Brukkkkk! Brukkkkk! Brukkkkk!
Fida mengobrak-abrik seisi kamarnya. Ia sangat frustasi karena diputuskan oleh Devaro secara tiba-tiba. Ia tak terima dipermainkan seperti boneka.
"Kamu pikir kamu siapa Dev? Aku nggak akan menerima semudah itu! Lihat saja apa yang akan aku perbuat terhadap perempuan yang sudah merebut kamu dari aku!" marahnya bermonolog.
Ia pun menghapus air matanya. Karena menangis bukan ciri khas seorang Fida yang sekarang. Ia tidak boleh lemah hanya karena gagal dalam bercinta.
Drt ... drt ... drt ....
Ponsel Fida bergetar. Hal itu langsung mengalihkan perhatiannya. Ia langsung meraih benda pipih berwarna hitam itu.
STARLA
HARI INI LU DAPAT ORDER. CEPAT BERSIAP. ALAMATNYA UDAH GUE SHARE-LOK.
Pesan dari rekannya itu membuat semangatnya membara. Karena dengan pekerjaan ini ia bisa mendapatkan kenikmatan yang tidak bisa ia dapatkan dari mantan kekasihnya, Devaro.
"Saatnya beraksi!"
Tanpa berpikir panjang, ia langsung bersiap untuk melayani customernya. Ia harap kali ini bisa membuatnya lebih rileks dan bisa sedikit membuatnya terhibur.
Tak lupa ia menghubungi seseorang untuk menjemputnya. Ya ... dia adalah David. Laki-laki yang baru ia kenal seminggu yang lalu.
Tepatnya, saat ia sedang menonton film di bioskop. Kala itu, David yang juga menonton film yang sama ... tiba-tiba meminta berkenalan dengan Fida.
Hingga akhirnya mereka menjadi semakin dekat. Walaupun statusnya masih sebatas teman. Bukan teman biasa, teman tapi mesra.
****
Angin malam menyibakkan rambut Clara yang terurai panjang. Pesonanya yang bak Dewi Yunani, membuat siapapun terkesima. Termasuk suaminya sendiri, Devaro Mahardika Sanjaya.
Dev tersenyum simpul melihat senyum manis yang terukir di bibir istrinya. Ia pun merapikan rambut Clara yang berantakan karena tertiup angin.
"Rambut kamu berantakan, nggak usah kepedean," ujar Devaro.
Clara hanya mengangkat kedua bahunya. Ia sama sekali tidak peduli dengan niat Devaro.
"Di sini adem banget ya, Dev. Rasanya beban hidup melayang bersama angin malam yang begitu kencang," ucap Clara.
Ia merentangkan kedua tangannya sembari menutup kedua matanya. Ia bisa menikmati sentuhan angin malam yang begitu semerbak.
"Kamu suka?" tanya Devaro.
"Sukaaaa," jawab Clara cepat.
Dev tersenyum. Tak disangka jika tempat yang begitu nyaman untuknya juga membuat gadisnya bahagia.
"Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan di sini?" tanya Devaro.
Gadis itu menoleh ke arah suaminya. Ia mengeryitkan dahi. Tak paham dengan maksud tersirat dari ucapan Dev barusan.
"Nggak usah mikir keras kali, Ra. Aku hanya ingin kita berjanji di sini, kalau kita nggak akan pernah terpisahkan sebelum maut memisahkan," jelasnya.
"Bukan hanya itu. Aku ingin kamu mengatakan kepada dunia kalau kamu mencintai aku seluas Samudra Pasifik, sedalam Palung Mariana, dan sebesar Kapal Titanic," sambung Devaro penuh semangat.
Clara geleng-geleng kepala dengan permintaan suaminya yang berlebihan.
"Apakah kamu pikir cinta aku ke kamu hanya seluas Samudra Pasifik? Apakah kamu pikir sayang aku ke kamu hanya sedalam Palung Mariana? Atau ... sebesar Kapal Titanic?" tanyanya.
Dev tak mengerti. Ia hanya diam tak bergeming.
"Kamu salah, Dev. Cinta aku ke kamu tak akan pernah bisa diukur oleh apapun. Rasa sayang aku ke kamu, melebihi apapun. Karena cinta tak terdefinisi hanya oleh sesuatu di dunia ini. Cinta tumbuh dan hidup dalam hati. Selamanya ... hati ini akan terus mencintai. Meski kamu hendak berniat pergi," jelas Clara panjang lebar.
"Maksud kamu? Aku nggak pernah punya niat untuk pergi ninggalin kamu, Ra," bela Devaro.
Clara menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan aura kasih sayang di sekitar angin pantai di malam hari.
"Aku nggak ada maksud apa-apa, Dev. Aku hanya bicara soal fakta. Tidak mungkin kita terus bersama walau saling ada rasa. Karena hubungan kita tidak terjalin karena asmara. Melainkan karena sebuah tragedi yang membuat kamu terpaksa untuk hidup bersama," tutur Clara.
Devaro langsung memeluk istrinya dengan erat. Clara yang mendapat perlakuan tiba-tiba itu, langsung terbelalak kaget. Karena sebelumnya Dev tak pernah memeluknya seerat ini.
"Udah Dev, malu dilihat banyak orang," pinta Clara memohon.
"Biarkan aku memeluk kamu seperti ini, Ra. Karena pelukan bisa menyembuhkan luka yang begitu dalam," lirih Devaro.
Karena merasa tersentuh dengan perkataan Dev, Clara membalas pelukan itu. Entah mengapa setiap berada di pelukan Dev, rasanya berbeda. Jantungnya selalu berdegup kencang.
"Aku mencintaimu, Dev," batin Clara.
Devaro melepaskan pelukannya. Ia menatap istrinya lekat-lekat sembari memegang bahunya.
"Kamu dengar baik-baik, Ra! Meskipun pernikahan kita terpaksa, aku nggak pernah menyesal sedikit pun. Aku nggak pernah merasa jika pernikahan kita adalah sebuah kesalahan. Aku rasa ini bukan sebuah kebetulan. Melainkan takdir yang sudah Tuhan gariskan untuk kita berdua," ujar Devaro.
Clara tertegun dengan pengakuan Devaro barusan. Ia memang mencintai Dev, tapi ia tak mau hidup dengan orang yang menikahinya karena belas kasihan.
"Aku tahu Dev, kamu hanya kasihan sama aku. Ini bukan cinta, tapi belas kasihan seorang laki-laki yang baik. Aku tahu, tapi ...," ujarnya dalam hati.
"Berhenti berpikir jika pernikahan kita akan usai. Karena aku tidak akan melepaskan kamu dengan mudah. Ini adalah janji seorang Devaro Mahardika Sanjaya!" tegasnya.
Dengan cepat, Clara melepaskan tangan Dev, kemudian berpaling. Tapi, dengan cepat Devaro mengunci pergerakannya.
"Jangan pesimis, Ra. Tetap optimis jika hubungan kita memang akan terus harmonis. Aku tahu ini sulit buat kamu, tapi tidak ada salahnya mencoba."
"Semua ini tidak semudah yang kamu katakan, Dev. Dunia ini keras! Tidak semua masalah bisa selesai hanya dengan tertawa puas. Aku sadar, kamu memiliki perempuan lain. Aku tidak akan masalah akan hal itu. Karena kamu berhak untuk bahagia bersama perempuan yang kamu cintai."
Cairan bening keluar membasahi pipi Clara. Ia sudah tak kuat membendungnya lagi. Karena Devaro terus bersikeras untuk menjalani rumah tangga yang normal.
Padahal ... ia sama sekali tidak ingin Devaro merasa iba padanya. Karena hal itu, justru akan membuatnya merasa bersalah seumur hidup jika terus bertahan.
Karena sejatinya ... MENCINTAI TAK HARUS MEMILIKI.
****
Fida masuk ke sebuah club malam yang sangat ramai. Apalagi hari ini ia harus melayani customernya yang memintanya untuk masuk ke club malam.
"Vid, berhenti di sini," pintanya.
"What? Club malam? Ngapain Fida malam-malam ke sini?" tanyanya dalam hati.
"Makasih ya udah mau nganter. Oh iya, kamu duluan aja. Aku ada janji sama temen kuliah," pinta Fida.
Ia melontarkan senyum lebar ke arah laki-laki yang ia anggap teman itu. David pun membalas dengan senyuman yang tulus pula.
"Kenapa harus di clun malam? Emangnya kamu sama temen kamu mau ngapain di tempat seperti ini? Jangan-jangan ...."
Dengan cepat, Fida langsung memotong perkataannya.
"Hush! Jangan ngadi-ngadi. Aku nggak masuk ke dalam club malam ini, David. Tapi di sebelah sana!" tunjuk Clara pada sebuah restoran mewah di dekat club.
"Oooo. Yaudah kalau gitu aku duluan ya. Jangan pulang malem-malem. Nggak baik perempuan pulang larut malam," pesan David.
"Iya, tenang aja. Kamu nggak usah khawatir. Aku bisa jaga diri, kok. Kamu hati-hati ya. Jangan ngebut kayak tadi. Mau copot tahu nggak jantung aku," keluh Fida sembari memegang jantungnya.
Sampai sekarang pun, ia masih terngiang-ngiang akan kejadian tadi. Di mana David hampir saja menabrak tong sampah di pinggir jalan.
"Yaudah kalau gitu, aku masuk dulu ya. Bye!"