaro.

Namun, gadis itu masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tahu betul bagaimana Caca. Karena mereka sudah berteman sejak lama.

"Clara!" Devaro mencubit pipi gembul gadis itu.

"Ish, sakit Dev," ujar Clara.

Ia memasang wajah cemberut. Karena sepertinya Devaro sedang berbohong padanya.

"Kenapa, Ra? Ada yang salah sama muka aku? Atau ... kamu terpesona dengan suami kamu yang tampan bin kece ini?" tanya Dev dengan bangga.

"Nggak usah kepedean. Kamu nggak seganteng Justin Bieber, nggak sekece Zayn Malik. Jadi nggak usah sok kegantengan," ejek Clara.

"Kok kamu gitu sih sama aku. Aku ini suami kamu loh, Ra. Aku ini orang yang harus kamu sebut paling tampan di dunia. Karena kamu udah punya aku, jadi nggak perlu ngefans sama laki-laki lain selain suami kamu ini," ujar Dev panjang lebar.

Ia memutar kedua bola mata malas. Karena Ujung-ujungnya, Devaro selalu kepedean tingkat dewa. Ia memang tampan, tapi Clara tidak suka dengan laki-laki yang sok tampan. Apalagi bad looking, kepedean pula. Amit-amit.

"Ngomong-ngomong, kamu nggak sedang bohongin aku kan, Dev?" tanya Clara memastikan.

"Karena jujur, bukan aku nggak percaya sama kamu. Tapi aku kenal Caca sudah lama. Jadi, aku tahu bagaimana dia. Nggak mungkin Caca nolak ke sini hanya karena tugas kelompok," tambahnya.

Dev menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya kebohongan tidak berpihak padanya.

Ia berbohong bukan tanpa maksud. Ia hanya ingin Clara tidak terlalu dekat dengan seorang penipu yang berkedok sahabat.

"Maafin aku, Ra. Aku emang bohong sama kamu. Tadi aku emang sempet ketemu sama Caca. Tapi ... aku nggak sempat bilang kalau kamu ingin bertemu. Lagi pula, dia terlihat sibuk dengan tugas-tugasnya," jelas Devaro.

"Hahahaha!"

Dev mengerutkan keningnya. Ia tak mengerti kenapa istrinya malah tertawa. Padahal tidak ada unsur humor di sini.

"Apanya yang lucu?"

"Nggak ada. Aku nggak papa, Dev. Nggak perlu merasa bersalah kali. Aku hanya ngakak sama cara kamu berbohong. Sangat kelihatan, haha."

"Hati-hati sama orang yang kamu anggap baik, Ra. Karena belum tentu dia seperti yang kamu lihat," ujar Devaro tiba-tiba.

"Maksud kamu?" tanya Clara tak mengerti.